Adelia memandang Anisa dengan rasa aneh lalu berkata, "Sepertinya kamu sangat peduli padanya. Anisa, jangan bilang kamu sebenarnya punya perasaan padanya?"Anisa membalas tatapan serius Adelia dengan berkata, "Ketika aku bercerita Keluarga Siregar menganiaya aku, dia memercayai kata-kata aku tanpa keraguan sedikit pun, dan dia membela aku. Aku sangat berterima kasih padanya, Adelia. David juga menderita, kamu pasti tahu itu. Mungkin karena dia mengingatkanku pada diriku sendiri sehingga aku bisa berempati padanya. Aku ingin membantunya, apa pun caranya."Adelia menghembuskan napas panjang melalui lubang hidungnya lalu berkata, "Tawarannya mungkin tidak terlalu buruk. Kamu mungkin telah mengambil keputusan yang tidak tepat, tetapi kamu adalah istrinya sekarang. Saat dia pergi, kamu pasti akan menerima uang dalam jumlah besar!" Adelia mengedipkan matanya pada Anisa seolah-olah memberikan sebuah isyarat melakukan hubungan membuat keturunan, lalu dia berkata, "Apakah kalian berdua sudah
Anisa menerima telepon dari Paman Iskandar Muda yang mengatakan bahwa dia berada di luar sekolah menunggunya. Dia mengucapkan selamat tinggal pada Ibrahim, tersenyum, dan berlari keluar. “Sudah dulu ya,” kata Anisa sambil merapikan buku-buku yang ingin dipinjam oleh dirinya, dan bergegas berangkat. Adelia menatap Anisa dengan penuh tanya saat temannya bergegas pergi lalu dia berkata, "Ada apa, Anisa? Kenapa kamu terburu-buru?" "Ajudan suamiku, Paman Iskandar Muda ada di sini untuk menjemput aku!" jawab Anisa dengan memanggil teman dari balik bahunya. Adelia Putri melihatnya pergi dengan senyuman terpampang di wajahnya, dan menghela napas pasrah. Anisa Rahma adalah wanita tercantik di kampus, tetapi jika menyangkut masalah cinta, sepertinya dia kurang sadar. Tidak peduli Anisa tidak menyadari perasaan Maulana Ibrahim terhadapnya, tapi hatinya pasti tergerak oleh keadaan tuan muda yang dinikahinya. Tetap saja, pria itu tidak akan ada lama lagi, dan siapa yang tahu apa yang akan t
Anisa mencoba gaun yang tak terhitung jumlahnya, yang semuanya menurutnya tampak indah. "Pakaian yang kamu pilihkan untukku juga sangat bagus. Menurutmu yang mana yang harus aku dapatkan?" Anisa bertanya dengan mengerutkan kening sambil merenung. David menyerahkan sepasang sepatu pada Anisa, dan mengabaikan pertanyaannya. "Masih banyak lagi yang bisa kamu coba. Tidak perlu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Sementara itu, lihat bagaimana kamu menyukai sepatu ini." Semuanya telah direncanakan untuk mengakomodasi Anisa, hingga ke detail paling sederhana, dan dia jelas-jelas tertarik dengan tindakan tersebut. Benar, tidak ada salahnya untuk mencoba beberapa pakaian lagi. Terutama karena seumur hidupnya dia belum pernah mengenakan begitu banyak gaun cantik dalam satu hari sebelumnya. Dari sela-sela, anggota staf butik melihat isyarat David, diam-diam memerintahkannya untuk memberikan harga yang terjangkau dan beberapa kejutan untuk semua barang yang telah dicoba Anisa. Sebel
Anisa tiba-tiba mengaitkan jarinya dengan jari David dan menatapnya dengan saksama. "Apa itu?" David bertanya dengan ekspresi bingung. "Terima kasih telah memberi aku keberuntungan," kata Anisa sambil berseri-seri. "Bahkan sebagai seorang anak, aku merasa kemalangan selalu menimpaku. Tapi sejak bertemu denganmu, aku merasa diberkati." Hati David sedikit meleleh lalu berkata, "Kamu adalah istriku. Apa yang menjadi milikku adalah milikmu, termasuk keberuntunganku." Kata-kata David bersamaan dengan ciuman tadi yang membuat wajah Anisa menjadi memerah merona. Tiba-tiba saja terdengar suara merendahkan dari kejauhan, "Wah, wah, wah ini benar-benar kamu, Anisa?" Suara angkuh seorang wanita mencapai telinga mereka. Dia melangkah ke arah Anisa seperti predator yang mendekati mangsanya. Anisa mengerutkan kening mendengar suara yang dikenalnya sebelum berbalik, dia mengetahui siapa pemilik suara itu. Wanita itu adalah putri dari Ayu Dewi, Ayu Oktaviani. Ayu Oktaviani sering mengunjun
Dalam kemarahannya, Ayu Oktaviani memegangi wajahnya dan lari mencari es batu yang dingin. David menoleh dan melihat istri kecilnya menatapnya dengan mata lebar dan kosong. Dia menghela napas, bertanya-tanya apakah dia telah membuatnya takut. Untung saja kursi roda menghalangi mobilitasnya, jika tidak, wanita itu akan lepas begitu saja dengan wajah rusak yang tidak sempurna. "Kenapa kamu melakukan itu?" kata Anisa dengan bertanya-tanya sambil menatap David dengan tatapan kebingungan. “Aku sedang memberinya pelajaran. Apa aku membuatmu takut?” Anisa kembali sadar, bibir Anisa melengkung ke atas dan berlutut di depan kursi roda suaminya agar sejajar lalu berkata, “Takut? Kamu mengagetkanku, itu saja. Kamu bergerak sangat cepat saat itu, aku bahkan tidak menyadarinya!” Sungguh menakjubkan, bagaimana caranya David bergerak dengan begitu cekatan? Jika dia hanya bisa setengah gesit seperti orang lemah, dia tidak akan menderita penindasan selama bertahun-tahun! David mengulur
Setelah makan malam, David sedang memeriksa beberapa dokumen di ruang kerja ketika ketukan di pintu mengganggunya. Itu adalah Paman Iskandar Muda. “Tuan Muda David, ayahmu bertanya kapan kamu akan membawa Nyonya Muda Anisa itu kembali ke rumah lamamu.” David melihat ke atas sambil membuka berkas lain untuk mengamati dengan teliti, seolah Paman Iskandar Muda tidak ada. Keringat dingin mengucur di alis Paman Iskandar Muda. “Tuan Muda?” dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya lagi. “Katakan saja kondisi saya memburuk, saya batuk darah dan tidak bisa keluar rumah. Apakah alasan itu sudah cukup?” Dengan merasa tidak nyaman, Paman Iskandar Muda berkata, “Tetapi Tuan tampak tidak senang ketika ayahmu berbicara tentang nyonya muda. Ayahmu bilang dia tidak tahu apa yang dipikirkan Victor tentang Anisa. Saya khawatir Victor akan membuat cerita bohong tentang Nyonya Muda Anisa.” Saat menyebut nama istrinya, Anisa, David mengangkat kepalanya. Tatapan tajam mengintimidasi menu
“Hm… Ada apa, sayang.” David sedikit mengernyit, baru setengah sadar, dan memeluknya lebih erat lagi, kembali tertidur dalam kepompong yang hangat. Merasakan napasnya yang hangat, wajah Anisa semakin memerah merona seperti tomat yang baru saja matang. Perasaan aneh muncul di dalam hatinya, seperti sensasi rasa gatal yang ingin digaruk, membuat api menggenang ke seluruh tubuhnya. Napasnya tercekat dan dia menggeliat. “Sayang, jika kamu tidak bangun, aku akan bangun.” Dia mungkin akan terbakar gairah nafsu, jika dia tidak segera bergerak! Geliat Anisa pasti telah membangunkan suaminya, karena David perlahan membuka matanya lalu tersenyum lebar. “Selamat pagi, Rahma.” Wajah Anisa memerah merona kembali. Dia memalingkan muka dari pandangan David dengan malu-malu, tidak mampu menatap tatapannya. “Selamat... selamat pagi juga.” Mereka bertatapan satu sama lain, tersenyum manis menyambut pagi hari yang cerah. Dengan santai David bertanya, “Saat aku setengah tertidur, aku dengar kam
David merenung di dalam hatinya, bahwa ada cara lain yang jauh lebih mudah baginya sebagai orang berkebutuhan khusus, untuk berolahraga di kamar tidur. Dia bisa memikirkan banyak cara lain untuk membuatnya berkeringat, semuanya tanpa harus keluar rumah. “Aku tahu yang kamu inginkan hanyalah menjagaku. Kita bisa menyetel alarm nanti, dan aku akan bisa bangun secara alami setelah terbiasa mendengar alarm jam,” kata David dengan memberikan saran untuk menyetel alarm jam agar mereka terbiasa bangun pagi dengan teratur. Rasa malu Anisa hilang karena respons David yang optimis, dan pikirannya melayang ke jenis perawatan apa yang cocok untuk membantu David pulih secara efektif. Dia tersenyum lebar ke arah suaminya, dan berjanji untuk membantu memulihkan penyakit yang diderita David. “Baiklah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita berdua,” kata Anisa sambil merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. “Oke, aku akan menunggu di ruangan tamu, dan tak sabar mencicipi masakan le
“Aku merasa bersalah. Aku… Aku tidak sengaja menumpahkan air panas kepadamu… Aku akan lebih hati-hati lagi…” Anisa sangat terpukul akibat perbuatannya sendiri yang tak mampu menjaga suaminya dengan baik.“Aku tidak apa-apa, sayang. Itu adalah kecelakaan… Maafkan aku juga yang tidak bisa memegang cangkir itu dengan benar,” balas David berusaha menjelaskan kondisi dirinya.“Kamu benar-benar tidak bisa merasakan apa pun di kakimu, sayang? Padahal airnya panas sekali?” kata Anisa sambil meneteskan air matanya di pipinya. “Sebenarnya aku merasakannya, tapi hanya sedikit.” David benci melihat Anisa menangis. Dengan cepat dia meraih Anisa untuk memeluknya, membungkus istri kecilnya dalam pelukan hangatnya. Selain itu, dia pada dasarnya berhati-hati, dan airnya paling hangat, tidak sepanas yang Anisa katakan. “Apakah kamu yakin tidak apa-apa, sayang?” kata Anisa sambil menyeka air matanya yang menetes. “Sungguh, aku baik-baik saja, Rahma. Hapus air matamu, aku akan merasa bersalah
Setelah mengirim pesan, David melirik Anisa. Istrinya benar-benar cantik, dan penuh semangat. Tidak mengherankan jika Anisa memiliki beberapa pengagum di universitas, tetapi jika ada yang berani mencoba mengambil wanita itu darinya, mereka sama saja dengan mencari masalah. Anisa telah mempelajari dokumen yang diberikan Profesor Jalaluddin dengan cermat. Tiba-tiba, dia berseru, “Ternyata kemaluan pria penuh dengan saraf, sehingga sangat mudah untuk mendapatkan ereksi. Sungguh menarik...” Anisa terlalu fokus dengan tugasnya dan tidak sadar mengucapkan kata-kata sensitif yang bisa saja menyinggung suaminya. David terdiam mendengar kata-kata Anisa saat membaca dokumen milik Profesor Jalaluddin. “Ereksi adalah kondisi ketika kemaluan pria dalam keadaan tegang, keras, dan membesar karena peningkatan aliran darah. Apa ini? Aku jadi penasaran.” Anisa sedang memeriksa informasi tersebut murni melalui kacamata seorang mahasiswa kedokteran, tanpa memikirkan sesuatu yang tidak senonoh, i
Anisa menggelengkan kepalanya. Dia adalah seorang mahasiswa kedokteran, ditambah lagi, dia memiliki pengetahuan umum untuk mendukungnya. Dia sudah bertekad untuk mencari cara mengobati suaminya tercinta. “Aku adalah istrimu, senang maupun sulit kita jalani bersama. Tidak masalah tentang penyakitmu, sayang. Aku menyayangi kamu karena aku mau. Aku menginginkan kamu seutuhnya, selamanya, setiap hari.” Anisa berusaha untuk meyakinkan suaminya, jika dia sungguh-sungguh mencintai David. Tatapan matanya melebar dengan senyuman manis terpancar dari sikap keterbukaannya. “Apakah kamu menerima aku apa adanya?” tanya David dengan mengerutkan keningnya, dia masih meragukan kesetian Anisa. “Ya, mengapa tidak? Belah dada ini dan lihatlah hatiku, jika itu bisa meyakinkan kamu. Hidup dan matiku hanya untukmu, rasa hati ini tak akan pernah bisa dusta.” Sebuah ungkapan rasa cinta yang mendalam diucapkan oleh Anisa, dia mencintai suaminya dengan setulus hatinya. David seketika tersenyum lebar sa
Terkejut dengan kata-kata temannya, Anisa melirik David dengan tatapan meminta maaf sebelum mematikan pengeras suara. “Kau sudah memberitahuku semua ini sebelumnya, Adelia. David adalah suamiku! Aku sudah menikah. Jadi, berhentilah membicarakan dia seperti itu.” Adelia masih menolak untuk mendengarkan alasan Anisa dengan berkata, “Berhentilah terlalu memedulikan pria berkebutuhan khusus itu. Lagi pula, dia tidak punya banyak waktu lagi untuk hidup. Tidakkah kamu setidaknya mencoba mendengarkan aku? Senior Ibrahim adalah segalanya yang diinginkan seorang gadis di kampus. Kamu akan menghancurkan hatiku jika terus melakukan ini, tahu.” Anisa tahu bahwa temannya hanya bermaksud yang terbaik untuknya. Kalau tidak, dia pasti sudah menutup telepon sejak lama. Namun kata-kata ini hanya akan melukai perasaan David jika dia mendengarnya. Sejenak Anisa mengabaikan suara telepon Adelia untuk melihat ekspresi suaminya, dia melihat David menundukkan pandangannya dan terdiam membeku saat mende
Anisa menoleh ke arah sumber suara dan melihat suaminya bersama Paman Iskandar Muda datang, “Kedatangan kamu tepat waktu, sayang.” Dia memberi David sebuah sendok dan garpu makan sambil tersenyum lalu berkata, “Cobalah ini dan lihat bagaimana kamu menyukainya.” David mengambil tiga piring, dua mangkuk, dan alat makan lainnya di depannya, sebelum duduk dia memasang ekspresi di wajahnya yang berseri-seri. Kehidupan yang mereka jalani adalah hal yang rutin dan biasa saja, namun ada sesuatu yang istimewa juga di dalamnya, yaitu kualitas rumah tangga yang berbagi tempat tinggal, makan bersama, seiring pergantian musim dan perubahan di sekitar mereka. “Untuk apa kamu menatapku? Ayo makan, kenapa kamu hanya tersenyum?” kata Anisa mengajak suami untuk segera makan. “Karena kecantikanmu memanjakan mata,” jawab David sambil mengangkat alisnya. Sebuah pujian yang membuat hati berbunga-bunga saat mendengarnya. Anisa tersipu malu hingga pipinya memerah merona. Suaminya kadang-kadang
Wajah Anisa memerah merona indah bagaikan sebuah tomat yang matang. Karena bingung dan tidak berdaya, dia menjelaskan sekali lagi, "Aku hanya mengkhawatirkan penyakitmu, sayang. Aku tidak menolak untuk menciummu..." Jika Anisa benar-benar menolaknya, dia pasti sudah marah sejak lama. "Kalau begitu cium aku sekarang," kata David sambil tersenyum manis ke arah Anisa dan tatapan matanya dipenuhi rasa kasih sayang. David bersikap tidak adil, dia sudah memaksakan ciuman pada Anisa sebelumnya. Tapi Anisa tidak bisa menahan beban tatapan pria itu padanya, cerah dan membara, jadi dia memberinya kecupan di pipi, sapuan bibir paling halus di kulit. Sekarang David percaya, jika cinta Anisa hanya ada untuk dia seorang diri. David tidak tergerak lalu berkata dengan nadanya yang manja, "Aku sudah memberitahumu bahwa ciuman yang pantas antara suami dan istri dilakukan di bibir, bukan?" Terpecah antara menangis dan tertawa, Anisa hanya bisa bersandar dengan patuh dan menyentuh bibirnya den
David tidak menanggapi. Wajahnya masih suram dan gelap seperti guntur. Khawatir, Anisa mengulurkan tangan dan meraba dahi David, dan dia tidak terasa lebih panas dari biasanya. Anisa masih bingung dengan sikap David yang seperti ini. "Apa yang salah? Bagian mana dari dirimu yang tidak sehat?" kata Anisa berusaha bertanya tentang kondisi suaminya yang dari tadi memasang ekspresi muram. "Aku baik-baik saja..." David menghela napas dengan beberapa kali batuk yang terdengar menyakitkan. Anisa menggenggam tangan David dan memeluknya, sekali lagi bersikeras bahwa dia baik-baik saja. “Apakah kamu yakin, sayang?” tanya Anisa dengan mengerutkan keningnya. Dia sangat khawatir dengan kondisi suaminya, sikap David tidak seperti biasanya. Kulit Paman Iskandar Muda merinding ketika dia melihat tuan mudanya kembali menunjukkan kerapuhannya, untuk menipu istri kecilnya. David terus terbatuk-batuk keras hingga dadanya terangkat. Anisa terlihat sangat cemas, dia menyusapkan tangannya dengan l
"Aku serius, Kak Senior. Mengapa aku bercanda tentang sesuatu yang begitu penting? Aku benar-benar sudah menikah, Kak Senior. Paman Iskandar Muda adalah ajudan suamiku," kata Anisa dengan tatapan meyakinkan untuk meyakinkan Ibrahim jika dia sudah menjadi istri seseorang. Kata-kata Anisa seperti jarum yang menusuk telinga Ibrahim, tajam, menusuk ke dalam hatinya dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut tak bisa dibayangkan. “Apa? Kamu sudah menjadi istri seseorang? Ha ha ha... Lucu sekali, Anisa.” Ibrahim tertawa terbahak-bahak seperti hilang akal karena belum bisa menerima kenyataan ini. “Kamu pasti bercanda, kan?” Ibrahim tidak percaya, jika gadis yang disukainya sudah menikah dan telah menjadi kekasih seseorang. Terlebih lagi, bagian yang paling lucu adalah dia masih menunggu Anisa menyadari perasaannya, seperti orang bodoh yang naif. Dia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Jika Anisa tidak bercanda, maka pastilah hatinya sedang mempermainkan perasaannya. "Apakah kamu baik-
Paman Iskandar Muda merapikan pakaiannya, kemudian dia keluar dari mobil, meringis dalam hati saat dia melangkah menuju Anisa. Saat dia mendekat, dia mendengar Anisa berkata, “Terima kasih telah menangkap saya, Senior Ibrahim. Jika tidak, aku akan terjatuh tadi.” “Hati-hati Anisa, perhatikan setiap langkah kakimu.” Saat mereka berjalan ke arah gerbang sekolah, Anisa dan Ibrahim sedang memeriksa dokumen yang diminta Profesor Jalaluddin untuk diterjemahkan, untuk melihat apakah dia dapat membantunya. Anisa terlalu terpaku pada beberapa bagian yang tidak bisa dia pahami, lupa arah dan hampir tersandung, tetapi Ibrahim telah mengulurkan tangan dan memeluk Anisa lalu menenangkannya. Anisa dan Ibrahim saling bertatapan sejenak dengan wajah mereka yang memerah merona karena tersipu malu. Ibrahim hampir bisa merasakan telapak tangannya kesemutan karena aroma Anisa yang sangat menggoda. Menjaga wajahnya tetap netral, dia bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, ko