Anisa mencoba gaun yang tak terhitung jumlahnya, yang semuanya menurutnya tampak indah. "Pakaian yang kamu pilihkan untukku juga sangat bagus. Menurutmu yang mana yang harus aku dapatkan?" Anisa bertanya dengan mengerutkan kening sambil merenung. David menyerahkan sepasang sepatu pada Anisa, dan mengabaikan pertanyaannya. "Masih banyak lagi yang bisa kamu coba. Tidak perlu terburu-buru dalam mengambil keputusan. Sementara itu, lihat bagaimana kamu menyukai sepatu ini." Semuanya telah direncanakan untuk mengakomodasi Anisa, hingga ke detail paling sederhana, dan dia jelas-jelas tertarik dengan tindakan tersebut. Benar, tidak ada salahnya untuk mencoba beberapa pakaian lagi. Terutama karena seumur hidupnya dia belum pernah mengenakan begitu banyak gaun cantik dalam satu hari sebelumnya. Dari sela-sela, anggota staf butik melihat isyarat David, diam-diam memerintahkannya untuk memberikan harga yang terjangkau dan beberapa kejutan untuk semua barang yang telah dicoba Anisa. Sebel
Anisa tiba-tiba mengaitkan jarinya dengan jari David dan menatapnya dengan saksama. "Apa itu?" David bertanya dengan ekspresi bingung. "Terima kasih telah memberi aku keberuntungan," kata Anisa sambil berseri-seri. "Bahkan sebagai seorang anak, aku merasa kemalangan selalu menimpaku. Tapi sejak bertemu denganmu, aku merasa diberkati." Hati David sedikit meleleh lalu berkata, "Kamu adalah istriku. Apa yang menjadi milikku adalah milikmu, termasuk keberuntunganku." Kata-kata David bersamaan dengan ciuman tadi yang membuat wajah Anisa menjadi memerah merona. Tiba-tiba saja terdengar suara merendahkan dari kejauhan, "Wah, wah, wah ini benar-benar kamu, Anisa?" Suara angkuh seorang wanita mencapai telinga mereka. Dia melangkah ke arah Anisa seperti predator yang mendekati mangsanya. Anisa mengerutkan kening mendengar suara yang dikenalnya sebelum berbalik, dia mengetahui siapa pemilik suara itu. Wanita itu adalah putri dari Ayu Dewi, Ayu Oktaviani. Ayu Oktaviani sering mengunjun
Dalam kemarahannya, Ayu Oktaviani memegangi wajahnya dan lari mencari es batu yang dingin. David menoleh dan melihat istri kecilnya menatapnya dengan mata lebar dan kosong. Dia menghela napas, bertanya-tanya apakah dia telah membuatnya takut. Untung saja kursi roda menghalangi mobilitasnya, jika tidak, wanita itu akan lepas begitu saja dengan wajah rusak yang tidak sempurna. "Kenapa kamu melakukan itu?" kata Anisa dengan bertanya-tanya sambil menatap David dengan tatapan kebingungan. “Aku sedang memberinya pelajaran. Apa aku membuatmu takut?” Anisa kembali sadar, bibir Anisa melengkung ke atas dan berlutut di depan kursi roda suaminya agar sejajar lalu berkata, “Takut? Kamu mengagetkanku, itu saja. Kamu bergerak sangat cepat saat itu, aku bahkan tidak menyadarinya!” Sungguh menakjubkan, bagaimana caranya David bergerak dengan begitu cekatan? Jika dia hanya bisa setengah gesit seperti orang lemah, dia tidak akan menderita penindasan selama bertahun-tahun! David mengulur
Setelah makan malam, David sedang memeriksa beberapa dokumen di ruang kerja ketika ketukan di pintu mengganggunya. Itu adalah Paman Iskandar Muda. “Tuan Muda David, ayahmu bertanya kapan kamu akan membawa Nyonya Muda Anisa itu kembali ke rumah lamamu.” David melihat ke atas sambil membuka berkas lain untuk mengamati dengan teliti, seolah Paman Iskandar Muda tidak ada. Keringat dingin mengucur di alis Paman Iskandar Muda. “Tuan Muda?” dia mengumpulkan keberanian untuk bertanya lagi. “Katakan saja kondisi saya memburuk, saya batuk darah dan tidak bisa keluar rumah. Apakah alasan itu sudah cukup?” Dengan merasa tidak nyaman, Paman Iskandar Muda berkata, “Tetapi Tuan tampak tidak senang ketika ayahmu berbicara tentang nyonya muda. Ayahmu bilang dia tidak tahu apa yang dipikirkan Victor tentang Anisa. Saya khawatir Victor akan membuat cerita bohong tentang Nyonya Muda Anisa.” Saat menyebut nama istrinya, Anisa, David mengangkat kepalanya. Tatapan tajam mengintimidasi menu
“Hm… Ada apa, sayang.” David sedikit mengernyit, baru setengah sadar, dan memeluknya lebih erat lagi, kembali tertidur dalam kepompong yang hangat. Merasakan napasnya yang hangat, wajah Anisa semakin memerah merona seperti tomat yang baru saja matang. Perasaan aneh muncul di dalam hatinya, seperti sensasi rasa gatal yang ingin digaruk, membuat api menggenang ke seluruh tubuhnya. Napasnya tercekat dan dia menggeliat. “Sayang, jika kamu tidak bangun, aku akan bangun.” Dia mungkin akan terbakar gairah nafsu, jika dia tidak segera bergerak! Geliat Anisa pasti telah membangunkan suaminya, karena David perlahan membuka matanya lalu tersenyum lebar. “Selamat pagi, Rahma.” Wajah Anisa memerah merona kembali. Dia memalingkan muka dari pandangan David dengan malu-malu, tidak mampu menatap tatapannya. “Selamat... selamat pagi juga.” Mereka bertatapan satu sama lain, tersenyum manis menyambut pagi hari yang cerah. Dengan santai David bertanya, “Saat aku setengah tertidur, aku dengar kam
David merenung di dalam hatinya, bahwa ada cara lain yang jauh lebih mudah baginya sebagai orang berkebutuhan khusus, untuk berolahraga di kamar tidur. Dia bisa memikirkan banyak cara lain untuk membuatnya berkeringat, semuanya tanpa harus keluar rumah. “Aku tahu yang kamu inginkan hanyalah menjagaku. Kita bisa menyetel alarm nanti, dan aku akan bisa bangun secara alami setelah terbiasa mendengar alarm jam,” kata David dengan memberikan saran untuk menyetel alarm jam agar mereka terbiasa bangun pagi dengan teratur. Rasa malu Anisa hilang karena respons David yang optimis, dan pikirannya melayang ke jenis perawatan apa yang cocok untuk membantu David pulih secara efektif. Dia tersenyum lebar ke arah suaminya, dan berjanji untuk membantu memulihkan penyakit yang diderita David. “Baiklah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kita berdua,” kata Anisa sambil merapikan tempat tidurnya yang sedikit berantakan. “Oke, aku akan menunggu di ruangan tamu, dan tak sabar mencicipi masakan le
Ketika mereka sampai di Universitas A, David menurunkan kaca jendela mobil dan menyaksikan Anisa bersiap untuk bergegas pergi. Tanpa berpikir panjang, dia berkata dengan lantang, “Apakah aku mendapat ciuman selamat tinggal, Rahma, karena aku tidak bisa bertemu denganmu sepanjang hari?” Anisa mengerutkan bibirnya dan memunggungi dia tanpa menjawab. “Kamu tidak ingin menciumku? Baiklah aku mengerti... Aku memang tak berdaya dan berkebutuhan khusus. Jika ada teman sekelasmu yang melihat kami, pasti kamu tidak akan mendengarnya aku lagi,” ucap David sambil menundukkan pandangan dengan frustrasi. Anisa tidak tahan dengan celaan dirinya sendiri dengan nada menyedihkannya, jadi dia berbalik menatap David, memegang wajah pria itu dengan tangannya dan memberinya ciuman singkat di pipi. “Aku tidak pernah merasa terganggu olehmu, dan aku tidak terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain.” Anisa hanya malu untuk melakukan itu, karena statusnya sebagai istri David Hutapea belum
Setelah mata pelajaran kuliah selesai, Anisa pergi ke ruang dosen untuk bertugas. Untuk mendapatkan uang guna menutupi biaya hidupnya, dia bekerja dengan rajin sebagai asisten Profesor Jalaluddin Akbar. Meskipun Profesor Jalaluddin dikenal sebagai dosen yang sangat tegas dan selalu memberikan tugas yang berat, Anisa tetap ingin menjadi asistennya. “Baiklah aku akan bersungguh-sungguh untuk menjadi asisten Profesor Jalaluddin. Aku tidak akan mengecewakannya. Aku berharap bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah hasil menjadi asisten Profesor Jalaluddin,” kata Anisa dengan bersemangat sambil mengepalkan tangannya menuju ke ruangan dosen untuk bertemu Profesor Jalaluddin. Profesor Jalaluddin hampir berusia delapan puluh tahun, dan siapa pun yang berada di posisinya pasti ingin pensiun dan berkeliling dunia bersama istrinya, namun dia belum mau berhenti mengajar. Dia memiliki hobi belajar sesuatu yang baru, jadi dia sampai saat ini masih bersemangat untuk mengajar di kelas. Profesor J