"E-eh, Mbak, tunggu! Itu ada yang ketinggalan!" serunya sembari menujuk ke sebuah amplop putih yang tergeletak di lantai. "Lah, dia malah langsung pergi." Namun, tampaknya wanita itu tak mendengar ataupun tak menghiraukan seruannya. Sehingga dengan terpaksa Daniel segera mengambilnya.Sambil bergumam ia menatap kertas putih itu dengan kebingungan. "Amplop apa ini?" Sontak dahinya langsung mengerut, ketika membaca tulisan yang tertera di depan amplop tersebut. "Loh, kenapa di amplop ini tertulis nama Arga Dewantara?" ucapnya merasa keheranan. "Ah ... jangan-jangan ini milik Arga. Lalu, siapa wanita tadi? Hem ... ini sangat sangat mencurigakan. Atau wanita itu sedang merencanakan sesuatu yang buruk pada Arga? Wah ... ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengantarkan amplop ini pada Arga nanti," kata Daniel."Halo, Niel. Apa kau masih di sana?" Suara wanita di dalam ponsel miliknya pun kembali terdengar.Seraya memasukan amplop itu ke dalam saku celananya, dengan segera ia langsung me
"Tidak-tidak-tidak." Sembari terus menatap kertas itu, Nayla menggelengkan kepala. Merasa tidak percaya dengan hasil tes tersebut. "Mana mungkin kamu mandul, Arga. Buktinya sekarang aku sedang mengandung anak kamu.""Hahaha ... anak aku?" Dengan tertawa sumbang, lelaki tampan itu melihatnya sinis. Seolah pria tersebut tidak percaya dan meragukan perkataannya."Iya, ini anak kamu, Arga!" kekeh Nayla. "Pasti ada kesalahan dengan hasil tes ini. Bisa saja pihak rumah sakit atau dokternya telah salah mendiagnosa.""Jangan salahkan pihak rumah sakit hanya untuk menutupi kebohonganmu, Nayla!""Tapi beneran ini adalah anak kamu, Arga!" Nayla yang merasa sudah tak tahan terus dituduh oleh Arga, berteriak kencang. "Jika kau masih merasa ragu, bagaimana jika kalau kau melakukan tes ulang. Sehingga dengan begitu--""Tidak perlu!" Arga langsung menyelanya. "Kenapa tidak perlu? Bisa saja, 'kan rumah sakit itu salah. Dan kau masih bisa melakukan tes di rumah sakit yang lain!" "Lagi pula, selain de
Di dalam sebuah mobil sport berwarna merah, terlihat Daniel sedang fokus mengendara. Lelaki tampan berambut coklat yang memiliki manik indah berwarna hazel tersebut akan pergi ke apartemen Arga. Ia ingin memberikan amplop putih yang ia temukan tadi pagi di rumah sakit tempat ibunya dirawat.Namun, di tengah jalan, ia tampak terkejut ketika melihat sesosok orang yang ia kenal sedang berjalan di sebrang jalan.Sembari mengerutkan dahi, ia bergumam. "Loh, bukannya itu si Anissa, eh salah Nayla maksudku.""Tapi ... ngapain dia malam-malam begini kluyuran di pinggir jalan? Mau ke mana sih, dia?" Di dalam otaknya kini dipenuhi oleh banyak pertanyaan.Tanpa menunggu lama, ia pun membelokan laju mobilnya, berniat untuk menghampirinya. Namun, sesaat kemudian ia dibuat syok ketika melihat ada sebuah mobil hitam yang sedang melaju kencang ke arah Nayla.Seketika ia pun terlihat sangat panik dan langsung berteriak kencang memanggilnya. "Awas, Nayla!"Namun naas, Mobil itu kini telah menabrak Nayl
"Apa?! Ko-koma?" Sontak Bu Salamah dan Daniel terlihat sangat syok mendengarnya.Bahkan karena saking syoknya, tubuh Bu Salamah langsung terasa lemas dan hampir saja limbung. Untung saja Daniel yang berada tepat di sampingnya dengan cepat menahan tubuh rentanya itu. "Tante, Tante tidak apa-apa?" tanyanya merasa khawatir.Wanita paruh baya berbaju putih dengan motif bunga itu menggeleng pelan."Lalu, apa ada kemungkinan yang lainnya, Dok?" tanya Daniel berusaha untuk tetap terlihat tegar."Pasien juga kehilangan banyak darah, kami sudah berusaha mengganti darah yang hilang. Bila organ tubuhnya bisa bekerja dengan normal ada kemungkinan pasien akan kembali sadar meskipun kemungkinannya sangat kecil.""Dan ... ada satu kabar duka lagi yang harus saya sampaikan." Dengan sangat hati-hati Dokter muda itu terus memberikan informasi tentang kondisi si pasien.Degh!Wajah Bu Salamah semakin terlihat cemas dan kian merasa ketakutan saja. "Ka-bar duka? Kabar duka apa, Dok?" tanyanya panik."Em
Arga masih tertegun menatap amplop putih yang kini ada di tangannya."Em, pasti kau bertanya bagaimana bisa aku mendapatkan amplop itu, 'kan?" Sembari melipat tangan, Daniel menatap wajah kebingungan Arga. Dan ia bisa membaca apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki tersebut saat ini."Tadi pagi aku tak sengaja menabrak seseorang. Dan ketika aku ingin meminta maaf kepada orang itu, eh ... orang itu malah terlihat panik dan buru-buru langsung kabur gitu aja. Nah, di saat itulah aku menemukannya.""Dan pas aku baca, ada namamu di sana. Ya udah, aku pikir ini adalah milikmu." Panjang lebar Daniel menceritakan saat kejadian waktu di rumah sakit tadi pagi. "Entah apa pun isi di dalam amplop itu, aku merasa ada yang dengan sengaja ingin menukar ataupun memanipulasi dari hasil amplop itu, Ga," pikir Daniel berkesimpulan."Dan jika kau masih peduli dengan Nayla, kau bisa liat sendiri bagaimana keadaannya di rumah sakit sekarang!""Coblah bepikirlah dengan tenang, jangan pakai emosi! Agar kau t
Ting-tong ... ting-tong!Terdengar suara bel terus berbunyi nyaring, hingga membuat sang penghuni rumah pun tepaksa terbangun karena merasa sangat terganggu.Lalu, dengan rasa penasaran sepasang suami isti itu harus membukakan pintu. Setelah pintu terbuka, mereka cukup kaget ketika melihat ada sesosok lak-laki muda berparas tampan yang tidak lain dan tidak bukan adalah menantunya sendiri, suami dari putri tunggalnya yaitu Arga Dewantara sedang berdiri di depan rumah."Nak, Arga?!" pekik keduanya tampak syok melihatnya. "Mana Larissa? katakan di mana Larissa sekarang?" Dengan tanpa permisi pemuda berkemeja hitam itu langsung menerobos masuk ke dalam rumah. "Larissa! Di mana kau? Jangan sembunyi, keluarlah kau sekarang!" Sudah seperti orang yang sedang mencari orang hilang di tengah hutan, lelaki itu mulai berteriak kencang memanggil nama istrinya."Hey, apa yang kau lakukan, Arga? Kenapa kau berteriak-teriak seperti ini? Tidak bisakan kau bersikap lebih sopan?" cegat Aditama. Dengan
Dua hari telah berlalu, namun belum ada tanda- tanda kalau Nayla akan segera siuman. Hingga membuat semua orang merasa khawatir.Bahkan Bu Salamah sempat beberapa kali pingsan, tubuhnya tak mampu menerima berita yang baru saja didengarnya. Beberapa orang yang berdiri di sebelahnya langsung menangkap tubuhnya dan membopongnya ke salah satu kamar pasien. Desy dan Wati, teman Nayla yang kini sering datang membesuk sedang menemaninya di kamar itu.Meskipun dalam kondisi tidak sadar namun kondisi Nayla secara keseluruhan cukup baik. Detak jantung dan tekanan darahnya normal. Dia tidak butuh alat bantu pernapasan sehingga dokter melepas ventilator yang menempel di tubuhnya.Kondisi tubuhnya tidak lagi kritis sehingga dokter memindahkan ke ruang perawatan. Meskipun ventilator sudah dilepas namun peralatan medis lainnya masih tampak menempel di tubuhnya.Memasuki fase vegetatif membuatnya tidak bisa bereaksi terhadap lingkungan sekitar. Sehingga dalam hal pemberian makanan obat-obatan dan pe
Flashback.Setelah kedatangan Arga di malam itu. Di keesokan paginya, tiba-tiba kediaman Pak Aditama digemparkan dengan kedatangan mobil polisi yang berkunjung di rumah tersebut."Selamat pagi, Pak, Bu. Apakah benar ini adalah rumah Bapak Aditama, keluarga dari saudari Larissa Aditama Putri?" tanya seorang pria berseragam polisi yang kini tengah berdiri di depan rumah."Ya, benar. Saya Aditama ayah dari Larissa. Ada apa ya, Pak?" Pria berkacamata itu merasa cukup syok dan kebingungan melihat kedangan dua pria tersebut."Kami dari pihak kepolisian ingin menangkap saudari Larissa dengan tuduhan percobaan pembunuhan kepada saudari Nayla Putri Anissa pada tadi malam," terang sang polisi."Apaa?! Pe-pembunuhan?" Jelas kedua pasang paruh baya itu merasa sangat syok mendengarnya."Tidak-tidak, tidak mungkin putriku melakukan pembunuhan. Pasti ini ada yang salah, Pak Polisi." Dengan menggelengkan kepala, Winda merasa tak percaya. "Tapi maaf, tadi pagi ada yang melaporkannya putri Anda dengan