Sebulan setelah kejadian itu, Bart mengabulkan permintaan Sophia sehingga kini wanita itu sudah menempati mansion mewah di mana Bart juga tinggal di sana. Sejak saat itu pula Bart tidak pernah lagi bertemu dengan saudara tirinya--Matthew. Entah bagaimana kabar pria itu pasca insiden yang melukai kepalanya akibat serangan Sophia.
Seiring waktu, kondisi kesehatan Sophia berangsur-angsur mulai membaik. Terlihat dari tubuhnya yang lebih berisi daripada sebelumnya, meskipun masih terlihat cukup kurus. Bahkan, Sophia sudah bisa melakukan aktifitas di luar rumah seperti bepergian ke pusat perbelanjaan di kota itu tanpa pengawasan Bart, karena pria itu memang tidak begitu peduli terhadapnya.
Bart lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Usahanya untuk sedikit saja melupakan Hanna masih belum membuahkan hasil. Justru semakin hari rasa rindu itu semakin menyiksa.
Seharusnya saat ini Bart menyusul Hanna ke pulau Borneo meski dia tidak sepenuhnya yakin jika wanita itu bera"Sayang sekali harus meninggalkanmu dengan cara seperti ini, Bart. Tapi aku tidak ada pilihan lain sebelum aku tidak mendapatkan apa-apa." Sophia bermonolog dengan perasaan lega karena dia sudah bisa mengamankan posisinya, setidaknya sebelum Bart mengetahui kenyataan yang dia tutupi selama ini dia sudah bisa pergi bersama uang yang sudah diberikan Bart. Di depan kaca toilet, dia membenarkan penampilannya.Lagi ...Sophia merasakan tubuhnya ditarik keras oleh seseorang. Dia memejamkan mata untuk sesaat. Dia pikir Samantha kembali lagi untuk mengacaukan rencana yang secara dadakan dia buat. Namun, nyatanya seorang gadis berponi kini menghunuskan tatapan tajam dengan cengkeraman yang masih mengerat di pergelangan tangan kurus Sophia."Kau mau lari ke mana? Setelah membuat sepasang suami-istri berpisah, sekarang kau berencana kabur?"Sophia yang menyadari bahwa wanita berponi itu bukan Samantha yang sempat dia duga, kemudian dengan segera dia menepis cengkera
Langit Amsterdam mulai menggelap. Namun, masih ada cahaya tersisa di ufuk barat, padahal saat ini sudah pukul sembilan malam. Salah satu belahan dunia yang lain unik, ketika langit di belahan dunia yang akan menggelap sempurna di waktu seperti ini, tapi hal ini tidak berlaku di negara itu. Malam yang pekat hanya akan ditemui ketika waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, terutama di musim semi seperti sekarang. Bart memasuki kamar pribadinya yang sudah hampir dua bulan tidak menampakkan sosok wanita yang begitu dia cintai. "Argh!" dengkus Bart sambil meninju dinding kamar hingga menciptakan rona merah di buku-buku jemarinya. Bahkan sudah sejauh ini dirinya masih belum mampu bertemu dengan Hanna. Namun Bart yakin bahwa wanita itu pergi ke tempat yang dia duga. Langkahnya menuju kapsul transparan yang berada di dalam kamar mandi. bermandikan air hangat mungkin dapat mengurangi kepenatan yang sedang dia rasakan. Sayangnya Bart salah menafsirkan rasa itu. Rasa yang tidak ada hubungannya
"Hey, apa yang sedang kamu pikirkan?" Wanita cantik itu kini mengambil alih bocah yang sempat bertengger di pundak Fabian. Dia terkekeh atas sikap Hanna yang menurutnya menggemaskan dengan wajah seperti itu."Mommy," pekik bocah laki-laki tersebut karena tidak terima dipindah tempatkan."Hey, jagoan, Daddy harus pergi sebentar," ucap Fabian menenangkan.'Mommy? Daddy? Mereka pasangan suami istri?' Hanna sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara wanita yang juga memiliki nama yang sama sepertinya terus memperhatikan pergerakan Hanna dengan tersenyum."Aku rasa kau sedang bingung. Ayo!" Wanita itu tanpa aba-aba menggandeng tangan Hanna yang masih terpaku. Mau tidak mau akhirnya mereka berjalan beriringan setelah wanita itu perlahan melepaskan genggaman tangannya."Bertanyalah jika rasa ingin tahumu sangat besar, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.""Ehm, iya?" Hanna menggigit bibirnya dengan wajah kikuk."Baiklah Hanna, senang meng
Hanna melebarkan kedua kelopak matanya. Tak dipungkiri, dia takjub dengan apa yang baru saja dia dengar."Tidak usah bingung, bukankah tadi sudah aku katakan bahwa Tonny berada di pihak kami."Hanna menggapit kedua bibirnya, segala apa yang diucapkan wanita itu terdengar masuk akal. Tapi dia tidak habis pikir bagaimana bisa wanita itu yakin bahwa Bart mencintainya. Bukankah hasrat dan rasa cinta merupakan dua hal yang berbeda meskipun terkadang saling melengkapi."Hanna, kurasa kamu sudah terlalu lama berada di sini. Bart membutuhkanmu. Dia sangat kehilanganmu. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, kau hanya cukup percaya. Aku sangat mengenalnya, dan aku tahu seperti apa perasaannya saat ini."Embusan napas berat lolos dari indra penciuman Hanna."Jika dia memang mencintaiku, maka dia akan mencariku."***Bart meninggalkan kamarnya dengan tergesa-gesa. Keinginannya begitu besar untuk bertemu Hanna saat ini juga. Dia yakin bawa sang is
"Jadi tujuanmu ke sini hanya untuk menghakimi saya?" Bart mengucapkan kalimat yang sudah tentu tidak menciptakan berbagai dugaan. Bisa saja Isabelle menyimpulkan bahwa Bart memang mengakui apa yang sudah dia tuduhkan. Namun, Bart seolah mengabaikan kemungkinan itu. Yang dia mau hanyalah Hanna, tak peduli seperti apa orang lain memandangnya. Cukup dirinya sendiri yang tahu keadaan apa yang sedang dia hadapi. "Tuan Bart yang terhormat, jika kamu ingin menikah, setidaknya lepaskan status Hanna. Dia berhak bahagia." "Dia bahagia bersama saya." Bart tak kalah sengitnya menghadapi Isabelle yang meninggikan suara. Isabelle menggelengkan kepala, "Masalah jika memang dia bahagia, mana mungkin dia menjatuhkan pilihannya untuk pergi sejauh itu. Bahkan aku harus menunggunya bangun pagi untuk sekedar berbincang di telepon." Bart justru tersenyum mendengarkan penuturan Isabelle. Secara tidak langsung, wanita berponi itu semakin menegaskan dugaan Bart bahwa Hanna memang berada di Indonesia. Wala
Setelah beberapa jam mengudara, akhirnya Bart bisa sedikit lega karena kakinya kini sudah menapaki bumi Indonesia meski lokasi di mana istrinya sedang berada saat ini masih butuh kurang lebih empat jam penerbangan. Tapi setidaknya Bart sebentar lagi akan kembali melihat senyum malu-malu yang biasa dia dapatkan dari wajah sang istri acap kali tersipu dengan sentuhan Bart. Sekali lagi dia teringat seperti apa ucapan Isabelle kemarin ketika dengan begitu ambisi menemuinya di kantor. Pria itu hanya menganggap sikap Isabelle merupakan bentuk rasa khawatir dan kepeduliannya terhadap sang sahabat. Bagi Bart, Hanna pantas mendapatkan sahabat yang loyal seperti sosok Isabelle. Kali ini perjalanan Bart tidak didampingi Tonny seperti biasanya. Dia merasa ada sesuatu yang aneh atas ketidaksadaran Tonny. Bagaimana bisa sekretarisnya itu tidak sadarkan dri dalam waktu hampir dua bulan sementara dokter mengatakan bahwa kondisinya sudah bisa dikatakan membaik. Bart nyaris saja berpikir bahwa diriny
Udara segar bersinggungan dengan indra penciuman Bart. Sesekali pria itu memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dengan wajah tersenyum. "Orang aneh!" gerutu Ahmad. Baru kali ini dia menjalankan boat hanya dengan menggunakan sarung. Sungguh tidak nyaman sarung yang berkibar-kibar akibat diterpa angin kencang. Lengah sedikit saja sangat memungkinkan sarung itu terlepas dan terbang ke udara. Tapi mau bagaimana lagi, pria Belanda tampan itu sepertinya tidak menerima bantahan sama sekali. Beberapa saat kemudian, laju boat semakin berkurang, tepian pantai pun mulai terlihat mendekat. Di detik selanjutnya, mesin boat tiba-tiba berhenti. Ahmad meraih sebuah dayung dan mengayuhnya mendekati bibir pantai. Langit membiru kelabu tanda matahari belum cukup tinggi. Ahmad yang menggigil akibat diterpa embun pagi merasa kebingungan melihat Bart nampak santai dengan t-shirt tipis yang dia kenakan. "Putih doang, tapi kulitnya tebal kayak badak." Lagi-lagi Ahmad menggerutu. Rasa kesalnya masih te
Tak cukup sekali, hingga saat ini keduanya bahkan masih berada di peraduan padahal hari sudah menjelang siang. Wajah Hanna merona mengingat apa yang baru saja mereka lalui. Bahkan keduanya belum sekalipun berbincang-bincang secara normal. "Sayang ..." Bart membuka percakapan, masih menempatkan Hanna di dalam pelukannya. Hanna sungguh malu untuk sekedar mendongak dan mendapati wajah Bart yang kini berada di atas kepalanya. Pria itu menumpukan dagunya di atas kepala sang istri dengan tangan masih melingkari pinggang wanita itu yang masih polos. Bahkan Hanna masih bisa merasakan kulit tubuh mereka saling menyentuh. Bergerak sedikit lagi mungkin Hanna akan membuat Bart kembali menuntut haknya sebagai suami untuk yang kesekian kali. "Kau lelah?" tanya Bart dengan suara parau. Jujur Hanna ingin mengatakan 'ya.' Tapi, wanita itu memilih untuk tetap bergeming. Dia mencoba mengembalikan kewarasannya setelah kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya dengan sentuhan, lalu masalah yang sempat memi