"Hey, apa yang sedang kamu pikirkan?" Wanita cantik itu kini mengambil alih bocah yang sempat bertengger di pundak Fabian. Dia terkekeh atas sikap Hanna yang menurutnya menggemaskan dengan wajah seperti itu."Mommy," pekik bocah laki-laki tersebut karena tidak terima dipindah tempatkan."Hey, jagoan, Daddy harus pergi sebentar," ucap Fabian menenangkan.'Mommy? Daddy? Mereka pasangan suami istri?' Hanna sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara wanita yang juga memiliki nama yang sama sepertinya terus memperhatikan pergerakan Hanna dengan tersenyum."Aku rasa kau sedang bingung. Ayo!" Wanita itu tanpa aba-aba menggandeng tangan Hanna yang masih terpaku. Mau tidak mau akhirnya mereka berjalan beriringan setelah wanita itu perlahan melepaskan genggaman tangannya."Bertanyalah jika rasa ingin tahumu sangat besar, aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan.""Ehm, iya?" Hanna menggigit bibirnya dengan wajah kikuk."Baiklah Hanna, senang meng
Hanna melebarkan kedua kelopak matanya. Tak dipungkiri, dia takjub dengan apa yang baru saja dia dengar."Tidak usah bingung, bukankah tadi sudah aku katakan bahwa Tonny berada di pihak kami."Hanna menggapit kedua bibirnya, segala apa yang diucapkan wanita itu terdengar masuk akal. Tapi dia tidak habis pikir bagaimana bisa wanita itu yakin bahwa Bart mencintainya. Bukankah hasrat dan rasa cinta merupakan dua hal yang berbeda meskipun terkadang saling melengkapi."Hanna, kurasa kamu sudah terlalu lama berada di sini. Bart membutuhkanmu. Dia sangat kehilanganmu. Jangan tanya bagaimana aku bisa tahu, kau hanya cukup percaya. Aku sangat mengenalnya, dan aku tahu seperti apa perasaannya saat ini."Embusan napas berat lolos dari indra penciuman Hanna."Jika dia memang mencintaiku, maka dia akan mencariku."***Bart meninggalkan kamarnya dengan tergesa-gesa. Keinginannya begitu besar untuk bertemu Hanna saat ini juga. Dia yakin bawa sang is
"Jadi tujuanmu ke sini hanya untuk menghakimi saya?" Bart mengucapkan kalimat yang sudah tentu tidak menciptakan berbagai dugaan. Bisa saja Isabelle menyimpulkan bahwa Bart memang mengakui apa yang sudah dia tuduhkan. Namun, Bart seolah mengabaikan kemungkinan itu. Yang dia mau hanyalah Hanna, tak peduli seperti apa orang lain memandangnya. Cukup dirinya sendiri yang tahu keadaan apa yang sedang dia hadapi. "Tuan Bart yang terhormat, jika kamu ingin menikah, setidaknya lepaskan status Hanna. Dia berhak bahagia." "Dia bahagia bersama saya." Bart tak kalah sengitnya menghadapi Isabelle yang meninggikan suara. Isabelle menggelengkan kepala, "Masalah jika memang dia bahagia, mana mungkin dia menjatuhkan pilihannya untuk pergi sejauh itu. Bahkan aku harus menunggunya bangun pagi untuk sekedar berbincang di telepon." Bart justru tersenyum mendengarkan penuturan Isabelle. Secara tidak langsung, wanita berponi itu semakin menegaskan dugaan Bart bahwa Hanna memang berada di Indonesia. Wala
Setelah beberapa jam mengudara, akhirnya Bart bisa sedikit lega karena kakinya kini sudah menapaki bumi Indonesia meski lokasi di mana istrinya sedang berada saat ini masih butuh kurang lebih empat jam penerbangan. Tapi setidaknya Bart sebentar lagi akan kembali melihat senyum malu-malu yang biasa dia dapatkan dari wajah sang istri acap kali tersipu dengan sentuhan Bart. Sekali lagi dia teringat seperti apa ucapan Isabelle kemarin ketika dengan begitu ambisi menemuinya di kantor. Pria itu hanya menganggap sikap Isabelle merupakan bentuk rasa khawatir dan kepeduliannya terhadap sang sahabat. Bagi Bart, Hanna pantas mendapatkan sahabat yang loyal seperti sosok Isabelle. Kali ini perjalanan Bart tidak didampingi Tonny seperti biasanya. Dia merasa ada sesuatu yang aneh atas ketidaksadaran Tonny. Bagaimana bisa sekretarisnya itu tidak sadarkan dri dalam waktu hampir dua bulan sementara dokter mengatakan bahwa kondisinya sudah bisa dikatakan membaik. Bart nyaris saja berpikir bahwa diriny
Udara segar bersinggungan dengan indra penciuman Bart. Sesekali pria itu memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam dengan wajah tersenyum. "Orang aneh!" gerutu Ahmad. Baru kali ini dia menjalankan boat hanya dengan menggunakan sarung. Sungguh tidak nyaman sarung yang berkibar-kibar akibat diterpa angin kencang. Lengah sedikit saja sangat memungkinkan sarung itu terlepas dan terbang ke udara. Tapi mau bagaimana lagi, pria Belanda tampan itu sepertinya tidak menerima bantahan sama sekali. Beberapa saat kemudian, laju boat semakin berkurang, tepian pantai pun mulai terlihat mendekat. Di detik selanjutnya, mesin boat tiba-tiba berhenti. Ahmad meraih sebuah dayung dan mengayuhnya mendekati bibir pantai. Langit membiru kelabu tanda matahari belum cukup tinggi. Ahmad yang menggigil akibat diterpa embun pagi merasa kebingungan melihat Bart nampak santai dengan t-shirt tipis yang dia kenakan. "Putih doang, tapi kulitnya tebal kayak badak." Lagi-lagi Ahmad menggerutu. Rasa kesalnya masih te
Tak cukup sekali, hingga saat ini keduanya bahkan masih berada di peraduan padahal hari sudah menjelang siang. Wajah Hanna merona mengingat apa yang baru saja mereka lalui. Bahkan keduanya belum sekalipun berbincang-bincang secara normal. "Sayang ..." Bart membuka percakapan, masih menempatkan Hanna di dalam pelukannya. Hanna sungguh malu untuk sekedar mendongak dan mendapati wajah Bart yang kini berada di atas kepalanya. Pria itu menumpukan dagunya di atas kepala sang istri dengan tangan masih melingkari pinggang wanita itu yang masih polos. Bahkan Hanna masih bisa merasakan kulit tubuh mereka saling menyentuh. Bergerak sedikit lagi mungkin Hanna akan membuat Bart kembali menuntut haknya sebagai suami untuk yang kesekian kali. "Kau lelah?" tanya Bart dengan suara parau. Jujur Hanna ingin mengatakan 'ya.' Tapi, wanita itu memilih untuk tetap bergeming. Dia mencoba mengembalikan kewarasannya setelah kejadian itu. Bagaimana mungkin hanya dengan sentuhan, lalu masalah yang sempat memi
Beberapa hari melewatkan hari bersama, Bart merasakan hidupnya kembali bergairah sejak hari itu. Hari di mana dirinya dengan bebas menyatakan seluruh apa yang dia rasakan dengan mengesampingkan ego yang selama ini justru menyiksa batinnya sendiri. Dia sepertinya enggan untuk kembali ke Amsterdam, karena merasa di tempat ini dirinya menemukan ketenangan bersama wanita yang dia cintai. Hanna berdiri menatap kalender yang berada di atas nakas, nampak ada gurat khawatir yang tidak bisa dia sembunyikan. Gestur sang istri rupanya tak luput dari perhatian Bart. "Ada apa?" Bart memeluk sang istri dalam posisi duduk dari belakang tubuh Hanna. Dia merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran wanitanya. Hanna menggeleng dengan desahan napas yang lolos dari indra penciuman, "Sepertinya siklus menstruasiku terganggu. Sudah lebih dari dua bulan aku melewatkan masa menstruasi. Kau tahu? Tubuh wanita akan merasa tidak nyaman saat itu terjadi," jelas Hanna. "Apa hal ini sering terjadi?" tanya Bart.
Sudah hampir seminggu Hanna mengabaikan gawainya. Lebih tepatnya sejak kedatangan Bart. Entah mengapa baru akhir-akhir ini dia mengeluhkan rasa tak nyaman yang dia rasakan di tubuhnya, sehingga Hanna enggan untuk melakukan aktifitas di luar ruangan dan lebih banyak beristirahat di sela-sela waktu saat Bart tidak mengganggunya. Terlebih lagi semenjak kedatangan pria itu, mereka lebih banyak menghabiskan waktu kebersamaan keduanya di kamar. Bart menganggap bahwa Hanna sengaja menggodanya ketika pria itu menawarkan untuk berjalan-jalan menikmati suasana luar, tapi Hanna selalu menolak dengan alasan dirinya kelelahan. Dengan mudahnya Bart menyimpulkan sendiri bahwa sang istri sedang berusaha mewujudkan harapan mereka untuk mendapatkan keturunan. "Halo ...""Oh, hai! Apa kau masih mengenalku?" sarkas Isabelle ketika sambungan telepon terhubung dari sudut negara lain.Hanna tersenyum kecut dan sejujurnya dia merasa bersalah. Dia merasa bukan sahabat yang baik untuk Isabelle. Selama ini Is