Dengan embusan napas kasar, Bart menyambar sweater yang dia bawa semalam, "Tolong kabari aku jika sesuatu terjadi kepadanya," pinta Bart. Tentu saja Bart tidak bisa melepaskan Sophia bersama Tonny begitu saja.
Tonny mengibaskan tangan agar Bart segera berlalu. Dia tahu apa yang akan dia lakukan terhadap orang sakit. Jadi, Bart tidak perlu menunjukkan sikap yang berlebihan.
Bart melaju membelah jalanan menuju kediamannya. Hanya satu hal yang ingin dia lakukan setelah tiba nanti. Memeluk Hanna dengan erat dan tidak akan pernah membiarkan wanita itu pergi seperti apa yang dikatakan Tonny di rumah sakit tadi. Sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk mengatakan betapa dia begitu mencintai Hanna tanpa perlu mencari tahu alasannya. Dia mendesah frustasi, menyalahkan diri sendiri yang begitu egois. Bisa saja dia memberikan pengertian kepada Sophia. Namun, setiap kali melihat pandangan mata Sophia yang memelas, dia seolah tidak bernyali untuk mengatakan sebuah fakta bahwa wanit
Hanna mendesah pasrah. Baiklah dia harus benar-benar kembali mengakui bahwa dirinya terlalu lemah untuk sekedar memberikan penolakan. Tubuhnya sering kali berkhianat dengan keinginannya sendiri. Tangannya seolah bermuatan magnet sehingga dengan mudah bergeser dan menempel ke wajah Bart. Membelainya lembut, merasakan rambut-rambut halus itu di setiap sudut jemarinya. "Tapi ..." ucap Hanna dengan ragu. Jari jemarinya berhenti bergerak-gerak pada satu titik, tepat di atas bibir sang suami. Mata Bart mengerling ke arah dua mata Hanna yang menatapnya begitu lekat, berusaha menyelami perasaan wanita itu, "Tapi apa?" tanyanya penasaran. "Tapi, bagaimana aku bisa memastikan jika kamu tidak akan mengecewakan aku lagi, Bart? Hatiku tidak sekuat yang kamu pikir, suatu hari nanti aku mungkin akan menyerah dengan sikapmu itu." Hanna melepaskan pandangan matanya yang sejak tadi bersitatap dengan kedua mata Bart, lalu mengalihkan tatapan ke arah jempolnya yang mengusa
"Gila!" umpat Tonny di dalam hati. Sepertinya Sophia baru saja menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Akan tetapi, Tonny tidak bisa mendengar percakapan yang dilakukan wanita licik itu di dengan lawan bicaranya melalui sambungan telepon tadi. Tonny yakin, sesuatu yang buruk sedang direncanakan oleh wanita itu. Tonny tetap berpura-pura tidur hingga yakin tidak ada lagi yang perlu dia dengar. Namun, Tonny masih berharap akan ada titik terang yang dapat menuntunnya menemukan sebuah kebenaran. Pergerakan Sophia yang terdengar mengendap-endap tentu saja tak lepas dari pengamatan Tonny dalam kepura-puraannya. Dia mendengar suara pintu ruang perawatan terbuka dan tak lama kemudian terdengar bisikan yang tidak begitu jelas. Namun, Tonny yakin seseorang yang datang merupakan salah satu sumber fakta yang berhubungan dengan rencana jahat Sophia. "Sudah kukatakan jangan ke sini. Kamu hanya akan memperburuk suasana," bisik Sophia tepat di depan pintu yang terbuka. Tepat di
Satu hal yang membuat Tonny ingin sekali tertawa saat ini, bukankah Sophia biasanya terlihat sangat lemah saat berhadapan dengan Bart. Bahkan ketika ingin makan saja dia meminta untuk disuapi dengan alasan tangannya yang sering kali gemetaran saat memegang gagang sendok. Tapi, Tonny menyaksikan sendiri seperti apa gesitnya wanita itu ketika menghindar. Tonny terkekeh dalam hati setelah yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu. Setidaknya, hari ini dia sudah menemukan sedikit petunjuk tentang niat buruk Sophia. Satu hal lagi, dia sangat yakin jika orang yang baru saja datang tadi adalah Samantha. Tonny tidak perlu gegabah dengan langsung mengabarkan hal ini kepada Bart. Dia mungkin akan memberi sedikit waktu sampai benar-benar yakin dan menemukan bukti-bukti yang bisa membuka topeng kedua wanita licik itu. Di dalam kamar, Sophia berulang kali menarik napas panjang. Dia berpikir rahasianya hampir saja terbongkar. Dia menyembunyikan koper itu di tempat yang
Memiliki hubungan pernikahan yang sehat tentunya menjadi sebuah pencapaian yang diinginkan setiap pasangan yang menikah. Bart merasa tidak pernah merasa setenang ini menjalani kehidupan, meskipun hubungan baiknya bersama Hanna baru saja dibangun beberapa jam yang lalu. Dia bahkan hampir melupakan keberadaan Sophia yang terakhir kali dia lihat masih lemah berbaring di rumah sakit. "Hey, bagaimana jika kita berbulan madu?" Bart memeluk Hanna dari belakang saat wanitanya sedang menatap ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkan Hanna, sejak tadi wanita itu tak henti untuk tersenyum. Mendengar ajakan Bart membuat Hanna melebarkan kedua matanya kemudian berbalik dengan ekspresi takjub. Pertama kali yang dia lihat adalah deretan gigi-gigi milik Bart berjejer rapi di antara dua bibirnya yang terbuka. Bagaimana mungkin Bart yang dingin bisa bersikap semanis ini. Apakah ini benar-benar sosok pria yang sudah menikahinya ataukah Bart terlahir menjadi manusia yang baru?
Tidak ada yang boleh mengetahui rencananya bersama Sophia. Matthew ingin Bart benar-benar hancur. Hancur dalam segala hal. Selama bertahun-tahun sejak pertemuan mereka yang kacau. Bart sudah menjadi ikon saudara yang buruk di mata Matthew. Dia menginginkan apa yang dimiliki Bart. Harta, ketenaran, bahkan istri yang dimiliki Bart, terlebih lagi wanita yang menjadi istri Bart adalah Hanna, kekasihnya di masa lalu yang masih begitu dia cintai. Mattew melajukan kendaraannya melalui jalan tol yang cukup sepi di waktu-waktu sekarang. Ini merupakan pilihan yang tepat dengan apa yang dia rencanakan. Dari kaca spion yang ditatap Matthew, nampak sebuah mobil minibus milik Tonny mengekorinya dari jarak yang cukup dekat. Matthew mendesis, dia menginjak pedal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyadari itu, Tonny terpancing untuk mengejarnya. Beberapa saat setelahnya, Tonny menyadari bahwa Matthew sengaja melakukan itu untuk melarikan diri karena menyadari tujuannya.
Hanna menggigit bibir kala Bart mengendus di ceruk lehernya, dia meraih kedua pundak Bart dan meremasnya. Drrrrt ... Getar ponsel milik Bart kembali membuyarkan fokus pria itu. Bart tahu, panggilan bisa dipastikan berasal dari Sophia. Dia sudah berjanji untuk mengabaikan panggilan-panggilan dari wanita itu sementara dirinya sedang bersama Hanna. Bart bangkit dan menghentikan aktifitasnya sejenak. Ekor mata Hanna mengikuti pergerakan Bart, "Panggilan dari wanita itu lagi?" tanyanya. Sambil tersenyum, Bart meyakinkan Hanna, "Saya hanya ingin menon-aktifkan ponsel ini, rasanya tidak nyaman jika harus membiarkannya mengganggu malam kita." Bart terkekeh. Hanna membuang pandangan dengan malu-malu, dia juga merasa bangga seolah dinomor satukan oleh suaminya kali ini. Bart mengambil ponselnya dengan kasar. Baru saja dia ingin menekan tombol non aktif, tapi nama yang tertera di layar ponsel kembali membuatnya terganggu. Bart ingin menerima panggi
Bart melajukan mobil di atas kecepatan rata-rata. Keinginannya hanya satu, memeluk Hanna dengan erat dan mengucapkan permohonan maaf bertubi-tubi. Sikap Sophia membuatnya terlihat bodoh. Begitu bodohnya hingga mau saja pergi meninggalkan istri yang nyata-nyata lebih memiliki posisi yang lebih penting. Setiap kali melewati kemacetan, Bart selalu saja merutuk. Dia ingin sekali cepat tiba menemui Hanna. Setibanya, Bart berlari menuju pintu utama. Suasana kediamannya itu terlihat normal, dari lantai bawah dia bisa menyaksikan pintu kamarnya bersama Hanna terbuka dan lampu pun menyala. Ada sedikit perasaan tenang yang dirasakan Bart mana kala dirinya meyakini jika sang istri belum tidur. Itu artinya mereka memiliki kesempatan untuk membahas kejadian malam ini. "Hanna," panggil Bart ketika dia sudah memasuki kamar. Namun, dia tidak menemukan keberadaan istrinya di sana. Bart membuka pintu kamar mandi, berharap jika wanita yang dia cintai sedang berada di dalam sana.
Sesak tiba-tiba mendera di dalam dada, Hanna mencoba untuk mengatur laju embusan napasnya yang semakin tak beraturan mana kala menyaksikan foto sang suami yang berada di layar ponsel. Tatapannya mengarah ke gumpalan-gumpalan awan yang tebal, tepat berada di ketinggian tiga puluh dua ribu feet di atas permukaan laut. Ada kerinduan dan kekecewaan yang membaur menjadi satu, tapi begitu sulit untuk dijabarkan lebih jelas. Hanna ingin sekali bersandar di dalam pelukan pria itu. Namun, sepertinya sudah cukup untuk tidak membohongi diri sendiri lagi dengan meyakinkan bahwa sang suami benar-benar mencintainya seperti apa yang terlihat terakhir kali. "Kau menyesal meninggalkannya, Nak?" ucap pria paruh baya yang duduk di samping wanita itu. Pria yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Hanna yang terlihat murung. Sesekali wanita itu mengusap sudut matanya yang basah, dan hal itu tidak luput dari pengamatan sang pria. Wajah pria itu terlihat tampan meskipun sudah berumu