Bart masih enggan melepaskan pelukannya di tubuh Hanna yang seputih susu. Mengendus leher sang istri seperti menikmati he***n yang membuatnya ketagihan. Dalam keraguan, Hanna mencoba untuk menggunakan kerealistisan pikirannya. Dia khawatir jika benar-benar jatuh dan tenggelam dalam perasaan cinta yang dalam terhadap suaminya sendiri.
"Bart ..." bisiknya di telinga Bart.
"Hm ..."
"Mengapa kamu menginginkan anak dariku. Bu-bukankah pernikahan kita hanya sebatas taruhan?"
Bart masih bergeming di ceruk leher Hanna. Hembusan napasnya terasa hangat menyentuh kulit wanita itu.
"Bart ..." Hanna kembali mengulangi ucapannya.
Masih di posisi yang sama, Bart menjawab dengan singkat, "Karena kita membutuhkannya," jelas Bart.
Mata Hanna mengerjap setelah mendengar kata-kata itu, "Me-membutuhkan?"
"Ya. Saya akan berusaha berdamai dengan pernikahan kita. Tapi ... saya tidak bisa menjanjikan cinta di dalam hubungan ini. Saya membutuhka
Hai Readers. Mmm ... Gimana nasib Hanna yang memendam perasaan terhadap suaminya ya? Jangan lupa untuk VOTE dulu sebelum scroll ke bawah ^_^
Megens Company, 11.00 a.m. Bart melangkah menuju ruang kerjanya. Pagi ini dia memutuskan untuk tetap pergi bekerja meskipun sudah terlambat beberapa jam. Setelah menghabiskan sarapan di cafe bersama Hanna, kemudian ia memutuskan untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumah sebelum dia berangkat ke Megens Company. Bart berdiri tepat di depan meja kerjanya dengan wajah ketidak sukaan yang ia tunjukkan sesaat setelah memasuki ruang yang hanya dirinya-lah berhak untuk berada di dalam. "Bart! Sudah lama aku sudah menunggumu." Suara manja terdengar dari seorang wanita yang dengan lancang sedang duduk di kursi kebesaran milik Bart. Wanita yang tak lain adalah Samantha yang membuat mood Bart berubah menjadi kesal, setelah baru saja ia menikmati kebersamaan dengan istrinya di rumah tadi. Di sudut lain ruang itu, ada seorang anak laki-laki yang sedang bermain lego di atas sofa. Anak laki-laki itu bahkan tidak menyadari dengan kehadiran Bart yang sejak tadi tidak sedik
"Mata liarmu itu membuatku risih!" ucap Hanna sambil memperhatikan tubuhnya sendiri. Merasa tidak ada yang salah dari penampilannya, dia melemparkan pandangan ke arah Isabelle setelahnya. Sejak bertemu dengan Isabelle di sebuah cafe favorit mereka, pandangan wanita berponi itu seakan-akan mengintimidasi Hanna. Wajah Isabelle terlihat serius dengan mata sesekali menyipit. "Berapa kali?" tanyanya. "Apa maksudmu?" "Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu bahkan berjalan seperti seekor kucing yang baru saja dikebiri." Hanna merotasikan kedua matanya, dia paham benar apa maksud Isabelle. Kucing yang sedang sdikebiri? Hah, istilah apa itu? Nampaknya wanita satu ini sangat antusias jika membahas hal-hal seperti itu. "Otakmu harus diberi pemutih pakaian agar berhenti memikirkan hal-hal yang kotor." Hanna menenggak minuman yang terletak di atas menja untuk menghilangkan kegugupan, atau bisa dibilang ucapan Isabelle barusan sungguh membuatnya salah tingkah. Sekelebat
Hanna menarik tubuh Isabelle hingga tiba di halaman parkir. Jika berlama-lama di dalam sana, dia khawatir jika Isabelle menyadari kehadiran Bart. "Apa-apaan ini Hanna?" Isabelle meninggikan suaranya. Hanna melepaskan jeratan tangannya dari lengan sahabatnya itu, "Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang. Jangan banyak bertanya, kepalaku sedang pusing. Bawa aku ke tempat lain," pintanya. "Aku tahu tempat yang bagus," ucap Isabelle sambil mengambil kunci mobil yang berada di tangan Hanna. "Terserahmu saja," balas Hanna singkat. Keduanya melesat meninggalkan halaman parkir dengan Isabelle yang ditugasi menjadi sopir. Sesekali wanita berponi itu melirik ke arah Hanna di sampingnya. Dia tahu ada yang tidak beres. Namun Isabelle enggan bertanya untuk sementara waktu. Hingga tibalah mereka di depan club malam. Meskipun namanya club malam, akan tetapi tempat itu sudah mulai dikunjungi sejak jelang sore hari. Dan, di sinilah mereka saat ini. Menjad
Hanna menutup pintu kamar dan dia segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untukmembersihkan diri. Sementara Bart yang ditinggalkan di lantai dasar mengepalkan tangannya yang tersembunyi di dalam kantong celana. Pria itu begitu kesal setelah mendengar Hanna yang sudah terlalu berani mengucapkan kata-kata yang tidak dia sukai. Sebagai kepala rumah tangga, Bart ingin hanya dirinyalah yang mendominasi, dan Hanna cukup bersikap patuh. Sesaat setelahnya, Bart melirik Thomas yang menguap beberapa kali di sampingnya. Dia kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Tentu saja, waktu menunjukkan sudah hampir larut untuk anak seusia Thomas yang seharusnya sudah berada di tempat tidur. "Bibi Helena," panggil Bart. Malam ini adalah malam pertama kalinya bagi Thomas akan menginap di kediaman Bart bersama Hanna. Namun, tidak mungkin bagi Bart berbagi tempat tidur dengan dua orang sekaligus. Terlebih lagi, kehadiran Thomas tentu mengejutkan bagi Hanna, dan Bart ti
Pagi harinya ... Bart baru saja membuka mata setelah semalam dia memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri, dan kembali ketika sudah hampir subuh. Dia menoleh ke samping, dan tentu saja tempat yang biasa ditiduri Hanna sudah dalam keadaan kosong. 'Wanita itu pasti sudah berkeliaran di lantai bawah,' batin Bart. Bart bangkit dan meregangkan seluruh anggota tubuhnya. Rasa pusing masih belum sepenuhnya menghilang di kepala. Meskipun semalam tidak begitu mabuk, Bart menyadari jika ia sudah menghabiskan terlalu banyak minuman beralkohol. Pergolakan di dalam dada memaksanya untuk mencari hiburan di luar. Ia bahkan tidak tahu bersikap seperti apa terhadap istrinya. Hati kecil Bart tentu saja membenarkan bahwa tidak sepatutnya Hanna berada di dalam rumah tangga yang tidak ia impikan seperti ini. Namun, entah ada dorongan apa di dalam diri pria itu untuk tetap mempertahankan Hanna sebagai satu-satunya istri yang dia miliki. Sophia ... Nama wanita itu kembali memenuhi
Isabelle melangkah perlahan menuju ke ruang makan setelah indra penciumannya terganggu dengan aroma nikmat yang berasal dari tempat itu. Wanita pemalas itu baru saja bangun dan keluar dari sangkarnya. "Cih ... Pantas saja di usia setua ini kamu masih melajang," sarkas Hanna. "To the point saja Hanna, kamu ingin mengataiku perawan tua, bukan?" balas Isabelle. Bagi Isabelle, kehadiran Hanna tidak sama sekali membuatnya terkejut. Hanna bisa masuk dengan bebas ke dalam appartementnya setelah Isabelle memberikan password sebagai akses masuk ke dalam ruang berukuran massif itu. Hanna fokus dengan apa yang ia masak. Pagi-pagi sekali ia meninggalkan mansion milik Bart untuk menghindari percakapan dengan suaminya itu, lebih tepatnya percakapan yang akan membawa ke arah pertengkaran. "Tidak ada pria yang mau menikahi wanita pemalas," ketus Hanna. "Tapi aku cantik dan kaya." Isabelle merotasikan kedua bola matanya, "dan satu hal lagi, aku masih PE-RA-WAN
Brak! Samantha menghempas keras daun pintu ruang kerja Bart. Dia seperti kehilangan kewarasannya setelah pernyataan Bart yang tidak pernah dia duga. "Argh! Breng**k!" umpat Samantha ketika pintu ruang kebesaran Bart tertutup. Samantha mondar-mandir di depan pintu. Dia sudah bersusah payah menghadirkan Thomas yang digadang-gadang akan menjadi alat untuk melancarkan rencananya terhadap Bart. Namun, setelah kenyataan yang dia dengar melalui mulut Bart sendiri, apakah Samantha masih bisa menyusun rencana untuk mendapatkan perhatian Bart? Bisa, tentunya. Akan tetapi, mungkin kali ini tantangannya lebih berat, batin Samantha. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Tiba-tiba saja Tonny berada di dekat wanita yang terlihat frustasi itu. Wajah Samantha yang menunjukkan kerutan-kerutan tajam sudah cukup menjelaskan jika sesuatu telah terjadi antara dia dan Bart. Tentunya hal yang tidak disukai Samantha. "Bukan urusanmu!" ucap Samantha kesal. Tonny menghentika
Sudah lewat tengah hari, akan tetapi Hanna sepertinya masih betah di dalam kamar Isabelle. "Hanna ... Hanna ... pst...!" Isabelle menarik-narik kaki Hanna agar wanita itu segera bangun. Sejak tadi Isabelle yang ingin ke luar untuk berbelanja, ia mengurungkan niatnya karena rasa penasaran. Tidak biasanya Hanna datang ke apartemennya hanya untuk sekedar menumpang tidur. Hanna menautkan kedua alisnya dengan mata yang masih terpejam. Perlahan ia mulai membuka mata indahnya sedikit demi sedikit, hingga cahaya ruangan berhasil menembus kedua pupil mata itu. "Jam berapa ini?" tanya Hanna kepada Isabelle. "Sudah siang." Isabelle berkacak pinggang dengan angkuh. "Kamu bertingkah seperti seorang wanita yang sedang membangunkan anak dari selingkuhan suamimu, Isabelle," gumam Hanna. "Hanna aku menunggumu sudah cukup lama!" Isabelle mendengkus sebal. "Apa yang kamu tunggu dari seseorang yang sedang tidur? Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan." Hanna mere