Hanna menarik tubuh Isabelle hingga tiba di halaman parkir. Jika berlama-lama di dalam sana, dia khawatir jika Isabelle menyadari kehadiran Bart. "Apa-apaan ini Hanna?" Isabelle meninggikan suaranya.
Hanna melepaskan jeratan tangannya dari lengan sahabatnya itu, "Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang. Jangan banyak bertanya, kepalaku sedang pusing. Bawa aku ke tempat lain," pintanya.
"Aku tahu tempat yang bagus," ucap Isabelle sambil mengambil kunci mobil yang berada di tangan Hanna.
"Terserahmu saja," balas Hanna singkat.
Keduanya melesat meninggalkan halaman parkir dengan Isabelle yang ditugasi menjadi sopir. Sesekali wanita berponi itu melirik ke arah Hanna di sampingnya. Dia tahu ada yang tidak beres. Namun Isabelle enggan bertanya untuk sementara waktu. Hingga tibalah mereka di depan club malam. Meskipun namanya club malam, akan tetapi tempat itu sudah mulai dikunjungi sejak jelang sore hari.
Dan, di sinilah mereka saat ini. Menjad
Hanna menutup pintu kamar dan dia segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untukmembersihkan diri. Sementara Bart yang ditinggalkan di lantai dasar mengepalkan tangannya yang tersembunyi di dalam kantong celana. Pria itu begitu kesal setelah mendengar Hanna yang sudah terlalu berani mengucapkan kata-kata yang tidak dia sukai. Sebagai kepala rumah tangga, Bart ingin hanya dirinyalah yang mendominasi, dan Hanna cukup bersikap patuh. Sesaat setelahnya, Bart melirik Thomas yang menguap beberapa kali di sampingnya. Dia kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Tentu saja, waktu menunjukkan sudah hampir larut untuk anak seusia Thomas yang seharusnya sudah berada di tempat tidur. "Bibi Helena," panggil Bart. Malam ini adalah malam pertama kalinya bagi Thomas akan menginap di kediaman Bart bersama Hanna. Namun, tidak mungkin bagi Bart berbagi tempat tidur dengan dua orang sekaligus. Terlebih lagi, kehadiran Thomas tentu mengejutkan bagi Hanna, dan Bart ti
Pagi harinya ... Bart baru saja membuka mata setelah semalam dia memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri, dan kembali ketika sudah hampir subuh. Dia menoleh ke samping, dan tentu saja tempat yang biasa ditiduri Hanna sudah dalam keadaan kosong. 'Wanita itu pasti sudah berkeliaran di lantai bawah,' batin Bart. Bart bangkit dan meregangkan seluruh anggota tubuhnya. Rasa pusing masih belum sepenuhnya menghilang di kepala. Meskipun semalam tidak begitu mabuk, Bart menyadari jika ia sudah menghabiskan terlalu banyak minuman beralkohol. Pergolakan di dalam dada memaksanya untuk mencari hiburan di luar. Ia bahkan tidak tahu bersikap seperti apa terhadap istrinya. Hati kecil Bart tentu saja membenarkan bahwa tidak sepatutnya Hanna berada di dalam rumah tangga yang tidak ia impikan seperti ini. Namun, entah ada dorongan apa di dalam diri pria itu untuk tetap mempertahankan Hanna sebagai satu-satunya istri yang dia miliki. Sophia ... Nama wanita itu kembali memenuhi
Isabelle melangkah perlahan menuju ke ruang makan setelah indra penciumannya terganggu dengan aroma nikmat yang berasal dari tempat itu. Wanita pemalas itu baru saja bangun dan keluar dari sangkarnya. "Cih ... Pantas saja di usia setua ini kamu masih melajang," sarkas Hanna. "To the point saja Hanna, kamu ingin mengataiku perawan tua, bukan?" balas Isabelle. Bagi Isabelle, kehadiran Hanna tidak sama sekali membuatnya terkejut. Hanna bisa masuk dengan bebas ke dalam appartementnya setelah Isabelle memberikan password sebagai akses masuk ke dalam ruang berukuran massif itu. Hanna fokus dengan apa yang ia masak. Pagi-pagi sekali ia meninggalkan mansion milik Bart untuk menghindari percakapan dengan suaminya itu, lebih tepatnya percakapan yang akan membawa ke arah pertengkaran. "Tidak ada pria yang mau menikahi wanita pemalas," ketus Hanna. "Tapi aku cantik dan kaya." Isabelle merotasikan kedua bola matanya, "dan satu hal lagi, aku masih PE-RA-WAN
Brak! Samantha menghempas keras daun pintu ruang kerja Bart. Dia seperti kehilangan kewarasannya setelah pernyataan Bart yang tidak pernah dia duga. "Argh! Breng**k!" umpat Samantha ketika pintu ruang kebesaran Bart tertutup. Samantha mondar-mandir di depan pintu. Dia sudah bersusah payah menghadirkan Thomas yang digadang-gadang akan menjadi alat untuk melancarkan rencananya terhadap Bart. Namun, setelah kenyataan yang dia dengar melalui mulut Bart sendiri, apakah Samantha masih bisa menyusun rencana untuk mendapatkan perhatian Bart? Bisa, tentunya. Akan tetapi, mungkin kali ini tantangannya lebih berat, batin Samantha. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Tiba-tiba saja Tonny berada di dekat wanita yang terlihat frustasi itu. Wajah Samantha yang menunjukkan kerutan-kerutan tajam sudah cukup menjelaskan jika sesuatu telah terjadi antara dia dan Bart. Tentunya hal yang tidak disukai Samantha. "Bukan urusanmu!" ucap Samantha kesal. Tonny menghentika
Sudah lewat tengah hari, akan tetapi Hanna sepertinya masih betah di dalam kamar Isabelle. "Hanna ... Hanna ... pst...!" Isabelle menarik-narik kaki Hanna agar wanita itu segera bangun. Sejak tadi Isabelle yang ingin ke luar untuk berbelanja, ia mengurungkan niatnya karena rasa penasaran. Tidak biasanya Hanna datang ke apartemennya hanya untuk sekedar menumpang tidur. Hanna menautkan kedua alisnya dengan mata yang masih terpejam. Perlahan ia mulai membuka mata indahnya sedikit demi sedikit, hingga cahaya ruangan berhasil menembus kedua pupil mata itu. "Jam berapa ini?" tanya Hanna kepada Isabelle. "Sudah siang." Isabelle berkacak pinggang dengan angkuh. "Kamu bertingkah seperti seorang wanita yang sedang membangunkan anak dari selingkuhan suamimu, Isabelle," gumam Hanna. "Hanna aku menunggumu sudah cukup lama!" Isabelle mendengkus sebal. "Apa yang kamu tunggu dari seseorang yang sedang tidur? Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan." Hanna mere
Beberapa menit berlalu, akhirnya Bart merasa jika mualnya mereda. Dia segera menelan sebuah pil pencegah mual pada saat itu juga. Bukan karena ingin menemui Samantha, akan tetapi sejak tadi dia belum sama sekali menemui putranya--Thomas. Namun, baru saja ia akan melangkah ke lantai bawah, terdengar suara keributan. "Oh! Jadi kamu wanita penggoda yang membuat Bart melupakan pertunangan kami?" Ucapan itu berasal dari ulut Samantha. Hanna yang baru saja kembali ke mansion, benar-benar dikejutkan oleh kehadiran Samantha di rumah itu. Pengakuan Bart tentang status Thomas malam kemarin saja masih membuat jantungnya memerih, tapi kali ini entah masalah baru apa lagi yang akan menghampirinya. Hanna tidak menjawab ucapan Samantha sama sekali. Dia sudah cukup muak berada di lingkaran itu. Jika boleh memilih, lebih baik sejak awal dia tidak mengenal manusia dingin bernama Bart Megens. Sayangnya, dia terlanjur mencintai pria yang sudah menjadi suaminya itu. "Mommy, I don
Hanna tidak menggubris kehadiran pria itu, meskipun aura dingin di seberang sana seolah menjalar hingga memenuhi seluruh ruangan yang terasa memberi efek beku. Biarlah Bart dengan segala kemarahannya yang lebih dulu memulai percakapan di antara mereka, dan benar saja, suara deheman pria itu terdengar cukup jelas meskipun Hanna sedang menggunakan headset di telinganya. Bart melepas headset itu dengan kasar setelah merasa jika wanita itu tidak sedikitpun bereaksi dengan keberadaannya di ruangan itu. "Sikap seperti apa yang ingin kamu tunjukkan di hadapan suamimu? Saya tahu Hanna, kamu menyadari keberadaan saya sejak tadi," ketus Bart. "Begitukah?" Hanna menyipitkan matanya. Aura dingin kembali terpancar di wajah tampan Bart. Hanna mampu membuat emosinya mencuat, meskipun Bart berharap kali ini mereka dapat berbicara dengan kepala dingin. "Hanna, jangan melampaui batas. Saya suamimu, jika kamu lupa!" Suara Bart meninggi, akan tetapi tak cukup membu
Di sinilah mereka saat ini. Sepasang suami istri yang berada di ranjang yang sama, akan tetapi tidak saling menegur satu sama lain, bahkan posisi mereka saat ini saling membelakangi. Bart mungkin merasa bersalah terhadap apa yang sudah Hanna saksikan di lantai bawah tadi. Akan tetapi, lagi-lagi dia terlalu egois hanya untuk mengucapkan sebuah kata 'maaf'. Lalu bagaimana perasaan Hanna saat ini. Mungkin karena terlalu lelah, napas Hanna terdengar berhembus dengan teratur, menandakan jika wanita itu saat ini sudah lebih dulu tertidur. Bart menegakkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Dia menoleh ke arah Hanna yang kini sudah berada di alam mimpi. Pria itu terdiam beberapa detik, setelah dia menyadari jika wanita yang berstatus sebagai istrinya ini bisa begitu sangat cantik dan sayangnya Bart tidak pernah peduli tentang hal itu sebelumnya. Namun, di detik selanjutnya, Bart kembali memikirkan keberadaan Thomas dan di secara bersamaan pikirannya tertuju pada sosok wan