Di sinilah mereka saat ini. Sepasang suami istri yang berada di ranjang yang sama, akan tetapi tidak saling menegur satu sama lain, bahkan posisi mereka saat ini saling membelakangi. Bart mungkin merasa bersalah terhadap apa yang sudah Hanna saksikan di lantai bawah tadi.
Akan tetapi, lagi-lagi dia terlalu egois hanya untuk mengucapkan sebuah kata 'maaf'. Lalu bagaimana perasaan Hanna saat ini. Mungkin karena terlalu lelah, napas Hanna terdengar berhembus dengan teratur, menandakan jika wanita itu saat ini sudah lebih dulu tertidur.
Bart menegakkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Dia menoleh ke arah Hanna yang kini sudah berada di alam mimpi. Pria itu terdiam beberapa detik, setelah dia menyadari jika wanita yang berstatus sebagai istrinya ini bisa begitu sangat cantik dan sayangnya Bart tidak pernah peduli tentang hal itu sebelumnya. Namun, di detik selanjutnya, Bart kembali memikirkan keberadaan Thomas dan di secara bersamaan pikirannya tertuju pada sosok wan
Samantha sesekali melirik ke arah Hanna untuk memastikan seperti apa reaksi wanita itu. Beruntung karena Bart tidak menolah perlakuannya, sehingga Samantha tak perlu lagi takut dipermalukan di hadapan sang rival. Sesuatu yang dilakukan Samantha, pada dasarnya cukup dimengerti oleh Bart. Pria itu sengaja membiarkan si wanita ular untuk melayaninya hanya karena ingin melihat seperti apa reaksi sang istri. Namun, melihat sikap Hanna yang biasa-biasa saja membuat Bart menjadi semakin kesal. "Samantha bisakah kamu bantu aku membersihkan kotoran di mulutku," pinta Bart dengan suara lantang agar Hanna mendengarnya dengan jelas. Mendengar hal itu membuat Samantha merasakan angin segar berkeliaran di sekelilingnya. Tanpa dia sadari bahwa sesungguhnya Bart hanya memanfaatkan keberadaannya saja untuk memanas-manasi Hanna. Samantha dengan semangat mengambil tissue di atas meja dan mulai membersihkan sudut bibir Bart yang terlihat belepotan akibat selai yang sengaja d
Isabelle menatap nyalang ke arah Hanna akibat rasa sakit yang ditimbulkan dari cubitan itu. Sedangkan Hanna memberikan isyarat dengan matanya. "Akhem, apa kehadiranku mengganggu kalian?" Hanna tak tahan lagi untuk tidak bersuara. Suasana di mansion tadi saja masih mempengaruhi moodnya, dan sekarang ada banyak tanda tanya di kepala Hanna dengan situasi yang terjadi. Hanna tidak sehaus itu dengan sentuhan laki-laki, jadi tidak sepatutnya Isabelle mendatangkan dua orang laki-laki sekaligus untuk 'bermain-main' dengan mereka. Plak! Isabelle mendaratkan tepukan keras di paha Hanna. Pertama, ini adalah sebuah balasan dari cubitan keras yang sempat dia rasakan sebelumnya. Ke dua, Isabelle mencoba menyadarkan Hanna yang Isabelle yakini sedang memikirkan sesuatu yang tidak-tidak. "Mereka sepupuku!" ucap Isabelle dengan kekehan kecil yang terdengar seperti sebuah ledekan. "Apa yang kamu pikirkan?" lanjut wanita cantik berponi itu. "Maksudmu?" Hanna mengernyit d
Hallo Readers ... Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat semua ya. Author harap, kalian enjoy menikmati kisah 'Bukan Pernikahan Impian' karya Author ini. Jangan pernah lupa untuk terus mendukung karya ini dengan memberikan VOTE sebanyak yang kalian bisa. Serta KOMENTAR-KOMENTAR POSITIF dengan BINTANG 5 yang merupakan salah satu penyemangat bagi Author untuk terus memberikan karya-karya yang terbaik. Selain itu, Author juga tak lelah-lelahnya untuk mengingatkan agar para Readers sudi kiranya untuk mampir ke karya Author yang lain. Karya yang tidak kalah menariknya dari karya yang kalian nikmati ini. Semoga kita selalu berada di dalam lindungan Allah Azza wajjal. Author ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pembaca setia dan kawan-kawan penulis yang turut memberikan dukungan atas karya ini. ^_^
Bart mengepalkan salah satu tangannya di bawah meja dengan urat-urat yang menonjol di sepanjang lengan. Dia melihat dengan sangat jelas bagaimana kemesraan yang ditunjukkan oleh wanita yang sangat ia kenal. Entah Hanna menyadari kehadiran Bart atau tidak, dia hanya bersikap seperti yang diperintahkan oleh Isabelle sebelumnya. Sesaat kemudian, tanpa sengaja Hanna melihat sosok sang suami yang juga sedang menatapnya. Beberapa detik berlalu, Hanna menyadari jika yang terjadi sekarang bukanlah sebuah kebetulan. Ekor matanya melirik ke arah Isabelle tak henti-henti tersenyum bahagia. Dan, Hanna menyadari jika wanita cantik berponi itulah dalang dari kejadian ini. Tentu saja, Hanna yang sudah memahami situasi itu semakin bersemangat untuk melanjutkan perannya. Bart tidak akan mungkin marah di tengah-tengah orang banyak. Lagi pula pria itu tidak pernah sekalipun mendeklarasikan hubungan mereka berdua. Jadi, tidak akan ada yang berpikir jika Bart memiliki seorang istri
"Baiklah, terima kasih untuk hari ini. Tapi sebaiknya aku harus pulang sekarang juga dan bersiap-siap untuk menghadapi kemarahan singa jantan itu malam ini." Hanna berniat untuk memisahkan diri. Dia merasa aktingnya tadi sudah cukup keterlaluan. Namun, di saat yang bersamaan ada rasa kepuasan di dalam dirinya yang sulit untuk digambarkan. Tetutama setelah melihat perubahan wajah Bart yang dia lirik secara diam-diam. "Kamu yakin akan pulang sekarang? Bukannya ada wanita ular itu di sana?" Isabelle sangat benci dengan wanita yang bernama Samantha itu. Jika dia berada di posisi Hanna, akan dia pastikan jika Samantha keluar dari rumah itu dengan wajah yang cacat. "Apa yang bisa dia lakukan selain menggoda Bart dan memanas-manasiku? Cukup memejamkan mata dan menulikan pendengaran, kurasa sudah cukup membantu. Aku tidak peduli dengan apa yang akan mereka lakukan." Sejenak Hanna teringat dengan kehadiran Thomas di mansion itu. Memorinya kembali berputar menunjukkan adegan d
Setelah yakin siluet Hanna menghilang, Samantha tersenyum puas mengenakan pakaiannya kembali. Dia kemudian mendekati Bart yang sedang tertidur pulas. Mencium bibir pria itu dan mengabadikannya ke dalam bentuk foto dengan keadaan sama-sama terpejam. Seolah-olah keduanya sama-sama menikmati moment itu. Tanpa ada yang menyangka jika itu hanyalah akal-akalan Samantha untuk membuat asumsi publik bahwa dirinya dan Bart memiliki hubungan serius. Terlebih lagi untuk membuat Hanna membenci suaminya sendiri. Sejak tadi Bibi Helena mondar-mandir di hadapan kamar Hanna. Dia merasa bersalah karena tidak bisa menjelaskan kejadian yang disaksikan wanita itu. "Apa yang kamu lakukan di sini wanita tua!" Samantha tiba-tiba muncul di hadapan Bibi Helena dan membuat wanita berumur itu sedikit terkejut. Bibi Helena menunjukkan wajah takut dan benci secara bersamaan. Wanita yang berdiri angkuh di hadapannya ini benar-benar seekor ular berwujud manusia. Dia dengan mudah
Hanna seolah-olah tidak terganggu dengan percakapan dua manusia di hadapannya. Dia bahkan bersikap sangat menikmati makanan yang tersaji di depan. Berkali-kali Hanna menambahkan makanan dengan porsi kecil ke atas piringnya, seolah selera makannya cukup baik saat itu. "Kau pandai sekali memasak, Bi. Andai saja aku masih memiliki ruang yang tersisa di dalam perutku, tentu aku akan menghabiskan semua makanan ini," puji Hanna kepada Bibi Helena. Wanita tua itu tersenyum. "Bibi rasa nafsu makan Nyonya sepertinya sangat baik." "Tentu saja, Bi. Aku melewati hari yang sangat menyenangkan hari ini. Jadi, karena itulah. Oh ya, kau bisa membersihkan sisa-sisa tubuhku yang melengket di kursi makan. Aku tidak ingin pekerjaanmu menjadi semakin berat jika seseorang nanti akan muntah karena bekas yang aku tinggalkan, tentunya hal itu akan merepotkanmu." Hanna berlalu begitu saja setelah berhasil mengucapkan kata-kata sindiran itu. Perasaannya sudah mati terhadap Bart. Dia pe
Di dalam kamar. Turunkan aku, Bart!" Hanna meronta-ronta ketika Bart masih memposisikan wanita itu di atas bahunya. Brak! "Sesuai permintaanmu." Tanpa aba-aba Bart menghempaskan tubuh Hanna ke atas tempat tidur. "Aw ...!" Wanita itu memekik sambil memegangi tulang punggungnya yang terasa sakit. "Kamu laki-laki kejam!" "Berhenti bermain-main, Hanna. Saya tahu kamu tidak benar-benar menyukai laki-laki itu, kan? Kamu hanya mencintai saya, hanya saya!" Dengan membenarkan bathrobe yang tadi sempat tersibak dari tubuhnya karena perlakuan kasar Bart, Hanna memandang suaminya dengan tatapan mengejek. "Cih! Kamu percaya diri sekali. Sejak kapan aku pernah mengatakan kalau aku mencintaimu? Bermimpilah!" "Kamu tidak usah berbohong. Jangan kamu pikir saya tidak tahu setiap kali kamu memandangi saat saya tidur. Kenyataannya saya memang tampan dan punya segalanya. Mustahil kamu lebih memilih orang lain. Seharusnya kamu bersyukur sudah menjadi istri
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it