Di dalam kamar.
Turunkan aku, Bart!" Hanna meronta-ronta ketika Bart masih memposisikan wanita itu di atas bahunya.
Brak! "Sesuai permintaanmu." Tanpa aba-aba Bart menghempaskan tubuh Hanna ke atas tempat tidur.
"Aw ...!" Wanita itu memekik sambil memegangi tulang punggungnya yang terasa sakit. "Kamu laki-laki kejam!"
"Berhenti bermain-main, Hanna. Saya tahu kamu tidak benar-benar menyukai laki-laki itu, kan? Kamu hanya mencintai saya, hanya saya!"
Dengan membenarkan bathrobe yang tadi sempat tersibak dari tubuhnya karena perlakuan kasar Bart, Hanna memandang suaminya dengan tatapan mengejek. "Cih! Kamu percaya diri sekali. Sejak kapan aku pernah mengatakan kalau aku mencintaimu? Bermimpilah!"
"Kamu tidak usah berbohong. Jangan kamu pikir saya tidak tahu setiap kali kamu memandangi saat saya tidur. Kenyataannya saya memang tampan dan punya segalanya. Mustahil kamu lebih memilih orang lain. Seharusnya kamu bersyukur sudah menjadi istri
Samantha terlihat sangat kesal dengan apa yang dia alami. Menu sarapan di atas meja yang terlihat menarik, justru membuat selera makannya terganggu. Pasangan suami istri yang duduk bersisian di hadapannya, seolah-olah sengaja memancing emosinya sepagi ini. Setelah menyelesaikan sarapan, Bart dan Hanna kembali membuat wanita ular itu merasa kepanasan. Beralih ke ruang utama, Bart menegakkan tubuh ketika Hanna melingkarkan dasi ke arah kerah kemejanya. Wanita itu begitu terampil mengambil salah satu ujung dasi dan menyimpulnya dengan rapi di bagian tengah. Mereka sengaja melakukan itu di hadapan Samantha agar wanita ular itu sadar bahwa kehadirannya di sana hanya dianggap sebagai seorang pengganggu. Ketika wajahnya dengan wajah Bart hampir tidak berjarak, Hanna merasakan hangat hembusan napas pria itu menyapu puncak kepalanya. Seketika saja tengkuknya meremang saat mengingat seperti apa kedekatan mereka semalam. Bart bisa sangat lembut saat berada di dalam peluka
"Bart, bisakah aku pergi saja dari sini. Aku tidak ingin mengganggu konsentrasimu bekerja. Lagipula aku tidak memiliki andil apa-apa di sini." Hanna terlihat gelisah berada di ruang kerja Bart tanpa melakukan apa-apa. Pria itu justru sibuk dengan beberapa berkas yang berada di atas meja kerjanya tanpa memedulikan kehadiran sang istri. Padahal dia sendiri lah yang memaksa wanita itu untuk ikut ke kantor meskipun Hanna sempat menolak. "Kamu ingin pergi ke mana?" tanya Bart singkat. Hanna menjawab ragu-ragu. "E ... Me-mengunjungi Isabelle untuk membahas sesuatu." "Membahas tentang apa yang kamu bicarakan di telepon tadi?" balas Bart. 'Sh*t, pria ini memang mendengar apa yang sudah kami bahas tadi' batin Hanna dengan raut wajah salah tingkah. Dia menunduk sambil merutuki dirinya sendiri. Sungguh harga dirinya seolah-olah terbang dan entah hinggap di mana, sehingga Hanna merasa sangat kecil, benar-benar kecil di hadapan pria itu. "Pergilah jika kam
Tonny meninggalkan sepasang suami istri yang terlihat kikuk itu sebelum dirinya memanggil seorang cleaning service untuk membersihkan pecahan kaca yang terserak di lantai ruang kerja milik Bart. Suara dering telepon memenuhi ruang kerja di mana Bart dan Hanna berada saat ini. "Hallo ..." Bart terdiam beberapa detik setelah mengucapkan kata-kata itu. Entah siapa yang menghubunginya, sehingga nampak jelas raut wajah Bart terlihat menggelap. Dia menutup panggilan telepon dan dalam waktu singkat kembali mengenakan jasnya yang tergantung di sisi kursi. Secepat itu juga Bart meninggalkan Hanna tanpa kata di dalam ruangan itu. "Bart!" Hanna mengarahkan tangannya di awang-awang untuk menghentikan Bart. Namun pria itu tidak menggubris sama sekali, justru dia mempercepat langkahnya untuk beranjak dari ruangan itu. "Bart, sebagai ganti minuman yang aku jatuhkan tadi. Aku membawakanmu ..." Tonny menghentikan ucapannya ketika setelah kembali masuk secara tiba-tiba
Masih di dalam pelukan Bart, Hanna merasakan tubuhnya bergetar hebat. Meskipun Bart memeluknya sangat erat, akan tetapi rasa dingin berhasil menjalar ke seluruh tubuh. Bart yang menyadari itu kemudian bangun dari tidurnya. "Han, kamu kenapa?" tanyanya, akan tetapi tidak ada jawaban dari wanita itu. Bibirnya pucat dan bergetar. Bart menempelkan punggung tangannya ke dahi sang istri. "Kepalamu panas sekali." Perlahan Bart melepaskan pelukannya. Dengan cepat dia mengenakan kembali pakaiannya dan saat itu juga dia meraih tubuh Hanna, menggendong wanita itu menuju ke halaman parkir. Gelapnya langit Amsterdam menunjukkan bahwa saat itu masih tengah malam. Di mana orang-orang menikmati nikmatnya tidur di dalam kamar yang hangat, Bart justru harus merelakan waktu istirahatnya demi membawa sang istri untuk mendapatkan pertolongan ke rumah sakit. Mobil yang dikendarai Bart melaju dengan kecepatan stabil. Bart sesekali melirik Hanna yang meringkuk di kursi penumpang di sampingn
"Apa aku akan berakhir dengan kehamilan di saat suamiku sendiri tidak begitu peduli denganku?" Hanna mengucapkan kata-kata dengan rasa getir yang menusuk ke dalam dadanya. "Jangan terlalu berpikiran buruk. Dokter mengatakan jika kamu tidak hamil, Hanna. Kamu mungkin terlalu terpengaruh dengan novel-novel yang sering kamu baca. Diabaikan suami dalam keadaan hamil, hah lucu sekali. Aku jamin hal itu tidak akan terjadi. Tuhan akan memberikan kamu keturunan jika kamu memang sudah pantas mendapatkannya. Dan aku rasa, saat ini kamu belum membutuhkannya, apalagi dengan sikap Bart seperti itu." Hanna mengangguk dan membenarkan perkataan Isabelle. "Aku mencintainya," ucap Hanna lesu. Ucapan Hanna disambut dengan lenguhan panjang dari napas Isabelle. Wanita berponi itu kemudian mendekat dan menyuapkan sesendok bubur ke mulut Hanna. "Aku tahu, Hanna. Dan aku tidak menyalahkan perasaan itu muncul di hatimu. Yang aku sesalkan hanyalah sikap lemahmu yang dengan mudah
Belum lama sejak kepergian Isabelle, pintu ruang perawatan terbuka dan menampakkan seseorang yang sedang mengenakan masker berdiri di sana. Hanna memaksakan diri menoleh, meskipun kepalanya masih terasa berdenyut. Melihat siluetnya saja Hanna bisa mengenali siapa yang datang. "Untuk apa kamu menunjukkan wajahmu ke hadapanku lagi?" Hanna menyambut kehadiran Matthew dengan tatapan tidak bersahabat. Matthew melepaskan masker yang sempat menutupi wajahnya. Dia kemudian mengikis sedikit jarak di antara dirinya dengan Hanna. Namun, pergerakan tangan Hanna dari kejauhan membuatnya menghentikan langkah. "Aku tahu kesalahanku tidak bisa dimaafkan, Hanna. Tapi aku datang bukan untuk memaksamu kembali kepadaku." "... Ada sesuatu yang perlu kamu ketahui," sambungnya. "Apa kamu hanya ingin mengatakan bahwa anak dari hubungan gelapmu bersama wanita tua itu sudah lahir? Maaf Matthew, aku tidak tertarik untuk mengetahui itu, dan aku sudah tidak peduli." "Buka
Suara gerakan pintu kembali membuat Hanna menolehkan pandangannya. Dia menyapu sudut mata yang sempat basah dengan segera. Wajah kesal Isabelle menyapanya sejak pintu itu terbuka. "Kenapa?" tanya Hanna. Isabelle mendaratkan tubuh ke atas sofa dengan kasar, "Tidak apa-apa, hanya masalah kecil." "Bagaimana urusanmu?" tanya Hanna lagi sambil memperhatikan raut wajah Isabelle yang muram. Bukannya menjawab, Isabelle justru mengendus aroma yang samar-samar dia rasakan sejak pintu ruang perawatan tadi terbuka, "Seseorang datang ke sini?" tanyanya menelisik wajah Hanna. Hanna hanya tersenyum, tidak ada gunanya menutupi kehadiran Matthew yang datang beberapa waktu yang lalu. "Matthew," ucapanya. "... Hanya lima menit." Hanna melanjutkan dengan ekspresi santai. Saat itu juga Isabelle mengepalkan kedua tangan. Rasa kesal semakin menjadi-jadi setelah dia menyadari bahwa Matthew sengaja menjebaknya untuk bisa mendapatkan kesempatan agar bisa bertemu
*** Hanna memasksa untuk membuka mata dengan rasa pening yang masih menjalar di kepala. Terdapat kantung melingkar di bawah indra penglihatan itu dengan pipi yang sedikit sembab. Seingatnya, dia tidak menangis sebelum ini, atau mungkin dia hanya tidak menyadari itu. Jika ada Isabelle di dalam ruangan, mungkin Hanna tidak dapat beristirahat seperti ini. Sahabat berponinya selalu saja membuat kebisingan tanpa mengenal tempat. Beruntung wanita itu berpamitan kepada Hanna untuk pulang ke apartemen sebentar. Hanna bergerak saat merasakan sentuhan seseorang di pergelangan tangan. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia berharap sentuhan itu berasal dari pria yang berstatus sebagai suaminya. Namun, di detik berikutnya, Hanna harus menghembuskan napas kecewa saat menyadari bahwa yang menyentuhnya saat ini adalah seorang perawat rumah sakit yang datang untuk mengganti cairan infus. Bukankah ini sudah lebih dari dua hari dia dirawat? Lalu selama itu juga Bart tid