Tonny meninggalkan sepasang suami istri yang terlihat kikuk itu sebelum dirinya memanggil seorang cleaning service untuk membersihkan pecahan kaca yang terserak di lantai ruang kerja milik Bart.
Suara dering telepon memenuhi ruang kerja di mana Bart dan Hanna berada saat ini.
"Hallo ..." Bart terdiam beberapa detik setelah mengucapkan kata-kata itu. Entah siapa yang menghubunginya, sehingga nampak jelas raut wajah Bart terlihat menggelap. Dia menutup panggilan telepon dan dalam waktu singkat kembali mengenakan jasnya yang tergantung di sisi kursi. Secepat itu juga Bart meninggalkan Hanna tanpa kata di dalam ruangan itu.
"Bart!" Hanna mengarahkan tangannya di awang-awang untuk menghentikan Bart. Namun pria itu tidak menggubris sama sekali, justru dia mempercepat langkahnya untuk beranjak dari ruangan itu.
"Bart, sebagai ganti minuman yang aku jatuhkan tadi. Aku membawakanmu ..." Tonny menghentikan ucapannya ketika setelah kembali masuk secara tiba-tiba
Masih di dalam pelukan Bart, Hanna merasakan tubuhnya bergetar hebat. Meskipun Bart memeluknya sangat erat, akan tetapi rasa dingin berhasil menjalar ke seluruh tubuh. Bart yang menyadari itu kemudian bangun dari tidurnya. "Han, kamu kenapa?" tanyanya, akan tetapi tidak ada jawaban dari wanita itu. Bibirnya pucat dan bergetar. Bart menempelkan punggung tangannya ke dahi sang istri. "Kepalamu panas sekali." Perlahan Bart melepaskan pelukannya. Dengan cepat dia mengenakan kembali pakaiannya dan saat itu juga dia meraih tubuh Hanna, menggendong wanita itu menuju ke halaman parkir. Gelapnya langit Amsterdam menunjukkan bahwa saat itu masih tengah malam. Di mana orang-orang menikmati nikmatnya tidur di dalam kamar yang hangat, Bart justru harus merelakan waktu istirahatnya demi membawa sang istri untuk mendapatkan pertolongan ke rumah sakit. Mobil yang dikendarai Bart melaju dengan kecepatan stabil. Bart sesekali melirik Hanna yang meringkuk di kursi penumpang di sampingn
"Apa aku akan berakhir dengan kehamilan di saat suamiku sendiri tidak begitu peduli denganku?" Hanna mengucapkan kata-kata dengan rasa getir yang menusuk ke dalam dadanya. "Jangan terlalu berpikiran buruk. Dokter mengatakan jika kamu tidak hamil, Hanna. Kamu mungkin terlalu terpengaruh dengan novel-novel yang sering kamu baca. Diabaikan suami dalam keadaan hamil, hah lucu sekali. Aku jamin hal itu tidak akan terjadi. Tuhan akan memberikan kamu keturunan jika kamu memang sudah pantas mendapatkannya. Dan aku rasa, saat ini kamu belum membutuhkannya, apalagi dengan sikap Bart seperti itu." Hanna mengangguk dan membenarkan perkataan Isabelle. "Aku mencintainya," ucap Hanna lesu. Ucapan Hanna disambut dengan lenguhan panjang dari napas Isabelle. Wanita berponi itu kemudian mendekat dan menyuapkan sesendok bubur ke mulut Hanna. "Aku tahu, Hanna. Dan aku tidak menyalahkan perasaan itu muncul di hatimu. Yang aku sesalkan hanyalah sikap lemahmu yang dengan mudah
Belum lama sejak kepergian Isabelle, pintu ruang perawatan terbuka dan menampakkan seseorang yang sedang mengenakan masker berdiri di sana. Hanna memaksakan diri menoleh, meskipun kepalanya masih terasa berdenyut. Melihat siluetnya saja Hanna bisa mengenali siapa yang datang. "Untuk apa kamu menunjukkan wajahmu ke hadapanku lagi?" Hanna menyambut kehadiran Matthew dengan tatapan tidak bersahabat. Matthew melepaskan masker yang sempat menutupi wajahnya. Dia kemudian mengikis sedikit jarak di antara dirinya dengan Hanna. Namun, pergerakan tangan Hanna dari kejauhan membuatnya menghentikan langkah. "Aku tahu kesalahanku tidak bisa dimaafkan, Hanna. Tapi aku datang bukan untuk memaksamu kembali kepadaku." "... Ada sesuatu yang perlu kamu ketahui," sambungnya. "Apa kamu hanya ingin mengatakan bahwa anak dari hubungan gelapmu bersama wanita tua itu sudah lahir? Maaf Matthew, aku tidak tertarik untuk mengetahui itu, dan aku sudah tidak peduli." "Buka
Suara gerakan pintu kembali membuat Hanna menolehkan pandangannya. Dia menyapu sudut mata yang sempat basah dengan segera. Wajah kesal Isabelle menyapanya sejak pintu itu terbuka. "Kenapa?" tanya Hanna. Isabelle mendaratkan tubuh ke atas sofa dengan kasar, "Tidak apa-apa, hanya masalah kecil." "Bagaimana urusanmu?" tanya Hanna lagi sambil memperhatikan raut wajah Isabelle yang muram. Bukannya menjawab, Isabelle justru mengendus aroma yang samar-samar dia rasakan sejak pintu ruang perawatan tadi terbuka, "Seseorang datang ke sini?" tanyanya menelisik wajah Hanna. Hanna hanya tersenyum, tidak ada gunanya menutupi kehadiran Matthew yang datang beberapa waktu yang lalu. "Matthew," ucapanya. "... Hanya lima menit." Hanna melanjutkan dengan ekspresi santai. Saat itu juga Isabelle mengepalkan kedua tangan. Rasa kesal semakin menjadi-jadi setelah dia menyadari bahwa Matthew sengaja menjebaknya untuk bisa mendapatkan kesempatan agar bisa bertemu
*** Hanna memasksa untuk membuka mata dengan rasa pening yang masih menjalar di kepala. Terdapat kantung melingkar di bawah indra penglihatan itu dengan pipi yang sedikit sembab. Seingatnya, dia tidak menangis sebelum ini, atau mungkin dia hanya tidak menyadari itu. Jika ada Isabelle di dalam ruangan, mungkin Hanna tidak dapat beristirahat seperti ini. Sahabat berponinya selalu saja membuat kebisingan tanpa mengenal tempat. Beruntung wanita itu berpamitan kepada Hanna untuk pulang ke apartemen sebentar. Hanna bergerak saat merasakan sentuhan seseorang di pergelangan tangan. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia berharap sentuhan itu berasal dari pria yang berstatus sebagai suaminya. Namun, di detik berikutnya, Hanna harus menghembuskan napas kecewa saat menyadari bahwa yang menyentuhnya saat ini adalah seorang perawat rumah sakit yang datang untuk mengganti cairan infus. Bukankah ini sudah lebih dari dua hari dia dirawat? Lalu selama itu juga Bart tid
"Han," Paul mencoba untuk membuyarkan lamunan wanita yang saat ini sedang duduk di atas kursi roda itu. Pandangan nanar yang terlihat dari sorot mata sang wanita, mengarah ke pintu ruang perawatan milik Sophia. Seharusnya dia sudah mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Ruang perawatan mewah seperti itu terlalu privasi untuk orang luar, dan kini Hanna hanya mampu melihat pintu kayu yang menutup rapat. Tanpa meminta persetujuan Hanna, Paul memutar balik kursi roda untuk menjauhi ruangan itu. Sejujurnya Paul tidak tahu apa tujuan Hanna mengunjungi ruang itu. Akan tetapi raut wajah sendu menjadi jawaban terjelas yang bisa Paul jadikan kesimpulan. Seseorang yang sangat berarti mungkin sedang berada di dalam sana. "Hey, bagaimana kalau kita berjalan-jalan ke taman?" tawar Paul yang dibalas anggukan lemah oleh Hanna. "Anggap saja kamu sedang beruntung hari ini karena aku datang di waktu yang tepat, bukan?" Paul terkekeh, "Bayangkan jika saat ini kamu se
"Masuk dan bersiap-siap pulang!" titah Bart. Pandangan matanya bukan menatap sang istri, melainkan ke arah pria yang menggenggam dua pegangan di kursi roda itu. Seolah sedang terjadi perang dingin, keduanya enggan memutus pandangan satu sama lain. Paul tidak sedikitpun takut dengan pria yang berdiri angkuh seakan-akan memergoki dirinya dan Hanna sedang melakukan sesuatu yang salah. Dia merasa tidak berbuat apa-apa, sehingga tidak ada alasan untuk merasa bersalah. Justru andai saja dia tidak datang di waktu yang tepat, entah apa yang akan terjadi dengan wanita itu. Sesaat Hanna melemparkan pandangan sinis ke arah Bart. Setelah apa yang dia lakukan, bagaimana mungkin Bart tiba-tiba datang dan mengajaknya pulang. Seingat Hanna, perawat yang memeriksa keadaannya tadi mengatakan bahwa dia sudah bisa pulang esok hari dan itupun jika Bart setuju. Paul memutuskan pandangan dari Bart dan berlalu masuk membawa Hanna ke dalam ruang perawatan. Dia berjalan masuk melewati
"Tidak akan pernah ada perceraian di dalam hidup saya, Hanna. Sekarang sebaiknya kita pulang. Saya rasa kamu akan lebih nyaman jika berada di kediaman kita." Hanna mencebik dengan melemparkan pandangan ke arah lain. Meskipun Bart mengucapkan kata-katanya dengan sangat lembut, tapi tetap saja pria itu masih bersikap memaksakan kehendak. Ingin rasanya Hanna berteriak saat itu juga melampiaskan segala keinginannya. Namun, sungguh di luar dugaan ketika Bart dengan tiba-tiba mengatakan, "Jangan khawatirkan keberadaan Thomas. Saya akan menitipkannya kepada seseorang. Saya ingin hubungan kita membaik, Hanna. Kamu mengerti maksud saya bukan?" Ada bunga-bunga bertebaran di sekitar Hanna entah dari mana datangnya. Keputusan Bart membuat wanita itu merasa kembali ditakhlukkan oleh pesona sang suami. Sebenarnya, Hanna tidak mempermasalahkan kehadiran Thomas bersama mereka, tapi tentu saja keputusan Bart kali ini tidak sepatutnya ditolak. Mungkin Bart sudah mempertimbangkan
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it