Belum lama sejak kepergian Isabelle, pintu ruang perawatan terbuka dan menampakkan seseorang yang sedang mengenakan masker berdiri di sana. Hanna memaksakan diri menoleh, meskipun kepalanya masih terasa berdenyut. Melihat siluetnya saja Hanna bisa mengenali siapa yang datang.
"Untuk apa kamu menunjukkan wajahmu ke hadapanku lagi?" Hanna menyambut kehadiran Matthew dengan tatapan tidak bersahabat.
Matthew melepaskan masker yang sempat menutupi wajahnya. Dia kemudian mengikis sedikit jarak di antara dirinya dengan Hanna. Namun, pergerakan tangan Hanna dari kejauhan membuatnya menghentikan langkah. "Aku tahu kesalahanku tidak bisa dimaafkan, Hanna. Tapi aku datang bukan untuk memaksamu kembali kepadaku."
"... Ada sesuatu yang perlu kamu ketahui," sambungnya.
"Apa kamu hanya ingin mengatakan bahwa anak dari hubungan gelapmu bersama wanita tua itu sudah lahir? Maaf Matthew, aku tidak tertarik untuk mengetahui itu, dan aku sudah tidak peduli."
"Buka
Suara gerakan pintu kembali membuat Hanna menolehkan pandangannya. Dia menyapu sudut mata yang sempat basah dengan segera. Wajah kesal Isabelle menyapanya sejak pintu itu terbuka. "Kenapa?" tanya Hanna. Isabelle mendaratkan tubuh ke atas sofa dengan kasar, "Tidak apa-apa, hanya masalah kecil." "Bagaimana urusanmu?" tanya Hanna lagi sambil memperhatikan raut wajah Isabelle yang muram. Bukannya menjawab, Isabelle justru mengendus aroma yang samar-samar dia rasakan sejak pintu ruang perawatan tadi terbuka, "Seseorang datang ke sini?" tanyanya menelisik wajah Hanna. Hanna hanya tersenyum, tidak ada gunanya menutupi kehadiran Matthew yang datang beberapa waktu yang lalu. "Matthew," ucapanya. "... Hanya lima menit." Hanna melanjutkan dengan ekspresi santai. Saat itu juga Isabelle mengepalkan kedua tangan. Rasa kesal semakin menjadi-jadi setelah dia menyadari bahwa Matthew sengaja menjebaknya untuk bisa mendapatkan kesempatan agar bisa bertemu
*** Hanna memasksa untuk membuka mata dengan rasa pening yang masih menjalar di kepala. Terdapat kantung melingkar di bawah indra penglihatan itu dengan pipi yang sedikit sembab. Seingatnya, dia tidak menangis sebelum ini, atau mungkin dia hanya tidak menyadari itu. Jika ada Isabelle di dalam ruangan, mungkin Hanna tidak dapat beristirahat seperti ini. Sahabat berponinya selalu saja membuat kebisingan tanpa mengenal tempat. Beruntung wanita itu berpamitan kepada Hanna untuk pulang ke apartemen sebentar. Hanna bergerak saat merasakan sentuhan seseorang di pergelangan tangan. Dengan mata yang masih setengah terpejam, dia berharap sentuhan itu berasal dari pria yang berstatus sebagai suaminya. Namun, di detik berikutnya, Hanna harus menghembuskan napas kecewa saat menyadari bahwa yang menyentuhnya saat ini adalah seorang perawat rumah sakit yang datang untuk mengganti cairan infus. Bukankah ini sudah lebih dari dua hari dia dirawat? Lalu selama itu juga Bart tid
"Han," Paul mencoba untuk membuyarkan lamunan wanita yang saat ini sedang duduk di atas kursi roda itu. Pandangan nanar yang terlihat dari sorot mata sang wanita, mengarah ke pintu ruang perawatan milik Sophia. Seharusnya dia sudah mempertimbangkan hal ini sebelumnya. Ruang perawatan mewah seperti itu terlalu privasi untuk orang luar, dan kini Hanna hanya mampu melihat pintu kayu yang menutup rapat. Tanpa meminta persetujuan Hanna, Paul memutar balik kursi roda untuk menjauhi ruangan itu. Sejujurnya Paul tidak tahu apa tujuan Hanna mengunjungi ruang itu. Akan tetapi raut wajah sendu menjadi jawaban terjelas yang bisa Paul jadikan kesimpulan. Seseorang yang sangat berarti mungkin sedang berada di dalam sana. "Hey, bagaimana kalau kita berjalan-jalan ke taman?" tawar Paul yang dibalas anggukan lemah oleh Hanna. "Anggap saja kamu sedang beruntung hari ini karena aku datang di waktu yang tepat, bukan?" Paul terkekeh, "Bayangkan jika saat ini kamu se
"Masuk dan bersiap-siap pulang!" titah Bart. Pandangan matanya bukan menatap sang istri, melainkan ke arah pria yang menggenggam dua pegangan di kursi roda itu. Seolah sedang terjadi perang dingin, keduanya enggan memutus pandangan satu sama lain. Paul tidak sedikitpun takut dengan pria yang berdiri angkuh seakan-akan memergoki dirinya dan Hanna sedang melakukan sesuatu yang salah. Dia merasa tidak berbuat apa-apa, sehingga tidak ada alasan untuk merasa bersalah. Justru andai saja dia tidak datang di waktu yang tepat, entah apa yang akan terjadi dengan wanita itu. Sesaat Hanna melemparkan pandangan sinis ke arah Bart. Setelah apa yang dia lakukan, bagaimana mungkin Bart tiba-tiba datang dan mengajaknya pulang. Seingat Hanna, perawat yang memeriksa keadaannya tadi mengatakan bahwa dia sudah bisa pulang esok hari dan itupun jika Bart setuju. Paul memutuskan pandangan dari Bart dan berlalu masuk membawa Hanna ke dalam ruang perawatan. Dia berjalan masuk melewati
"Tidak akan pernah ada perceraian di dalam hidup saya, Hanna. Sekarang sebaiknya kita pulang. Saya rasa kamu akan lebih nyaman jika berada di kediaman kita." Hanna mencebik dengan melemparkan pandangan ke arah lain. Meskipun Bart mengucapkan kata-katanya dengan sangat lembut, tapi tetap saja pria itu masih bersikap memaksakan kehendak. Ingin rasanya Hanna berteriak saat itu juga melampiaskan segala keinginannya. Namun, sungguh di luar dugaan ketika Bart dengan tiba-tiba mengatakan, "Jangan khawatirkan keberadaan Thomas. Saya akan menitipkannya kepada seseorang. Saya ingin hubungan kita membaik, Hanna. Kamu mengerti maksud saya bukan?" Ada bunga-bunga bertebaran di sekitar Hanna entah dari mana datangnya. Keputusan Bart membuat wanita itu merasa kembali ditakhlukkan oleh pesona sang suami. Sebenarnya, Hanna tidak mempermasalahkan kehadiran Thomas bersama mereka, tapi tentu saja keputusan Bart kali ini tidak sepatutnya ditolak. Mungkin Bart sudah mempertimbangkan
[Apa susahnya mengabariku jika kamu sudah pulang? Aku bahkan merelakan untuk melewatkan tidur siangku hanya untuk menemanimu di rumah sakit.] Hanna memberi jarak antara ponsel dan telinganya dengan salah satu mata menyipit. Suara Isabelle memekakkan gendang telinga ketika panggilan baru saja tersambung. Tentu saja sesuatu yang dia khawatirkan akhirnya terjadi juga. Marahnya Isabelle tentunya cukup beralasan. Selagi Hanna dirawat di rumah sakit, dia lah yang setia menjaga siang dan malam. Hanna mendekatkan lagi ponsel itu ke arah telinga setelah memastikan Isabelle menghentikan ocehannya, "Maaf, Isabelle. Bart membawaku tiba-tiba dan aku tidak sempat menghubungimu. Sekali lagi aku minta maaf," sesalnya. [Sudahlah, aku akan menghubungimu lagi nanti.] Panggilan terputus tanpa ada ucapan perpisahan dari wanita berponi itu. Hanna bisa memakluminya, wajar jika Isabelle kesal. Dia juga tidak bisa menyalahkan art yang cemburu ketika Hanna ingin menghubungi Isabelle s
"Bagaimana ini, Hanna ... Saya semakin tidak bisa jauh darimu," ucap Bart di sela-sela sentuhannya membelai wajah sang istri yang baru saja dia rebahkan ke atas ranjang. Hanna tidak mampu membalas ucapan sang suami, suhu tubuhnya mendadak naik. Sesuatu yang bergelora di dalam tubuh menginginkan sesuatu yang lebih. Namun, dia tidak akan mengatakan itu untuk menjaga reputasinya di hadapan Bart, sebelum Bart sendiri lah yang memulai lebih dulu. "Mengapa semakin hari kamu semakin cantik di mata saya?" Suara Bart terdengar berat bercampur deru napasnya yang mulai tidak beraturan. 'Bukankah memang semestinya seperti itu Bart,' batin Hanna. Wajar sebagai suami, Bart hanya mengagumi istrinya sendiri. Yang salah adalah ketika seorang pria beristri justru memikirkan orang lain. Berulang kali Bart mendaratkan kecupan-kecupan seolah memuja wanita yang berada di bawahnya. Hanna memberanikan diri untuk menatap wajah Bart sehingga kedua pasang mata mereka saling bersitatap. T
"Bibi akan membuatkanmu teh hijau. Setelah meminumnya Bibi yakin kamu akan sedikit lebih rileks," tawar Bibi Helena. Sepertinya Bibi Helena enggan membahas sesuatu yang dia pikirkan sejak kemarin. Diam-diam dia memperhatikan sikap Bart. Terlebih lagi semalam tanpa sengaja dia melihat Bart keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Bibi Helena cukup mengenal pria itu. Jika sudah berada di dalam kamar, tidak ada seorang pun yang bisa mengganggunya, terkecuali Tuan Besar Megens. Dan ... Sophia di masa lalu. Jika bukan Tuan Besar Megens yang meminta Bart untuk datang, maka mungkinkah seseorang yang membuatnya meninggalkan Hanna di malam selarut itu adalah Sophia? Tidak ingin menerka-nerka apa yang sedang terjadi, Bibi Helena berusaha bersikap wajar, meskipun dia tidak bisa mengenyahkan pikiran tentang Sophia. Tidak mungkin wanita itu datang kembali ke dalam kehidupan Bart. Tapi, dengan kehadiran Thomas secara tiba-tiba tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi dengan Sophia.