Isabelle melangkah perlahan menuju ke ruang makan setelah indra penciumannya terganggu dengan aroma nikmat yang berasal dari tempat itu. Wanita pemalas itu baru saja bangun dan keluar dari sangkarnya.
"Cih ... Pantas saja di usia setua ini kamu masih melajang," sarkas Hanna.
"To the point saja Hanna, kamu ingin mengataiku perawan tua, bukan?" balas Isabelle. Bagi Isabelle, kehadiran Hanna tidak sama sekali membuatnya terkejut. Hanna bisa masuk dengan bebas ke dalam appartementnya setelah Isabelle memberikan password sebagai akses masuk ke dalam ruang berukuran massif itu.
Hanna fokus dengan apa yang ia masak. Pagi-pagi sekali ia meninggalkan mansion milik Bart untuk menghindari percakapan dengan suaminya itu, lebih tepatnya percakapan yang akan membawa ke arah pertengkaran.
"Tidak ada pria yang mau menikahi wanita pemalas," ketus Hanna.
"Tapi aku cantik dan kaya." Isabelle merotasikan kedua bola matanya, "dan satu hal lagi, aku masih PE-RA-WAN
Brak! Samantha menghempas keras daun pintu ruang kerja Bart. Dia seperti kehilangan kewarasannya setelah pernyataan Bart yang tidak pernah dia duga. "Argh! Breng**k!" umpat Samantha ketika pintu ruang kebesaran Bart tertutup. Samantha mondar-mandir di depan pintu. Dia sudah bersusah payah menghadirkan Thomas yang digadang-gadang akan menjadi alat untuk melancarkan rencananya terhadap Bart. Namun, setelah kenyataan yang dia dengar melalui mulut Bart sendiri, apakah Samantha masih bisa menyusun rencana untuk mendapatkan perhatian Bart? Bisa, tentunya. Akan tetapi, mungkin kali ini tantangannya lebih berat, batin Samantha. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Tiba-tiba saja Tonny berada di dekat wanita yang terlihat frustasi itu. Wajah Samantha yang menunjukkan kerutan-kerutan tajam sudah cukup menjelaskan jika sesuatu telah terjadi antara dia dan Bart. Tentunya hal yang tidak disukai Samantha. "Bukan urusanmu!" ucap Samantha kesal. Tonny menghentika
Sudah lewat tengah hari, akan tetapi Hanna sepertinya masih betah di dalam kamar Isabelle. "Hanna ... Hanna ... pst...!" Isabelle menarik-narik kaki Hanna agar wanita itu segera bangun. Sejak tadi Isabelle yang ingin ke luar untuk berbelanja, ia mengurungkan niatnya karena rasa penasaran. Tidak biasanya Hanna datang ke apartemennya hanya untuk sekedar menumpang tidur. Hanna menautkan kedua alisnya dengan mata yang masih terpejam. Perlahan ia mulai membuka mata indahnya sedikit demi sedikit, hingga cahaya ruangan berhasil menembus kedua pupil mata itu. "Jam berapa ini?" tanya Hanna kepada Isabelle. "Sudah siang." Isabelle berkacak pinggang dengan angkuh. "Kamu bertingkah seperti seorang wanita yang sedang membangunkan anak dari selingkuhan suamimu, Isabelle," gumam Hanna. "Hanna aku menunggumu sudah cukup lama!" Isabelle mendengkus sebal. "Apa yang kamu tunggu dari seseorang yang sedang tidur? Lakukan saja apa yang mau kamu lakukan." Hanna mere
Beberapa menit berlalu, akhirnya Bart merasa jika mualnya mereda. Dia segera menelan sebuah pil pencegah mual pada saat itu juga. Bukan karena ingin menemui Samantha, akan tetapi sejak tadi dia belum sama sekali menemui putranya--Thomas. Namun, baru saja ia akan melangkah ke lantai bawah, terdengar suara keributan. "Oh! Jadi kamu wanita penggoda yang membuat Bart melupakan pertunangan kami?" Ucapan itu berasal dari ulut Samantha. Hanna yang baru saja kembali ke mansion, benar-benar dikejutkan oleh kehadiran Samantha di rumah itu. Pengakuan Bart tentang status Thomas malam kemarin saja masih membuat jantungnya memerih, tapi kali ini entah masalah baru apa lagi yang akan menghampirinya. Hanna tidak menjawab ucapan Samantha sama sekali. Dia sudah cukup muak berada di lingkaran itu. Jika boleh memilih, lebih baik sejak awal dia tidak mengenal manusia dingin bernama Bart Megens. Sayangnya, dia terlanjur mencintai pria yang sudah menjadi suaminya itu. "Mommy, I don
Hanna tidak menggubris kehadiran pria itu, meskipun aura dingin di seberang sana seolah menjalar hingga memenuhi seluruh ruangan yang terasa memberi efek beku. Biarlah Bart dengan segala kemarahannya yang lebih dulu memulai percakapan di antara mereka, dan benar saja, suara deheman pria itu terdengar cukup jelas meskipun Hanna sedang menggunakan headset di telinganya. Bart melepas headset itu dengan kasar setelah merasa jika wanita itu tidak sedikitpun bereaksi dengan keberadaannya di ruangan itu. "Sikap seperti apa yang ingin kamu tunjukkan di hadapan suamimu? Saya tahu Hanna, kamu menyadari keberadaan saya sejak tadi," ketus Bart. "Begitukah?" Hanna menyipitkan matanya. Aura dingin kembali terpancar di wajah tampan Bart. Hanna mampu membuat emosinya mencuat, meskipun Bart berharap kali ini mereka dapat berbicara dengan kepala dingin. "Hanna, jangan melampaui batas. Saya suamimu, jika kamu lupa!" Suara Bart meninggi, akan tetapi tak cukup membu
Di sinilah mereka saat ini. Sepasang suami istri yang berada di ranjang yang sama, akan tetapi tidak saling menegur satu sama lain, bahkan posisi mereka saat ini saling membelakangi. Bart mungkin merasa bersalah terhadap apa yang sudah Hanna saksikan di lantai bawah tadi. Akan tetapi, lagi-lagi dia terlalu egois hanya untuk mengucapkan sebuah kata 'maaf'. Lalu bagaimana perasaan Hanna saat ini. Mungkin karena terlalu lelah, napas Hanna terdengar berhembus dengan teratur, menandakan jika wanita itu saat ini sudah lebih dulu tertidur. Bart menegakkan punggungnya di sandaran tempat tidur. Dia menoleh ke arah Hanna yang kini sudah berada di alam mimpi. Pria itu terdiam beberapa detik, setelah dia menyadari jika wanita yang berstatus sebagai istrinya ini bisa begitu sangat cantik dan sayangnya Bart tidak pernah peduli tentang hal itu sebelumnya. Namun, di detik selanjutnya, Bart kembali memikirkan keberadaan Thomas dan di secara bersamaan pikirannya tertuju pada sosok wan
Samantha sesekali melirik ke arah Hanna untuk memastikan seperti apa reaksi wanita itu. Beruntung karena Bart tidak menolah perlakuannya, sehingga Samantha tak perlu lagi takut dipermalukan di hadapan sang rival. Sesuatu yang dilakukan Samantha, pada dasarnya cukup dimengerti oleh Bart. Pria itu sengaja membiarkan si wanita ular untuk melayaninya hanya karena ingin melihat seperti apa reaksi sang istri. Namun, melihat sikap Hanna yang biasa-biasa saja membuat Bart menjadi semakin kesal. "Samantha bisakah kamu bantu aku membersihkan kotoran di mulutku," pinta Bart dengan suara lantang agar Hanna mendengarnya dengan jelas. Mendengar hal itu membuat Samantha merasakan angin segar berkeliaran di sekelilingnya. Tanpa dia sadari bahwa sesungguhnya Bart hanya memanfaatkan keberadaannya saja untuk memanas-manasi Hanna. Samantha dengan semangat mengambil tissue di atas meja dan mulai membersihkan sudut bibir Bart yang terlihat belepotan akibat selai yang sengaja d
Isabelle menatap nyalang ke arah Hanna akibat rasa sakit yang ditimbulkan dari cubitan itu. Sedangkan Hanna memberikan isyarat dengan matanya. "Akhem, apa kehadiranku mengganggu kalian?" Hanna tak tahan lagi untuk tidak bersuara. Suasana di mansion tadi saja masih mempengaruhi moodnya, dan sekarang ada banyak tanda tanya di kepala Hanna dengan situasi yang terjadi. Hanna tidak sehaus itu dengan sentuhan laki-laki, jadi tidak sepatutnya Isabelle mendatangkan dua orang laki-laki sekaligus untuk 'bermain-main' dengan mereka. Plak! Isabelle mendaratkan tepukan keras di paha Hanna. Pertama, ini adalah sebuah balasan dari cubitan keras yang sempat dia rasakan sebelumnya. Ke dua, Isabelle mencoba menyadarkan Hanna yang Isabelle yakini sedang memikirkan sesuatu yang tidak-tidak. "Mereka sepupuku!" ucap Isabelle dengan kekehan kecil yang terdengar seperti sebuah ledekan. "Apa yang kamu pikirkan?" lanjut wanita cantik berponi itu. "Maksudmu?" Hanna mengernyit d
Hallo Readers ... Semoga kalian selalu dalam keadaan sehat semua ya. Author harap, kalian enjoy menikmati kisah 'Bukan Pernikahan Impian' karya Author ini. Jangan pernah lupa untuk terus mendukung karya ini dengan memberikan VOTE sebanyak yang kalian bisa. Serta KOMENTAR-KOMENTAR POSITIF dengan BINTANG 5 yang merupakan salah satu penyemangat bagi Author untuk terus memberikan karya-karya yang terbaik. Selain itu, Author juga tak lelah-lelahnya untuk mengingatkan agar para Readers sudi kiranya untuk mampir ke karya Author yang lain. Karya yang tidak kalah menariknya dari karya yang kalian nikmati ini. Semoga kita selalu berada di dalam lindungan Allah Azza wajjal. Author ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya bagi pembaca setia dan kawan-kawan penulis yang turut memberikan dukungan atas karya ini. ^_^
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it