Bart tidak menyadari jika ucapan Samantha sebelumnya adalah sebuah sinyal untuk membuat Hanna terbebas dari make-up yang menurut Samantha hanyalah salah satu sebab Hanna terlihat cantik.
Ya, orang yang membuat Hanna tercebur tak lain adalah Samantha. Alasan terbesar untuk kejadian ini karena Bart telah memperhatikan Hanna dengan tatapan yang sulit diartikan, sementara alasan lainnya adalah wanita cantik itu telah membuat dirinya menjadi pusat perhatian dan dikagumi banyak orang, sehingga Samantha merasa posisinya tersisihkan.
Samantha tersenyum, kemudian menghilang. Dia tidak ingin orang-orang menyadari bahwa hal itu terjadi akibat ulahnya. Hal itu bisa saja merusak reputasi yang selama ini dia bangun. Namun, Isabelle tahu persis siapa yang telah melakukan hal buruk itu terhadap Hanna.
Sekuat tenaga Hanna berusaha untuk naik ke permukaan. Namun, pakaian yang dia kenakan membuatnya kesulitan hingga dia tenggelam untuk beberapa saat. Beberapa orang hanya
"Bisakah kamu menjelaskan kepadaku, Matthew?" Clarissa menangis tanpa henti setelah meninggalkan acara yang sudah mencoreng nama baiknya bersamaan dengan keluarga Abraham. Bagaimana tidak? Komentar-komentar nitizen begitu kejam dan memojokkan dirinya. Clarissa sudah membaca komentar-komentar itu dan hanya sebagian kecil orang yang berpihak padanya. "Sayang, jangan pedulikan apapun perkataan orang-orang. Mereka tidak menyadari apa yang mereka ucapkan," ucap Matthew berusaha meyakinkan Clarissa. Clarissa menatap Matthew dengan tatapan yang jelas bagi Matthew apa yang wanita ini pikirkan, "Sayang, sungguh aku tidak bermaksud untuk meladeni mereka berdua. Aku hanya melintas dan sepertinya mereka memang ingin membuat kita bertengkar. Percayalah." "Jika aku tidak mewarisi lima puluh persen kekayaan keluarga Abraham, apakah kamu akan kembali pada Hanna?" Suara Clarissa begitu lembut namun perkataannya membuat raut wajah Matthew berubah gelagapan
"Hey gadisku! Akhirnya kamu sadar juga. Aku sangat mengkhawatirkanmu." Isabelle yang sejak tadi menunggu di lobby rumah sakit tiba-tiba masuk ke dalam ruang unit gawat darurat setelah samar-samar mendengar suara Hanna. Hanna tak begitu banyak berbicara, tubuhnya masih terasa lemah. Terlebih lagi perasaannya sudah terlanjur terluka setelah mendengar ucapan Bart beberapa saat yang lalu. Bart berdiri meninggalkan kedua wanita itu. "Saya akan mengurus administrasi dulu. Hanna, kamu akan pulang malam ini juga. Bersiaplah." Pria itu kemudian berlalu. Ekor mata Isabelle menelisik bayangan Bart yang melintas. "Kamu menangis? Apakah ada yang membuat tubuhmu terasa sakit? Yang mana, tunjukkan padaku?" Isabelle memeriksa seluruh tubuh Hanna. "Jangan berlebihan, aku baik-baik saja. Mataku hanya terasa panas, mungkin akibat air kolam yang tidak steril." Hanna mencoba mengelak dari wanita cerdas yang berdiri di hadapannya. Entah mengapa Hanna dan Isabelle memiliki
Perceraian adalah sebuah mimpi buruk bagi Bart. Setelah dia memutuskan untuk menikah, terlepas dengan siapapun itu, maka pernikahan akan terjadi untuk selamanya. Bart seolah melupakan kata-kata yang pernah dia ucapkan kepada Hanna di hari pernikahan mereka bahwa mereka akan bercerai suatu hari nanti. Hal ini bukan berarti dia memiliki perasaan spesial terhadap istrinya, akan tetapi ini adalah sebuah bentuk tanggung jawab sebagai seorang pria sejati. Bagi Bart, Hanna bukanlah istri impian untuknya, tapi Bart sendiri lah yang memutuskan untuk menjadikan wanita itu sebagai pendamping hidup. Bagaimanapun juga Bart tidak akan pernah bercerai. Sejak tiba di kediaman mereka, Bart dan Hanna tak sekalipun membuka percakapan. Meskipun demikian, pria itu memperlakukan Hanna dengan sangat baik. Menggendong Hanna ala bridal style yang membuat mereka terlihat seperti pasangan yang saling mencintai. Kemudian menjatuhkan tubuh lemah sang Istri dengan perlahan di atas
"Bagaimana perasaanmu saat ini setelah mendengar penjelasan saya?" Bart beralih untuk berbaring di sisi Hanna. Sesekali dia menempelkan punggung tangannya ke pelipis wanita itu untuk memastikan jika Hanna tidak mengalami demam seperti yang dia khawatirkan sebelumnya. "Tentu saja aku bahagia, Bart. Sebenarnya, sejak mengetahui kedekatanmu bersama Samantha, aku berpikir bahwa pernikahan kita akan segera berakhir." Hanna menarik napasnya dalam-dalam. Dia kembali teringat rasa sakit saat menyaksikan kemesraan yang ditunjukkan Samantha untuk Bart. "... Kamu adalah suamiku, tentu saja aku tidak ingin ada wanita lain yang berada di dekatmu." "Apa kamu cemburu?" Bart menggoda Hanna. Wajah Hanna terasa panas dan memerah dengan cepat. Perlukah dia mengakui perasaan itu? Seolah-olah Bart tahu benar apa yang wanita itu pikirkan. Perlukah Hanna mengakui bahwa rasa cemburunya dikarenakan ia telah mencintai suami tampannya itu? Jika ya, maka tidak menutup kemungkinan Bart a
Bart masih enggan melepaskan pelukannya di tubuh Hanna yang seputih susu. Mengendus leher sang istri seperti menikmati he***n yang membuatnya ketagihan. Dalam keraguan, Hanna mencoba untuk menggunakan kerealistisan pikirannya. Dia khawatir jika benar-benar jatuh dan tenggelam dalam perasaan cinta yang dalam terhadap suaminya sendiri. "Bart ..." bisiknya di telinga Bart. "Hm ..." "Mengapa kamu menginginkan anak dariku. Bu-bukankah pernikahan kita hanya sebatas taruhan?" Bart masih bergeming di ceruk leher Hanna. Hembusan napasnya terasa hangat menyentuh kulit wanita itu. "Bart ..." Hanna kembali mengulangi ucapannya. Masih di posisi yang sama, Bart menjawab dengan singkat, "Karena kita membutuhkannya," jelas Bart. Mata Hanna mengerjap setelah mendengar kata-kata itu, "Me-membutuhkan?" "Ya. Saya akan berusaha berdamai dengan pernikahan kita. Tapi ... saya tidak bisa menjanjikan cinta di dalam hubungan ini. Saya membutuhka
Megens Company, 11.00 a.m. Bart melangkah menuju ruang kerjanya. Pagi ini dia memutuskan untuk tetap pergi bekerja meskipun sudah terlambat beberapa jam. Setelah menghabiskan sarapan di cafe bersama Hanna, kemudian ia memutuskan untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumah sebelum dia berangkat ke Megens Company. Bart berdiri tepat di depan meja kerjanya dengan wajah ketidak sukaan yang ia tunjukkan sesaat setelah memasuki ruang yang hanya dirinya-lah berhak untuk berada di dalam. "Bart! Sudah lama aku sudah menunggumu." Suara manja terdengar dari seorang wanita yang dengan lancang sedang duduk di kursi kebesaran milik Bart. Wanita yang tak lain adalah Samantha yang membuat mood Bart berubah menjadi kesal, setelah baru saja ia menikmati kebersamaan dengan istrinya di rumah tadi. Di sudut lain ruang itu, ada seorang anak laki-laki yang sedang bermain lego di atas sofa. Anak laki-laki itu bahkan tidak menyadari dengan kehadiran Bart yang sejak tadi tidak sedik
"Mata liarmu itu membuatku risih!" ucap Hanna sambil memperhatikan tubuhnya sendiri. Merasa tidak ada yang salah dari penampilannya, dia melemparkan pandangan ke arah Isabelle setelahnya. Sejak bertemu dengan Isabelle di sebuah cafe favorit mereka, pandangan wanita berponi itu seakan-akan mengintimidasi Hanna. Wajah Isabelle terlihat serius dengan mata sesekali menyipit. "Berapa kali?" tanyanya. "Apa maksudmu?" "Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu bahkan berjalan seperti seekor kucing yang baru saja dikebiri." Hanna merotasikan kedua matanya, dia paham benar apa maksud Isabelle. Kucing yang sedang sdikebiri? Hah, istilah apa itu? Nampaknya wanita satu ini sangat antusias jika membahas hal-hal seperti itu. "Otakmu harus diberi pemutih pakaian agar berhenti memikirkan hal-hal yang kotor." Hanna menenggak minuman yang terletak di atas menja untuk menghilangkan kegugupan, atau bisa dibilang ucapan Isabelle barusan sungguh membuatnya salah tingkah. Sekelebat
Hanna menarik tubuh Isabelle hingga tiba di halaman parkir. Jika berlama-lama di dalam sana, dia khawatir jika Isabelle menyadari kehadiran Bart. "Apa-apaan ini Hanna?" Isabelle meninggikan suaranya. Hanna melepaskan jeratan tangannya dari lengan sahabatnya itu, "Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang. Jangan banyak bertanya, kepalaku sedang pusing. Bawa aku ke tempat lain," pintanya. "Aku tahu tempat yang bagus," ucap Isabelle sambil mengambil kunci mobil yang berada di tangan Hanna. "Terserahmu saja," balas Hanna singkat. Keduanya melesat meninggalkan halaman parkir dengan Isabelle yang ditugasi menjadi sopir. Sesekali wanita berponi itu melirik ke arah Hanna di sampingnya. Dia tahu ada yang tidak beres. Namun Isabelle enggan bertanya untuk sementara waktu. Hingga tibalah mereka di depan club malam. Meskipun namanya club malam, akan tetapi tempat itu sudah mulai dikunjungi sejak jelang sore hari. Dan, di sinilah mereka saat ini. Menjad