Perceraian adalah sebuah mimpi buruk bagi Bart. Setelah dia memutuskan untuk menikah, terlepas dengan siapapun itu, maka pernikahan akan terjadi untuk selamanya. Bart seolah melupakan kata-kata yang pernah dia ucapkan kepada Hanna di hari pernikahan mereka bahwa mereka akan bercerai suatu hari nanti. Hal ini bukan berarti dia memiliki perasaan spesial terhadap istrinya, akan tetapi ini adalah sebuah bentuk tanggung jawab sebagai seorang pria sejati.
Bagi Bart, Hanna bukanlah istri impian untuknya, tapi Bart sendiri lah yang memutuskan untuk menjadikan wanita itu sebagai pendamping hidup. Bagaimanapun juga Bart tidak akan pernah bercerai.
Sejak tiba di kediaman mereka, Bart dan Hanna tak sekalipun membuka percakapan. Meskipun demikian, pria itu memperlakukan Hanna dengan sangat baik. Menggendong Hanna ala bridal style yang membuat mereka terlihat seperti pasangan yang saling mencintai. Kemudian menjatuhkan tubuh lemah sang Istri dengan perlahan di atas
"Bagaimana perasaanmu saat ini setelah mendengar penjelasan saya?" Bart beralih untuk berbaring di sisi Hanna. Sesekali dia menempelkan punggung tangannya ke pelipis wanita itu untuk memastikan jika Hanna tidak mengalami demam seperti yang dia khawatirkan sebelumnya. "Tentu saja aku bahagia, Bart. Sebenarnya, sejak mengetahui kedekatanmu bersama Samantha, aku berpikir bahwa pernikahan kita akan segera berakhir." Hanna menarik napasnya dalam-dalam. Dia kembali teringat rasa sakit saat menyaksikan kemesraan yang ditunjukkan Samantha untuk Bart. "... Kamu adalah suamiku, tentu saja aku tidak ingin ada wanita lain yang berada di dekatmu." "Apa kamu cemburu?" Bart menggoda Hanna. Wajah Hanna terasa panas dan memerah dengan cepat. Perlukah dia mengakui perasaan itu? Seolah-olah Bart tahu benar apa yang wanita itu pikirkan. Perlukah Hanna mengakui bahwa rasa cemburunya dikarenakan ia telah mencintai suami tampannya itu? Jika ya, maka tidak menutup kemungkinan Bart a
Bart masih enggan melepaskan pelukannya di tubuh Hanna yang seputih susu. Mengendus leher sang istri seperti menikmati he***n yang membuatnya ketagihan. Dalam keraguan, Hanna mencoba untuk menggunakan kerealistisan pikirannya. Dia khawatir jika benar-benar jatuh dan tenggelam dalam perasaan cinta yang dalam terhadap suaminya sendiri. "Bart ..." bisiknya di telinga Bart. "Hm ..." "Mengapa kamu menginginkan anak dariku. Bu-bukankah pernikahan kita hanya sebatas taruhan?" Bart masih bergeming di ceruk leher Hanna. Hembusan napasnya terasa hangat menyentuh kulit wanita itu. "Bart ..." Hanna kembali mengulangi ucapannya. Masih di posisi yang sama, Bart menjawab dengan singkat, "Karena kita membutuhkannya," jelas Bart. Mata Hanna mengerjap setelah mendengar kata-kata itu, "Me-membutuhkan?" "Ya. Saya akan berusaha berdamai dengan pernikahan kita. Tapi ... saya tidak bisa menjanjikan cinta di dalam hubungan ini. Saya membutuhka
Megens Company, 11.00 a.m. Bart melangkah menuju ruang kerjanya. Pagi ini dia memutuskan untuk tetap pergi bekerja meskipun sudah terlambat beberapa jam. Setelah menghabiskan sarapan di cafe bersama Hanna, kemudian ia memutuskan untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumah sebelum dia berangkat ke Megens Company. Bart berdiri tepat di depan meja kerjanya dengan wajah ketidak sukaan yang ia tunjukkan sesaat setelah memasuki ruang yang hanya dirinya-lah berhak untuk berada di dalam. "Bart! Sudah lama aku sudah menunggumu." Suara manja terdengar dari seorang wanita yang dengan lancang sedang duduk di kursi kebesaran milik Bart. Wanita yang tak lain adalah Samantha yang membuat mood Bart berubah menjadi kesal, setelah baru saja ia menikmati kebersamaan dengan istrinya di rumah tadi. Di sudut lain ruang itu, ada seorang anak laki-laki yang sedang bermain lego di atas sofa. Anak laki-laki itu bahkan tidak menyadari dengan kehadiran Bart yang sejak tadi tidak sedik
"Mata liarmu itu membuatku risih!" ucap Hanna sambil memperhatikan tubuhnya sendiri. Merasa tidak ada yang salah dari penampilannya, dia melemparkan pandangan ke arah Isabelle setelahnya. Sejak bertemu dengan Isabelle di sebuah cafe favorit mereka, pandangan wanita berponi itu seakan-akan mengintimidasi Hanna. Wajah Isabelle terlihat serius dengan mata sesekali menyipit. "Berapa kali?" tanyanya. "Apa maksudmu?" "Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu bahkan berjalan seperti seekor kucing yang baru saja dikebiri." Hanna merotasikan kedua matanya, dia paham benar apa maksud Isabelle. Kucing yang sedang sdikebiri? Hah, istilah apa itu? Nampaknya wanita satu ini sangat antusias jika membahas hal-hal seperti itu. "Otakmu harus diberi pemutih pakaian agar berhenti memikirkan hal-hal yang kotor." Hanna menenggak minuman yang terletak di atas menja untuk menghilangkan kegugupan, atau bisa dibilang ucapan Isabelle barusan sungguh membuatnya salah tingkah. Sekelebat
Hanna menarik tubuh Isabelle hingga tiba di halaman parkir. Jika berlama-lama di dalam sana, dia khawatir jika Isabelle menyadari kehadiran Bart. "Apa-apaan ini Hanna?" Isabelle meninggikan suaranya. Hanna melepaskan jeratan tangannya dari lengan sahabatnya itu, "Aku tidak bisa mengatakannya padamu sekarang. Jangan banyak bertanya, kepalaku sedang pusing. Bawa aku ke tempat lain," pintanya. "Aku tahu tempat yang bagus," ucap Isabelle sambil mengambil kunci mobil yang berada di tangan Hanna. "Terserahmu saja," balas Hanna singkat. Keduanya melesat meninggalkan halaman parkir dengan Isabelle yang ditugasi menjadi sopir. Sesekali wanita berponi itu melirik ke arah Hanna di sampingnya. Dia tahu ada yang tidak beres. Namun Isabelle enggan bertanya untuk sementara waktu. Hingga tibalah mereka di depan club malam. Meskipun namanya club malam, akan tetapi tempat itu sudah mulai dikunjungi sejak jelang sore hari. Dan, di sinilah mereka saat ini. Menjad
Hanna menutup pintu kamar dan dia segera melangkahkan kaki ke kamar mandi untukmembersihkan diri. Sementara Bart yang ditinggalkan di lantai dasar mengepalkan tangannya yang tersembunyi di dalam kantong celana. Pria itu begitu kesal setelah mendengar Hanna yang sudah terlalu berani mengucapkan kata-kata yang tidak dia sukai. Sebagai kepala rumah tangga, Bart ingin hanya dirinyalah yang mendominasi, dan Hanna cukup bersikap patuh. Sesaat setelahnya, Bart melirik Thomas yang menguap beberapa kali di sampingnya. Dia kemudian melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Tentu saja, waktu menunjukkan sudah hampir larut untuk anak seusia Thomas yang seharusnya sudah berada di tempat tidur. "Bibi Helena," panggil Bart. Malam ini adalah malam pertama kalinya bagi Thomas akan menginap di kediaman Bart bersama Hanna. Namun, tidak mungkin bagi Bart berbagi tempat tidur dengan dua orang sekaligus. Terlebih lagi, kehadiran Thomas tentu mengejutkan bagi Hanna, dan Bart ti
Pagi harinya ... Bart baru saja membuka mata setelah semalam dia memutuskan untuk pergi ke klub malam seorang diri, dan kembali ketika sudah hampir subuh. Dia menoleh ke samping, dan tentu saja tempat yang biasa ditiduri Hanna sudah dalam keadaan kosong. 'Wanita itu pasti sudah berkeliaran di lantai bawah,' batin Bart. Bart bangkit dan meregangkan seluruh anggota tubuhnya. Rasa pusing masih belum sepenuhnya menghilang di kepala. Meskipun semalam tidak begitu mabuk, Bart menyadari jika ia sudah menghabiskan terlalu banyak minuman beralkohol. Pergolakan di dalam dada memaksanya untuk mencari hiburan di luar. Ia bahkan tidak tahu bersikap seperti apa terhadap istrinya. Hati kecil Bart tentu saja membenarkan bahwa tidak sepatutnya Hanna berada di dalam rumah tangga yang tidak ia impikan seperti ini. Namun, entah ada dorongan apa di dalam diri pria itu untuk tetap mempertahankan Hanna sebagai satu-satunya istri yang dia miliki. Sophia ... Nama wanita itu kembali memenuhi
Isabelle melangkah perlahan menuju ke ruang makan setelah indra penciumannya terganggu dengan aroma nikmat yang berasal dari tempat itu. Wanita pemalas itu baru saja bangun dan keluar dari sangkarnya. "Cih ... Pantas saja di usia setua ini kamu masih melajang," sarkas Hanna. "To the point saja Hanna, kamu ingin mengataiku perawan tua, bukan?" balas Isabelle. Bagi Isabelle, kehadiran Hanna tidak sama sekali membuatnya terkejut. Hanna bisa masuk dengan bebas ke dalam appartementnya setelah Isabelle memberikan password sebagai akses masuk ke dalam ruang berukuran massif itu. Hanna fokus dengan apa yang ia masak. Pagi-pagi sekali ia meninggalkan mansion milik Bart untuk menghindari percakapan dengan suaminya itu, lebih tepatnya percakapan yang akan membawa ke arah pertengkaran. "Tidak ada pria yang mau menikahi wanita pemalas," ketus Hanna. "Tapi aku cantik dan kaya." Isabelle merotasikan kedua bola matanya, "dan satu hal lagi, aku masih PE-RA-WAN
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it