Pagi menyapa, suara kicau burung begitu indah terdengar di telinga. Embun pagi yang masih memeluk dedaunan. Menciptakan suasana sejuk nan asri. Nandini yang sudah terbangun sejak dini hari tadi. Kini tampak menatap hamparan sawah yang berada tepat di pinggir rumah milik neneknya Melati. Rumah sederhana yang di huni oleh dua orang yaitu nenek dan cucunya. "Di sini indah sekali, mbok Sekar pintar sekali mencari tempat untuk bersembunyi," lirih Nandini sedikit terkikik geli. Si kecil Sheinafia masih asyik tertidur dalam hangatnya pelukan selimut tebal miliknya. Sementara itu, si mbok tengah berada di rumah nenlek Melati. Sepertinya ia mendapatkan teman baru, makanya betah diam di sana meski hari masih sangat pagi. "Si mbok, pagi-pagi sudah pergi," lirih Nandini. Lantas si kecil Melati lewat di depan Nandini. Perempuan muda itu menatap heran, mau kemana perginya anak iku sepagi ini. Lalu Nandini memanggilnya. "Mel," teriak Nandini. "Mau ke
Hari demi hari tidak terasa Nandini lalui dengan senang hati. Tidak ada beban dalam hatinya, sebab ia membebaskan semuanya. Rasa sakit hati dan juga rasa tersisihkan, ia berusaha damai dengan itu semua. Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Yang harus dia tatap adalah masa depan. Apalagi masa depan sang putri kecil, yang kini berada di tangannya. "Hallo, Sheinafia cantik apa kabar?" tanya Nandini ceria pada putrinya yang baru saja selesai mandi. Gadis kecil itu tampak tersenyum menanggapi ucapan sang ibu. Sheinafia tak pernah lepas senyumannya menatap wajah sang ibu. Cantik mungkin itulah yang ada di dalam pikiran sang putri. "Hari ini, Shei mau makan apa, Nak?" tanya Nandini lembut. "Kit, mam kit," jawab Sheinafia khas seorang anak kecil. Nandini terkekeh mendengar ucapan Sheinafia yang belum jelas itu. Sheinafia sesekali menduselkan wajahnya pada perut Nandini. Sedangkan Nandini tengah mengikat rambut panjang berwarna coklat terang. B
Hari bergerak cepat, tidak terasa hari sudah beranjak sore. Sedari siang tadi Sheinafia rewel. Ia menangis semenjak kembali dari malam si Mbok. "Ya Allah, Nak. Kenapa? Apa ada yang sakit sholehah ibu?" tanya Nandini khawatir. Melati yang mendengar Sheinafia menangis terus pun menghampiri Nandini. Melati sudah menganggap Nandini seperti kakaknya sendiri. Hidup sebatang kara, membuatnya begitu senang karena anggota keluarganya bertambah dengan kedatangan Nandini berserta si kecil. Tetapi hari ini Melati bersedih. Sebab hari ini si mbok pergi. Pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya juga si kecil Sheinafia, pantas saja ia menangis terus menerus sebab Melati yakin bila Sheinafia pun merasakan hal yang sama yaitu Kehilangan. "Sheina kenapa kak?" tanya gadis kecil itu khawatir. Nandini tersenyum, "Kakak tidak tahu sayang, semenjak pulang dari makam si mbok, Sheina gelisah. Tadi sempat tertidur sebentar, terus bangun eh langsung nangis histeris kaya gini.
"Daddy." "Daddy." Xavier mengedarkan pandangan matanya yang tajam. Menyapu tempat di mana ia tengah berdiri saat ini. Suara anak perempuan memanggilnya 'DADDY' . Xavier terus mencoba menemukan sumber suara. Tetapi sayang ia tidak menemukan apapun. Hanya ada hembusan angin menerpa wajahnya yang begitu tampan itu. "Daddy." Lagi dan lagi. Suara anak kecil itu memanggil namanya. Xavier berusaha menemukan suara itu, tetapi nihil. "Ya Tuhan,Nak," lirih Xavier sambil berlutut dan meremat rambutnya dengan kasar. Frustasi. Itulah yang ia rasakan saat ini. Suara anak kecil itu terus terngiang di telinganya. Xavier asyik menunduk. Sambil menjambak pelan rambut tebalnya. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dengan lembut, membuat Xavier mendongak. "Daddy." Xavier spontan tersenyum kala melihat seorang anak kecil yang di perkirakan berumur sekitar 5 tahun. Rambut coklat terangnya begitu mirip dengan dirinya. Dan jangan lupakan
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam, Xavier lalui dengan kekosongan. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bahkan saat ini tidak terasa sudah lima tahun Nandini pergi bersama dengan sang putri. "Empat tahun sudah kalian pergi meninggalkanku, harus kemana lagi aku mencari kalian! Tidakkah kau merindukanku istriku! Apakah kau benar-benar tidak ingin memberiku kesempatan kedua?" Xavier saat ini tengah berada di dalam kamarnya. Ia menghadap ke arah taman di mana dulu Nandini sering menanam bunga-bunga di sana. Kini taman itu tidak terawat, bahkan terkesan bak sebuah taman horor. Dengan rumput yang tumbuh meninggi. Bunga-bunga tumbuh tidak beraturan. Dulu ketika Jordhan masih hidup, dialah yang mengurusinya, tetapi saat ini tidak ada yang Xavier izinkan untuk menginjakkan kaki di taman itu. Ceklek Pintu terbuka, Abrian tampak berdiri tepat di depan pintu. Menatap lurus pria berumur 30 tahun itu. Abrian mendesah lelah, sebab seperti ini
Setelah mendapatkan bogeuman mentah dari Abrian. Xavier mencoba bangkit, ia tidak mesti harus terpuruk terus menerus seperti saat ini. Sudah hampir 3 tahun ia menghukum dirinya sendiri, atas kepergian anak dan istrinya. Abrian dan Arshaka tampak duduk di ruang tengah. Abrian sudah mengganti pakaiannya, karena ia memang menyimpan beberapa pakaiannya di sana, toh Abrian sempat tinggal di sana walau tidak lama. Arshaka terkekeh melihat lebam di wajah Abrian, ia yakin pasti luka itu akan terasa perih bila terkena air. "Kenapa lo tertawa kak! Gak ada yang lucu," ketus Abrian. Arshaka bukan terkekeh lagi. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah Abrian bak badut yang akan show. Menit berlalu.... Xavier turun dari kamarnya, hari ini ia memakai pakaian santai. Ia memutuskan esok hari akan mulai masuk ke perusahaan. Setibanya di bawah, Xavier mendengar tawa menguar dari bibir sang kakak. "Lo sudah mirip badut, Bri!" ejek Arshaka.
"Ayah," gumam Sheinafia di tengah tidurnya. Nandini sontak menghentikan langkah kakinya. Ia diam, berdiri termangu di tepi sofa yang di tiduri oleh sang putri. Gumaman Sheinafia, meski terdengar pelan, tetapi terdengar jelas di telinga Nandini. Setetes air mata luruh. Membasahi pipi mulus Nandini, bohong jika ia tidak merasakan rindu terhadap pria yang dulu sering menyiksanya. Tetapi Nandini tahu, jika saja sang kakak tidak melakukan ulah, tentu saja ia tidak akan mengalami nasib yang seperti ini. "Maafkan ibu, Nak! Jika ibu egois, memisahkanmu dengan ayah kandungmu," lirih Nandini. Ikatan bathin antara Xavier dan Sheinafia begitu kuat. Meski jarak mereka terpisah beberapa kilometer. Tetapi, entah kenapa Sheinafia seolah merasakan kehadiran sang ayah. Oleh sebab itu, anak itu mengalami demam. Bukan semata, karena ia oi dah ke tempat yang baru. Tetapi juga, rasa rindunya terhadap sang ayah, yang sudah sangat ingin sekali ia jumpai. "Setel
"Ibu, apakah ayah masih hidup? Shei ingin sekali bertemu dengan ayah. Shei juga ingin memeluk ayah, sama seperti orang lain!" Sheinafia tiba-tiba saja merengek ketika mereka akan pulang. Entah kenapa gadis kecil itu tiba-tiba merajuk. Biasanya juga Sheinafia cuek-cuek saja. Nandini sampai pusing. Tidak tahu harus menjawab apa. Bingung. "Sekarang Shei berdo'a pada Tuhan. Semoga Shei bisa bertemu dengan ayah di dalam mimpi Shei," jawab Nandini lembut. Sheinafia memeluk erat tubuh sang ibu. Melati hanya mendengarkan apa yang Sheinafia katakan. Bohong bila ia juga tidak merindukan ayah dan ibunya. Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka pun sampai di depan rumah. Sheinafia sudah tertidur di dalam pelukan sang ibu. Nandini tersenyum miris kala mengingat pertanyaan sang putri. "Tidurlah sayangku. Semoga mimpi indah, dan semoga---" Nandini tidak dapat meneruskan ucapannya. Rasanya sakit dan sesak. Mengingat jika Xavier tidak menginginkan kehadiran
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia