"Ibu, ibu tenang saja. Dendam kita akan aku balaskan. Apapun akan Mey lakukan, membuat mereka menderita dan merasakan apa yang kita rasakan! Dan kakak Adrian pun, Mey akan memberikan pelajaran padanya, lihat saja nanti!" Meylan menatap gundukan tanah yang baru saja ia gali. Di dalam gundukan tanah itu ada jasad sang ibu yang terkubur. Meylan mengubur jasad Rini tanpa memandikannya terlebih dahulu. Meylan menggotong jasad Rini seorang diri. Jasad Rini tinggal tulang berbalut kulit. Meylan meratapi jasad sang ibu. "Andai aku tidak di asingkan. Mungkin ibu tidak akan sampai seperti ini. Aku nekad pergi dari tempat pengasingan karena ingin membalas dendam. Beruntung beberapa bulan terakhir penjagaan tidak terlalu ketat. Bahkan bisa di katakan mereka sudah tidak mengawasiku lagi. Hingga dengan mudah aku bisa kembali kemari," gumam Meylan. Meylan tidak perduli meski hari sudah larut ketika ia menguburkan jasad sang ibu. Yang ada dalam pikirannya adalah untuk
Brakk! "Bagaimana bisa kalian membuat laporan yang jelek seperti ini hah! Laporan kalian macam anak kecil yang baru belajar menulis, apa kalian sudah bosan bekerja di perusahaan saya? Jika ia, silahkan kalian membuat surat pengunduran diri kalian! Saat ini juga!" hardik Xavier pada karyawan-karyawannya. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan meeting itu tampak menundukkan kepalanya takut. Mereka tidak menyangka jika sang pemimpin perusahaan yang sudah lama tertidur akan datang kembali. Memimpin perusahaannya. Tidak ada orang yang berani bersuara, bahkan bernafas pun mereka seakan berat melakukannya. Ruangan meeting itu seketika senyap, sunyi. Xavier menatap tajam satu persatu orang yang berada di sana. "Abrian!" panggil Xavier pada sang tangan kanan. Lalu dia melemparkan beberapa ke atas meja. Abrian pun tak luput dari kemarahan seorang Xavier. Dan Abrian menerimanya, sebab ia pun bersalah karena tidak bertindak tegas pada pegawai yang beke
"Sayang." Suara itu menyapa Xavier kala ia hendak menutup matanya. Xavier menatap wajah wanita yang berpakaian kekurangan bahan itu. Perempuan gatal yang selalu menganggunya sejak dulu. Xavier menatap datar wanita yang paling tidak ia sukai di dunia ini. Andai ia bisa, ingin sekali dirinya melenyapkan wanita itu dari muka bumi ini. Tetapi Xavier enggan mengotori tangannya untuk hal yang tidak ada gunanya. "Siapa yang mengizinkan kau menginjakkan kaki kotormu di tempatku! Dan siapa kau, memanggil saya dengan kata-kata menjijikan seperti itu! Keluar dari ruangan saya sebelum saya menyuruh beberapa bodyguard saya untuk mengusirmu secara kasar dari sini," desis Xavier. Wanita itu tidak takut sama sekali. Yang ada ia malah mendekat dan duduk di hadapan Xavier. Pria itu semakin menatap dingin wanita tersebut. "Come on Vier! Aku tahu jika kamu tidak jadi menikah dengan Meylan. Dan dengan begitu aku mempunyai kesempatan bukan?" ucapnya dengan penuh p
Deg! "Sampai ketemu lagi om, dadah Shei pulang," ucap Sheinafia untuk yang kedua kalinya. Xavier masih terpaku ketika gadis kecil itu mengucapkan satu kata yang terngiang di kepalanya. Satu nama yang tersemat di dalam hatinya. Selain nama sang istri. Bahkan setelah Sheinafia pergi jauh, Xavier masih termangu di tempatnya. Hingga ia tersadar, gadis kecil itu sudah pergi jauh. Xavier langsung beranjak dan menatap sekeliling tapi sayang gadis kecil itu sudah tidak berada di sana. "Ya Tuhan, Shei, Shei apakah dia putriku? Itu artinya Nandini pun berada di sini! Ya Tuhan, aku harus bisa menemukan mereka," gumam Xavier sambil berlari mengelilingi taman yang luasnya tak seberapa itu. Xavier terus mencoba mencari. Tetapi sayang dia tidak bisa menemukan keberadaannya. Xavier meraup wajahnya frustasi. "Ya Tuhan, kemana gadis kecil itu." Lalu Xavier menghubungi Abrian. Lama Abrian mengangkat teleponnya. Hingga pada dering ke lima baru di angkat
"Awas." Teriak seorang perempuan di belakang Nandini. Membuat wanita cantik itu kaget. Dan langsung memeluk sang putri. Suara tabrakan begitu keras terdengar. Nandini dapat melihat sebuah mobil yang menabrak etalase toko yang ada tepat di dekat jalan yang ia lalui. Wajah wanita muda itu sudah pucat. "Astagfirullah, kalian tidak apa-apa?" tanya Nandini khawatir sambil menelisik tubuh sang putri. Sheinafia mengangguk begitu juga dengan Melati. Meski mereka masih kaget akan tabrakan yang barusan saja terjadi. Mobil dan etalase itu hancur. "Cepat tolong, ada korban!" teriak salah satu warga yang menolong. Banyak orang berkerumun di sana. Ada yang menolong ada juga yang hanya melihat bagaimana hancurnya mobil. Tubuh Nandini sedikit bergetar. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Terima kasih karena engkau masih melindungi kami dari segala mara bahaya. Semoga engkau senantiasa memberikan perlindunganmu pada kami Ya Rabb," lirih Nandini. Lalu wanita mu
"Aku tidak menyangka jika mereka akan bertemu secepat ini! Apa Xavier tahu, jika gadis kecil yang tengah berbicara bersamanya itu adalah putrinya?" gerutu Meylan. Ya perempuan cacat yang tengah memperhatikan Xavier dan Sheinafia dari kejauhan adalah Meylan. Tadinya wanita itu ingin langsung bertemu dengan Nandini. Tetapi melihat jika di sekitar Nandini ada Xavier membuat dirinya mengurungkan niatnya. Meylan terus memperhatikan keduanya. Tangannya mengepal kuat, bahkan rahangnya mengeras. Giginya pun bergemelutuk saking ia kesal. "Aku harus mencari cara untuk bisa menjauhkan anak kecil itu dari sekitar Nandini dan juga Xavier. Supaya aku bisa membuat langsung hancur keduanya," gumam Meylan. Terlihat binar kebencian begitu besar di dalam matanya. Meylan tidak suka mereka hidup bahagia. Sementara dirinya hancur. "Lihat apa yang akan aku lakukan. Saat ini berbahagialah dahulu, setelah ini, tangisan kalian yang akan menghiasi hari-hari kalian
Deg! "Meylan? Tidak, itu tidak mungkin dia'kan? Ya Tuhan kenapa dia berada di sini!" gumam Xavier. Pria tampan itu langsung menghubungi anak buahnya yang berada di kota X. Ia menanyakan perihal keberadaan Meylan. Dan Xavier meminta kabar secepatnya. Jika benar Meylan berada di sini. Kemungkinan hidup Nandini terancam. Ia tahu bagaimana sipat dan sikap Meylan. "Ya Tuhan, tidak semoga itu bukan dia." Xavier kini berada di depan sekolah tersebut. Lalu ia menghubungi Abrian untuk mendatangkan pengacaranya. Xavier meminta sang pengacara mengurus beberapa hal. "Bagaimana apa ada orang yang kalian curigai?" tanya Xavier begitu menghubungi salah satu anak buahnya. Anak buah yang ia tugaskan untuk mengawasi Nandini. "Sejauh ini tidak ada tuan. Saya belum menemukan orang yang berperilaku mencurigakan." Xavier mengangguk. Lalu ia mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia akan menunggu sang pengacara di depan sekolah tersebut.
Brakk! Sebuah mobil tampak menabrak tiang listrik yang berada tepat di depan rumah Nandini. Xavier sigap melindungi tubuh Nandini dengan badannya yang tinggi besar. Tidak sadar, Xavier bahkan memeluk tubuh kecil dan mungil milik Nandini. "Kamu tidak apa-apa?" suara bariton yang tegas nan dingin itu tampak khawatir. Nandini hanya diam. Ia shock kala melihat mobil yang depannya sudah hancur itu. Andai jika mobil tersebut tidak tertahan oleh tiang listrik, mungkin mobil tersebut sudah menabraknya. Wanita muda itu masih belum tersadar berada di dalam pelukan seorang pria. Yang mungkin di mata Nandini asing. Tentu, karena ia tidak tahu bila orang yang memeluknya itu adalah suaminya. "Maaf, anda tidak apa-apa?" Tanya Xavier untuk yang kedua kalinya, sekedar memastikan bila sang belahan jiwanya itu baik-baik saja. Nandini tersadar. Ia langsung melepaskan tubuhnya yang tengah di rengkuh oleh Xavier. Dan entah kenapa, jantung dia berdetak begitu