"Awas." Teriak seorang perempuan di belakang Nandini. Membuat wanita cantik itu kaget. Dan langsung memeluk sang putri. Suara tabrakan begitu keras terdengar. Nandini dapat melihat sebuah mobil yang menabrak etalase toko yang ada tepat di dekat jalan yang ia lalui. Wajah wanita muda itu sudah pucat. "Astagfirullah, kalian tidak apa-apa?" tanya Nandini khawatir sambil menelisik tubuh sang putri. Sheinafia mengangguk begitu juga dengan Melati. Meski mereka masih kaget akan tabrakan yang barusan saja terjadi. Mobil dan etalase itu hancur. "Cepat tolong, ada korban!" teriak salah satu warga yang menolong. Banyak orang berkerumun di sana. Ada yang menolong ada juga yang hanya melihat bagaimana hancurnya mobil. Tubuh Nandini sedikit bergetar. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Terima kasih karena engkau masih melindungi kami dari segala mara bahaya. Semoga engkau senantiasa memberikan perlindunganmu pada kami Ya Rabb," lirih Nandini. Lalu wanita mu
"Aku tidak menyangka jika mereka akan bertemu secepat ini! Apa Xavier tahu, jika gadis kecil yang tengah berbicara bersamanya itu adalah putrinya?" gerutu Meylan. Ya perempuan cacat yang tengah memperhatikan Xavier dan Sheinafia dari kejauhan adalah Meylan. Tadinya wanita itu ingin langsung bertemu dengan Nandini. Tetapi melihat jika di sekitar Nandini ada Xavier membuat dirinya mengurungkan niatnya. Meylan terus memperhatikan keduanya. Tangannya mengepal kuat, bahkan rahangnya mengeras. Giginya pun bergemelutuk saking ia kesal. "Aku harus mencari cara untuk bisa menjauhkan anak kecil itu dari sekitar Nandini dan juga Xavier. Supaya aku bisa membuat langsung hancur keduanya," gumam Meylan. Terlihat binar kebencian begitu besar di dalam matanya. Meylan tidak suka mereka hidup bahagia. Sementara dirinya hancur. "Lihat apa yang akan aku lakukan. Saat ini berbahagialah dahulu, setelah ini, tangisan kalian yang akan menghiasi hari-hari kalian
Deg! "Meylan? Tidak, itu tidak mungkin dia'kan? Ya Tuhan kenapa dia berada di sini!" gumam Xavier. Pria tampan itu langsung menghubungi anak buahnya yang berada di kota X. Ia menanyakan perihal keberadaan Meylan. Dan Xavier meminta kabar secepatnya. Jika benar Meylan berada di sini. Kemungkinan hidup Nandini terancam. Ia tahu bagaimana sipat dan sikap Meylan. "Ya Tuhan, tidak semoga itu bukan dia." Xavier kini berada di depan sekolah tersebut. Lalu ia menghubungi Abrian untuk mendatangkan pengacaranya. Xavier meminta sang pengacara mengurus beberapa hal. "Bagaimana apa ada orang yang kalian curigai?" tanya Xavier begitu menghubungi salah satu anak buahnya. Anak buah yang ia tugaskan untuk mengawasi Nandini. "Sejauh ini tidak ada tuan. Saya belum menemukan orang yang berperilaku mencurigakan." Xavier mengangguk. Lalu ia mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia akan menunggu sang pengacara di depan sekolah tersebut.
Brakk! Sebuah mobil tampak menabrak tiang listrik yang berada tepat di depan rumah Nandini. Xavier sigap melindungi tubuh Nandini dengan badannya yang tinggi besar. Tidak sadar, Xavier bahkan memeluk tubuh kecil dan mungil milik Nandini. "Kamu tidak apa-apa?" suara bariton yang tegas nan dingin itu tampak khawatir. Nandini hanya diam. Ia shock kala melihat mobil yang depannya sudah hancur itu. Andai jika mobil tersebut tidak tertahan oleh tiang listrik, mungkin mobil tersebut sudah menabraknya. Wanita muda itu masih belum tersadar berada di dalam pelukan seorang pria. Yang mungkin di mata Nandini asing. Tentu, karena ia tidak tahu bila orang yang memeluknya itu adalah suaminya. "Maaf, anda tidak apa-apa?" Tanya Xavier untuk yang kedua kalinya, sekedar memastikan bila sang belahan jiwanya itu baik-baik saja. Nandini tersadar. Ia langsung melepaskan tubuhnya yang tengah di rengkuh oleh Xavier. Dan entah kenapa, jantung dia berdetak begitu
"Shei, kamu tinggal bersama siapa?" Tanya salah satu temannya ketika waktu istirahat. Gadis kecil nan cantik itu memilih tidak keluar dari kelasnya. Ia lebih memilih membuka bekal yang di berikan ibunya. Begitu juga Melati, ia pun tidak keluar dari kelas. "Aku tinggal bersama dengan ibu dan kakakku," jawab Sheinafia tenang. Teman-teman baru Sheinafia mengangguk. Lalu mereka pun memilih untuk jajan di kantin. Tiba-tiba teman Sheinafia yang tepat berada di sampingnya menyeletuk. Membuat teman-teman gadis cantik itu sontak menghentikan langkah kakinya. Sheinafia diam. Lagi dan lagi selalu pertanyaan yang sama. "Di mana ayahmu? Apa kau tidak tinggal bersama ayahmu?" Tanyanya datar. Sheinafia diam. Ia melirik temannya yang berwajah datar itu. Lalu menatap teman-temannya yang seolah-olah tengah menunggu jawabannya. "Aku--aku tidak tahu di mana ayahku! Yang aku tahu sedari bayi hanya tinggal bersama ibu dan kakakku," tukas Sheinafia.
"Mereka bilang, jika Shei tidak mempunyai ayah kak! Dan ada yang bilang jika Shei anak haram. Kak anak haram itu apa?" Tanya Sheinafia polos. Melati terdiam. Padahal ini hari pertama mereka sekolah. Tetapi adiknya sudah mendapatkan perundungan. Bully dalam bentuk verbal. Anak haram, orang tua mana yang tidak akan sakit mendengarnya bila anaknya di panggil anak haram. Begitu juga dengan Xavier, meski hasil test DNA belum keluar, tapi Xavier sudah yakin 1000% jika gadis kecil itu adalah putrinya, darah dagingnya. "Siapa yang sudah berani berkata seperti itu pada putriku!" Geram Xavier. Melati mengambil tangan sang adik. Mengenggamnya dengan lembut. Pembawaan Melati hampir sama dengan Nandini. Melati menatap teduh Sheinafia yang sudah mulai menangis. "Shei," panggil Melati lembut. "Sudah ya jangan menangis, kakak tahu kamu pasti sedih pas mendengar ucapan-ucapan mereka. Tapi satu yang harus kamu tahu, jika Tuhan itu tidak tidur, kakak yaki
"Show time." Xavier melihat tajam orang-orang itu. Ada sekitar lima orang yang di ikat di tiang yang berada di ruang hukuman itu. Pria itu tersenyum smirk, lalu mengayunkan cambuknya pada salah seorang tawanan. Cetas "Aaaa, ampun!" Teriaknya. Cetas Cetas Suara cambukan itu begitu terdengar jelas. Jeritan bahkan sudah memenuhi lorong itu. "Rasakan ini!" Xavier kalap. Ia mencambuk beberapa preman itu hingga mereka tidak sadarkan diri. Tubuh mereka sudah bersimbah darah. Xavier menyeringai puas. Hasrat dia telat terpenuhi. Menatap datar pada mereka yang entah masih hidup atau mungkin malah sudah tiada. "Pisau!" Desis Xavier. Salah satu tangan kanannya memberikan sebilah pisau lipat. Kecil tetapi mematikan. Xavier memainkan pisau itu. "Bagaimana hadiah dariku heh! Menyenangkan bukan? Hari ini kita akan bermain-main. Sampai aku puas!" Pria itu mulai maju. Ia menyayat satu persatu preman itu. Menguliti pipi m
"Om tampan, pelukan om nyaman dan hangat sekali. Apakah jika Shei di peluk ayah, rasanya akan seperti ini?" Tanya Sheinafia jangan lupakan mata nan polos itu menatap Xavier dengan penuh rasa penasaran. Xavier diam. Baru saja ia akan menjawab pertanyaan Sheinafia, ponselnya tampak bergetar. Pria itu melihat jika sang pengacaranya lah yang menelepon dan Xavier meminta izin sejenak untuk mengangkat teleponnya. [Hallo.] [Tuan, hasil test DNA sudah keluar! Apakah tuan mau melihatnya?] [Bacakan saja, dan ingat ini rahasia, jangan sampai ada orang yang mengetahuinya. Kau akan tahu akibatnya!] Deg! Ancaman Xavier benar-benar terdengar mengerikan di telinganya. Ia tahu konsekuensinya bila berkhianat pada pria itu. Selain kehilangan pekerjaan, nyawa pun akan menjadi taruhannya. Tentu dia tidak ingin jika sampai itu terjadi. Bila ia pergi, bagaimana nasib keluarganya. Istri dan anak-anaknya. [Ti-dak tu-an. Ma-na sa-ya be-rani.] [B