"Om tampan, pelukan om nyaman dan hangat sekali. Apakah jika Shei di peluk ayah, rasanya akan seperti ini?" Tanya Sheinafia jangan lupakan mata nan polos itu menatap Xavier dengan penuh rasa penasaran. Xavier diam. Baru saja ia akan menjawab pertanyaan Sheinafia, ponselnya tampak bergetar. Pria itu melihat jika sang pengacaranya lah yang menelepon dan Xavier meminta izin sejenak untuk mengangkat teleponnya. [Hallo.] [Tuan, hasil test DNA sudah keluar! Apakah tuan mau melihatnya?] [Bacakan saja, dan ingat ini rahasia, jangan sampai ada orang yang mengetahuinya. Kau akan tahu akibatnya!] Deg! Ancaman Xavier benar-benar terdengar mengerikan di telinganya. Ia tahu konsekuensinya bila berkhianat pada pria itu. Selain kehilangan pekerjaan, nyawa pun akan menjadi taruhannya. Tentu dia tidak ingin jika sampai itu terjadi. Bila ia pergi, bagaimana nasib keluarganya. Istri dan anak-anaknya. [Ti-dak tu-an. Ma-na sa-ya be-rani.] [B
"Terima kasih Tuhan. Atas jawaban yang aku cari selama ini, telah menemukan jawabannya," lirih Xavier. Kini pria berambut gondrong itu sudah berada di dalam mobilnya. Senyum selalu tersungging dari bibir sexynya. Lalu ia menghubungi salah satu anak buahnya. Anak buahnya itu tengah mengawasi rumah sang nyonya. Tentu mereka tidak mau jika sampai terjadi sesuatu pada sang nyonya. Salah satu dari mereka mengangkat telepon sang bos. [Hallo, bos.] [Awasi baik-baik istri dan anak saya! Jangan sampai terjadi sesuatu dengan mereka. Jika ada sesuatu yang mencurigakan segera hubungi saya.] [Baik, siap laksanakan tuan!] Lantas pria itu langsung mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Setelahnya ia melakukan kendaraannya menuju Mansion tempat selama ini ia tinggal. * * "Bagaimana kalian mau membantuku? Jika dendamku terlaksana, aku akan memberikan kalian upah, tenang saja!" Beberapa pria berwajah sangar, dan bertubuh ke
"Ibu, kakak sama Shei berangkat sekolah ya. Ibu jangan terlalu capek, dan jangan lupa istirahat dahulu," ujar gadis berusia lima tahun itu. Nandini tersenyum penuh haru. Putrinya, tidak terasa kini sudah berusia lima tahun. Dan pemikiran gadis itu berbeda dengan pemikiran anak seusianya, Sheinafia di paksa dewasa sebelum umurnya. Sebenarnya gadis itu masih terngiang-ngiang dengan pembicaraannya bersama dengan Xavier kemarin. Benarkah ayahnya masih hidup. Jika benar masih hidup, lantas di mana keberadaan ayahnya. "Shei, aku lihat om-om yang sering ngobrol dengan kamu suka ada di sekolah. Apa jangan-jangan ia pemilik sekolah?" Tanya Melati heran. Sheinafia menatap sang kakak yang tinggi itu, dan menggeleng tanda ia tidak tahu. Melati pun tidak melarang jika pria itu mendekati atau mengobrol dengan adiknya. Entah kenapa ia melihat kemiripan antara Sheinafia dan juga pria itu, apalagi ketika adiknya itu bersikap dingin persis pria tersebut. "Kenapa kakak
"Tapi siapa yang menjaga anak kecil sialan itu! Tidak mungkin bukan jika ayah anak itu sudah mengetahui keberadaan putrinya. Oh ayolah, jangan jadi pengecut seperti ini, aku hanya meminta bantuan kalian untuk menculiknya. Selanjutnya biar aku bertindak sendiri," keukeuh Meylan. Kepala preman itu menggeleng. Perempuan di hadapannya benar-benar menyusahkan. Dia menyesal, karena sudah berjanji akan menolongnya. Andai saja jika waktu bisa di ulang. Tentu dia tidak akan mengambil keputusan seperti ini. Tapi dirinya adalah pria yang memegang janjinya dan mau tidak mau ia harus memenuhi janjinya. "Baiklah, aku akan membantumu! Tapi ingat hanya menculiknya saja selanjutnya aku tidak mau tahu apa-apa. Dan ingat, jika kamu tertangkap jangan bawa-bawa kami." Meylan tersenyum smirk. Ya saat ini ia akan mengiyakan syarat dari laki-laki sangar di hadapannya. Yang penting dendam dia terlaksana. "Oke, kamu tenang saja. Aku tidak akan membocorkan jika kalian memba
"Kak," panggil Sheinafia kepada Melati ketika mereka pulang sekolah. Tampak Xavier tengah menunggu kedatangan mereka di pintu gerbang sekolah. Pria tampan berambut gondrong berkemeja putih, dengan lengan yang tergulung sampai sikut. Tampak duduk menunggu sang putri keluar. Hari ini ia harus bisa melakukan kerja sama dengan sang putri. Demi mendapatkan kembali cinta sang istri. Sudah cukup selama lima tahun mereka terpisah, jarak dan waktu. "Ada apa dek?" Tanya Melati heran. Sheinafia berhenti berjalan. Otomasi Melati pun ikut berhenti. Kini gadis berusia lima tahun itu tengah menatapnya, tak berselang lama ia pun menghela nafasnya kasar. "Kakak, ingat tidak pria yang sering mengobrol denganku di taman jika sore hari tiba?" Melati mengangguk, "Ya, kenapa dek? Apa dia melakukan kejahatan padamu?" Sheinafia menggeleng. Ia bingung harus dari mana dulu memulai pembicaraannya. Lalu Xavier menghampiri keduanya, ia kesal karena permata
Rain Alexander Zaderta. Seorang anak kecil yang berusia 6,5 tahun. Ia bersekolah di sekolah internasional X, yang berada di jalan X. Rain Alexander Zaderta merupakan seorang anak dari seorang single parent yang bernama Alexander Zaderta. Seorang pria matang yang terkenal sebagai penguasa dunia bawah. Siapa yang tidak mengenal Zaderta, atau lebih di kenal dengan Mr. Z. "Bagaimana Rain di sekolah?" Tanyanya datar pada seorang ajudan yang ia tugaskan untuk menjaga sang putra di sekolah. Pria yang di tanya pun membuka suaranya. Tetapi sebelum ia menceritakan perkembangan sang tuan muda. Ia bercerita jika di sekolah, tadi pagi tuan mudanya sempat membuat ulah. "Maaf sebelumnya tuan, tadi pagi tuan muda sempat menyuruh saya untuk menyerempet seorang gadis kecil yang saya lihat, sepertinya murid baru di sekolah tuan muda. Hanya saja---" ucapannya terjeda. "Hanya saja, entah kenapa saya seperti melihat Tuan Xavier Romanov tetapi dalam versi anak perempuan,"
"Ya Tuhan, rasanya gugup sekali. Aku takut jika Nandini akan menolakku," lirih Xavier sambil memperhatikan Nandini yang tengah melayani para pembeli. Lalu Xavier memberanikan turun. Ia mengikat rambut gondrongnya, dan memakai kaca mata hitam tidak lupa masker ia pakai. Seperti biasa ia pun menghampiri Nandini, kebetulan sekali orang-orang yang beli satu persatu pulang. Xavier yang terlihat tampan dengan memakai kemeja lengan panjang berwarna maroon. Di bagian lengan, ia sengaja gulung hingga siku, menambah kadar ketampanannya. Benar-benar seperti hot daddy. "Permisi," suara bariton itu menyapa Nandini yang tengah asyik menunduk. Membuat wanita itu seketika mendongak. Menatap orang yang tengah berdiri di hadapannya. Alis Nandini terangkat satu, merasa heran dengan pria tersebut, sebab memakai kaca mata belum masker sudah seperti buronan saja. "Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Nandini lembut. Xavier tidak langsung menjawab
"Nandini," panggil Xavier. Suara bariton yang begitu Nandini kenal. Suaminya, ya suaminya apakah dia berada di sini? Tapi kok bisa ia berada di sini. Oh Tuhan, jangan-jangan Xavier sudah mengetahui keberadaannya. Tidak, Nandini tidak mau jika Xavier mengetahui keberadaan sang putri dan memisahkan mereka berdua. Nandini mematung, tidak berbalik ataupun membalas panggilan Xavier. "Nandini, i-ni a-ku," ucap Xavier pelan. Nandini masih mematung. Tubuhnya terasa lemas. Suara itu, suara yang ia rindukan meski dulu suaminya hanya bisa menorehkan luka, tetapi tidak sedikitpun ia membenci Xavier. "Nandini, ini aku. Akhirnya setelah lima tahun lamanya aku melakukan pencarian dirimu kemana-mana. Akhirnya Tuhan mempertemukan kita berdua, Nandini maafkan aku. Maafkan atas kebodohan yang telah aku lakukan padamu selama kita hidup bersama. Sungguh aku menyesal, dan Tuhan sudah menghukumku dengan hidup di dalam penyesalan. Tolong, maafkan atas segala kebodohank