Rain Alexander Zaderta. Seorang anak kecil yang berusia 6,5 tahun. Ia bersekolah di sekolah internasional X, yang berada di jalan X. Rain Alexander Zaderta merupakan seorang anak dari seorang single parent yang bernama Alexander Zaderta. Seorang pria matang yang terkenal sebagai penguasa dunia bawah. Siapa yang tidak mengenal Zaderta, atau lebih di kenal dengan Mr. Z. "Bagaimana Rain di sekolah?" Tanyanya datar pada seorang ajudan yang ia tugaskan untuk menjaga sang putra di sekolah. Pria yang di tanya pun membuka suaranya. Tetapi sebelum ia menceritakan perkembangan sang tuan muda. Ia bercerita jika di sekolah, tadi pagi tuan mudanya sempat membuat ulah. "Maaf sebelumnya tuan, tadi pagi tuan muda sempat menyuruh saya untuk menyerempet seorang gadis kecil yang saya lihat, sepertinya murid baru di sekolah tuan muda. Hanya saja---" ucapannya terjeda. "Hanya saja, entah kenapa saya seperti melihat Tuan Xavier Romanov tetapi dalam versi anak perempuan,"
"Ya Tuhan, rasanya gugup sekali. Aku takut jika Nandini akan menolakku," lirih Xavier sambil memperhatikan Nandini yang tengah melayani para pembeli. Lalu Xavier memberanikan turun. Ia mengikat rambut gondrongnya, dan memakai kaca mata hitam tidak lupa masker ia pakai. Seperti biasa ia pun menghampiri Nandini, kebetulan sekali orang-orang yang beli satu persatu pulang. Xavier yang terlihat tampan dengan memakai kemeja lengan panjang berwarna maroon. Di bagian lengan, ia sengaja gulung hingga siku, menambah kadar ketampanannya. Benar-benar seperti hot daddy. "Permisi," suara bariton itu menyapa Nandini yang tengah asyik menunduk. Membuat wanita itu seketika mendongak. Menatap orang yang tengah berdiri di hadapannya. Alis Nandini terangkat satu, merasa heran dengan pria tersebut, sebab memakai kaca mata belum masker sudah seperti buronan saja. "Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Nandini lembut. Xavier tidak langsung menjawab
"Nandini," panggil Xavier. Suara bariton yang begitu Nandini kenal. Suaminya, ya suaminya apakah dia berada di sini? Tapi kok bisa ia berada di sini. Oh Tuhan, jangan-jangan Xavier sudah mengetahui keberadaannya. Tidak, Nandini tidak mau jika Xavier mengetahui keberadaan sang putri dan memisahkan mereka berdua. Nandini mematung, tidak berbalik ataupun membalas panggilan Xavier. "Nandini, i-ni a-ku," ucap Xavier pelan. Nandini masih mematung. Tubuhnya terasa lemas. Suara itu, suara yang ia rindukan meski dulu suaminya hanya bisa menorehkan luka, tetapi tidak sedikitpun ia membenci Xavier. "Nandini, ini aku. Akhirnya setelah lima tahun lamanya aku melakukan pencarian dirimu kemana-mana. Akhirnya Tuhan mempertemukan kita berdua, Nandini maafkan aku. Maafkan atas kebodohan yang telah aku lakukan padamu selama kita hidup bersama. Sungguh aku menyesal, dan Tuhan sudah menghukumku dengan hidup di dalam penyesalan. Tolong, maafkan atas segala kebodohank
"Tidak, tidak," teriak Sheinafia. Gadis itu terus berontak di dalam pelukan sang ibu. Melihat ayahnya di bawa oleh beberapa orang berbadan kekar. Pikiran polos Sheinafia, berkata jika sang ayah akan kembali pergi. Nandini berusaha menahan tubuh mungil sang putri. Tak ia perdulikan bajunya yang basah akibat air hujan. Sheinafia menangis, tergugu begitu juga Nandini ia ikutan menangis. "Sayang, ibu mohon jangan seperti ini, Nak. Ibu mohon tolong nanti kamu sakit," ucap Nandini lembut. Sheinafia tetap memberontak. Ia tidak mau mendengarkan apa yang di ucapkan sang ibu. Saat ini ia hanya ingin mengejar sang ayah yang sudah hilang bersamaan dengan air hujan yang semakin deras turun. "Ayah, ayah jangan pergi. Sheinafia mohon, ayah bilang akan selalu bersama Shei, lantas kenapa sekarang ayah pergi begitu juga. Shei mau di peluk ayah, kaya teman-teman Shei. Aku juga ingin merasakan, kenapa ayah malah pergi," jerit Sheinafia di iringi isakan tangis yang me
"Ibu, di mana ayah?" Suara itu menginterupsi lamunan keduanya. Mereka langsung menoleh, menatap Sheinafia yang tengah berdiri di pintu. Menatap sayu pada sang ibu. Nandini beranjak menghampiri putri semata wayangnya. Ia peluk tubuh lemah itu. Betapa kagetnya Nandini, kala merasakan tubuh Sheinafia yang panas. "Ya Allah, Shei badan kamu panas, Nak." Nandini khawatir, ia segera beranjak untuk membawa Sheinafia berobat. Tetapi anak kecil itu menggeleng. "Enggak ibu. Shei nggak mau di bawa ke dokter. Shei mau ayah ibu," lirih gadis kecil itu. Nandini diam. Air mata menetes di kedua pipinya yang mulus. Egoiskah dia karena telah memisahkan mereka berdua. "Ibu, di mana ayah? Aku ingin bertemu dengan dia, Shei kangen di peluk ayah. Di mana ayah bu?" Gadis kecil itu kembali menangis. Sementara badannya semakin panas. Nandini takut terjadi apa-apa pada putrinya itu. Ia memaksa gadis kecil itu untuk ke dokter. Melati mengikuti langkah i
Sheinafia terdengar masih menangis tergugu di dalam pelukan Arshaka. Tak lama Namilea pun menyusul sang suami menuju rumah sakit. Alarich ia titipkan di rumah pada si mbok. Begitu mendengar jika Nandini sudah di temukan, Namilea tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya itu. Xavier menghampiri sang putri yang masih saja mengeluarkan air matanya. Bahkan matanya pun sudah bengkak. Wajah gadis kecil itu pun sudah memerah bak kepiting rebus. "Sayang," Xavier menghampiri sang putri dan mendudukkannya di atas pangkuannya. Di usapnya air mata yang terjatuh itu. Di kecup pula kedua mata sang putri. Dan terakhir di peluk tubuh ringkih Sheinafia. "Jangan menangis lagi hmm. Ayah sudah berada di sini. Maafkan ayah karena selama lima tahun ini tidak menemanimu, maafkan ayah. Kamu bukan anak haram sayang. Tolong jangan kamu dengarkan orang-orang yang berbicara jelek." Sheinafia masih diam, ia mengedarkan pandangan mencari sang Om. Melati masih setia menunggu
"Syukurlah, kamu sudah bisa pulang, Nak." Sheinafia tersenyum, pun dengan Nandini. Sementara itu, Xavier tampak tengah menyelesaikan sesuatu. Namilea tampak terus mendampingi Nandini. Ingin sekali ia bertanya tentang apa yang terjadi. Tapi, ia sadar jika sekarang bukanlah waktu yang tepat. Namilea pun enggan memaksa, biarlah mau Nandini kapan ia siap memberi tahu semua masalahnya. "Kamu baik-baik saja, Nan?" tanya Namilea khawatir sebab Nandini lebih banyak diam. Nandini hanya tersenyum. Namilea tahu, jika sahabatnya berusaha baik-baik saja. Meski sebenarnya, ia tidak baik. "Aku baik, kamu jangan khawatir." "Tolong, jangan pendam sendiri hmm. Kamu mempunyai aku, dari dulu hingga sekarang. Jangan kamu simpan sendiri masalahmu!" tegas Namiliea. Sekali lagi, Nandini hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Ia tidak mungkin menceritakan kegelisahannya, sementara sang putri ada bersamanya. Biarlah, ia simpan saja rasa gelisahnya sendiri.
"Kenapa aku merasa kamu semakin menjauh, Nak. Apa karena kamu terlalu senang? Sampai perlahan kamu melupakan keberadaan ibu," lirih Nandini. Ia memeluk ke dua lututnya. Ia benamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Perlahan bahunya pun bergetar hebat. Ia menangis. Menangis dalam diam, mencoba untuk meredam rasa sakit yang melanda hatinya. Sakit dan sesak. "Ya Tuhan berikan aku kesabaran. Berilah aku kebahagiaan meskipun aku tidak pantas untuk mendapatkannya." Sementara itu, Xavier dan Sheinafia tengah sarapan di sebuah restoran. Tempat mewah pertama yang Sheinafia kunjungi. Sebab selama ini ia tidak pernah pergi kemanapun mengingat jika sang ibu harus banting tulang untuk mencari biaya hidup mereka. "Ayah, apa nanti uang ayah tidak akan habis jika kita makan di tempat seperti ini? Ibu selalu bilang jika tempat ini pasti mahal, dan ibu tidak mempunyai uang jika Shei meminta untuk makan di tempat seperti ini?" ucapnya polos. Xavier tersenyum peri
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia