"Tidak, tidak," teriak Sheinafia. Gadis itu terus berontak di dalam pelukan sang ibu. Melihat ayahnya di bawa oleh beberapa orang berbadan kekar. Pikiran polos Sheinafia, berkata jika sang ayah akan kembali pergi. Nandini berusaha menahan tubuh mungil sang putri. Tak ia perdulikan bajunya yang basah akibat air hujan. Sheinafia menangis, tergugu begitu juga Nandini ia ikutan menangis. "Sayang, ibu mohon jangan seperti ini, Nak. Ibu mohon tolong nanti kamu sakit," ucap Nandini lembut. Sheinafia tetap memberontak. Ia tidak mau mendengarkan apa yang di ucapkan sang ibu. Saat ini ia hanya ingin mengejar sang ayah yang sudah hilang bersamaan dengan air hujan yang semakin deras turun. "Ayah, ayah jangan pergi. Sheinafia mohon, ayah bilang akan selalu bersama Shei, lantas kenapa sekarang ayah pergi begitu juga. Shei mau di peluk ayah, kaya teman-teman Shei. Aku juga ingin merasakan, kenapa ayah malah pergi," jerit Sheinafia di iringi isakan tangis yang me
"Ibu, di mana ayah?" Suara itu menginterupsi lamunan keduanya. Mereka langsung menoleh, menatap Sheinafia yang tengah berdiri di pintu. Menatap sayu pada sang ibu. Nandini beranjak menghampiri putri semata wayangnya. Ia peluk tubuh lemah itu. Betapa kagetnya Nandini, kala merasakan tubuh Sheinafia yang panas. "Ya Allah, Shei badan kamu panas, Nak." Nandini khawatir, ia segera beranjak untuk membawa Sheinafia berobat. Tetapi anak kecil itu menggeleng. "Enggak ibu. Shei nggak mau di bawa ke dokter. Shei mau ayah ibu," lirih gadis kecil itu. Nandini diam. Air mata menetes di kedua pipinya yang mulus. Egoiskah dia karena telah memisahkan mereka berdua. "Ibu, di mana ayah? Aku ingin bertemu dengan dia, Shei kangen di peluk ayah. Di mana ayah bu?" Gadis kecil itu kembali menangis. Sementara badannya semakin panas. Nandini takut terjadi apa-apa pada putrinya itu. Ia memaksa gadis kecil itu untuk ke dokter. Melati mengikuti langkah i
Sheinafia terdengar masih menangis tergugu di dalam pelukan Arshaka. Tak lama Namilea pun menyusul sang suami menuju rumah sakit. Alarich ia titipkan di rumah pada si mbok. Begitu mendengar jika Nandini sudah di temukan, Namilea tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya itu. Xavier menghampiri sang putri yang masih saja mengeluarkan air matanya. Bahkan matanya pun sudah bengkak. Wajah gadis kecil itu pun sudah memerah bak kepiting rebus. "Sayang," Xavier menghampiri sang putri dan mendudukkannya di atas pangkuannya. Di usapnya air mata yang terjatuh itu. Di kecup pula kedua mata sang putri. Dan terakhir di peluk tubuh ringkih Sheinafia. "Jangan menangis lagi hmm. Ayah sudah berada di sini. Maafkan ayah karena selama lima tahun ini tidak menemanimu, maafkan ayah. Kamu bukan anak haram sayang. Tolong jangan kamu dengarkan orang-orang yang berbicara jelek." Sheinafia masih diam, ia mengedarkan pandangan mencari sang Om. Melati masih setia menunggu
"Syukurlah, kamu sudah bisa pulang, Nak." Sheinafia tersenyum, pun dengan Nandini. Sementara itu, Xavier tampak tengah menyelesaikan sesuatu. Namilea tampak terus mendampingi Nandini. Ingin sekali ia bertanya tentang apa yang terjadi. Tapi, ia sadar jika sekarang bukanlah waktu yang tepat. Namilea pun enggan memaksa, biarlah mau Nandini kapan ia siap memberi tahu semua masalahnya. "Kamu baik-baik saja, Nan?" tanya Namilea khawatir sebab Nandini lebih banyak diam. Nandini hanya tersenyum. Namilea tahu, jika sahabatnya berusaha baik-baik saja. Meski sebenarnya, ia tidak baik. "Aku baik, kamu jangan khawatir." "Tolong, jangan pendam sendiri hmm. Kamu mempunyai aku, dari dulu hingga sekarang. Jangan kamu simpan sendiri masalahmu!" tegas Namiliea. Sekali lagi, Nandini hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Ia tidak mungkin menceritakan kegelisahannya, sementara sang putri ada bersamanya. Biarlah, ia simpan saja rasa gelisahnya sendiri.
"Kenapa aku merasa kamu semakin menjauh, Nak. Apa karena kamu terlalu senang? Sampai perlahan kamu melupakan keberadaan ibu," lirih Nandini. Ia memeluk ke dua lututnya. Ia benamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Perlahan bahunya pun bergetar hebat. Ia menangis. Menangis dalam diam, mencoba untuk meredam rasa sakit yang melanda hatinya. Sakit dan sesak. "Ya Tuhan berikan aku kesabaran. Berilah aku kebahagiaan meskipun aku tidak pantas untuk mendapatkannya." Sementara itu, Xavier dan Sheinafia tengah sarapan di sebuah restoran. Tempat mewah pertama yang Sheinafia kunjungi. Sebab selama ini ia tidak pernah pergi kemanapun mengingat jika sang ibu harus banting tulang untuk mencari biaya hidup mereka. "Ayah, apa nanti uang ayah tidak akan habis jika kita makan di tempat seperti ini? Ibu selalu bilang jika tempat ini pasti mahal, dan ibu tidak mempunyai uang jika Shei meminta untuk makan di tempat seperti ini?" ucapnya polos. Xavier tersenyum peri
["Berikan di mana alamat Nandini!"] Sepenggal pesan yang di kirim oleh Abrian pada Nandini. Rencananya sore nanti, setelah pulang bekerja. Abrian akan mengunjungi sang adik. Rindu sudah membuncah di dalam dadanya. Ingin sekali ia peluk dan cium, tubuh yang sudah begitu lama ia rindukan. Dan berkata, jika ia begitu merindukannya. "Kakak sangat merindukanmu. Semoga secepatnya kita bisa bertemu." Ting! Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Abrian. Dan Xavier-lah sang pengirim pesan. Ia memberitahukan di mana letak alamat rumah sewa Nandini. "Hah, rasanya waktu tidak berjalan. Aku ingin cepat-cepat menemui adikku." Abrian mencoba fokus kembali bekerja. Ia tidak perduli di mana keberadaan Xavier. Ia mau bekerja atau tidak. Tidak ada bedanya sama sekali. Sementara Xavier, tengah memperhatikan rumah Nandini. Ia berada di dalam mobilnya. Mata tajamnya menatap rumah itu. "Kemana dia? Kenapa aku sama sekali tidak melihatnya keluar? Apa dia sakit?"
"Ayah kemana ya, mengapa belum juga menjemputku," lirih Sheinafia seraya memperhatikan lalu lalang kendaraan. Gadis kecil itu terlihat duduk di sebuah kursi yang berjejer di sepanjang jalan itu. Melati sudah pulang duluan, sebab ia kesal pada adiknya itu. Dia tidak mau mengerti perasaan sang ibu. Mentang-mentang baru bertemu dengan ayahnya, membuat ia seketika melupakan sang ibu. Orang yang rela berkorban untuknya. Bahkan bila ia meminta nyawa, Nandini pasti akan memberikannya. "Assalamu'alaikum," ucap Melati begitu sampai di pagar rumahnya. Gadis remaja itu menatap pintu rumah yang masih tertutup. Lalu netranya beralih pada dua pria matang yang ada di teras rumahnya. Melati mendekati Xavier, matanya menatap nyalang pada pria itu. "Om, anda sedang apa di sini?" ucapnya ketus. Abrian menoleh, ia menatap gadis remaja yang Abrian perkirakan berusia antara 14-15 tahun. Gadis tersebut masih menatap nyalang pada Xavier. Membuat pria berambut gondrong
"Bagaimana? Apa kalian mendapatkan anak itu?" tanya seorang perempuan di seberang telepon. "Ya, kami akan segera membawanya ke tempatmu!" Perempuan itu pun tersenyum lebar. Akhirnya setelah penantian panjang. Dendam itu akan terbayar, lunas. Sementara itu, di perjalanan Sheinafia hanya diam saja. Ia memperhatikan jalan yang di laluinya, kebetulan rumah Meylan memang jauh berada dari rumah sewa Nandini selama ini. Gadis kecil berusia lima tahun itu, terus memperhatikan jalanan. "Paman, ini jalan kemana? Memangnya sejauh apa kantor ayahku, perasaan paman membawaku jauh sekali," ucap Sheinafia dengan mimik polosnya. Pria yang tadi berkata jika ia akan membawa gadis kecil itu kepada ayahnya, hanya diam saja. Ia sengaja tidak menjawab pertanyaan yang di lontarkan olehnya. Tinggal selangkah lagi, setelah mengantarkan gadis kecil itu, baik tugasnya maupun bosnya lunas sudah. "Paman, kenapa tidak menjawabku. Apa Paman mendadak bisu?" ujar gadis itu