"Ayah kemana ya, mengapa belum juga menjemputku," lirih Sheinafia seraya memperhatikan lalu lalang kendaraan. Gadis kecil itu terlihat duduk di sebuah kursi yang berjejer di sepanjang jalan itu. Melati sudah pulang duluan, sebab ia kesal pada adiknya itu. Dia tidak mau mengerti perasaan sang ibu. Mentang-mentang baru bertemu dengan ayahnya, membuat ia seketika melupakan sang ibu. Orang yang rela berkorban untuknya. Bahkan bila ia meminta nyawa, Nandini pasti akan memberikannya. "Assalamu'alaikum," ucap Melati begitu sampai di pagar rumahnya. Gadis remaja itu menatap pintu rumah yang masih tertutup. Lalu netranya beralih pada dua pria matang yang ada di teras rumahnya. Melati mendekati Xavier, matanya menatap nyalang pada pria itu. "Om, anda sedang apa di sini?" ucapnya ketus. Abrian menoleh, ia menatap gadis remaja yang Abrian perkirakan berusia antara 14-15 tahun. Gadis tersebut masih menatap nyalang pada Xavier. Membuat pria berambut gondrong
"Bagaimana? Apa kalian mendapatkan anak itu?" tanya seorang perempuan di seberang telepon. "Ya, kami akan segera membawanya ke tempatmu!" Perempuan itu pun tersenyum lebar. Akhirnya setelah penantian panjang. Dendam itu akan terbayar, lunas. Sementara itu, di perjalanan Sheinafia hanya diam saja. Ia memperhatikan jalan yang di laluinya, kebetulan rumah Meylan memang jauh berada dari rumah sewa Nandini selama ini. Gadis kecil berusia lima tahun itu, terus memperhatikan jalanan. "Paman, ini jalan kemana? Memangnya sejauh apa kantor ayahku, perasaan paman membawaku jauh sekali," ucap Sheinafia dengan mimik polosnya. Pria yang tadi berkata jika ia akan membawa gadis kecil itu kepada ayahnya, hanya diam saja. Ia sengaja tidak menjawab pertanyaan yang di lontarkan olehnya. Tinggal selangkah lagi, setelah mengantarkan gadis kecil itu, baik tugasnya maupun bosnya lunas sudah. "Paman, kenapa tidak menjawabku. Apa Paman mendadak bisu?" ujar gadis itu
Ckitt "Aww," pekik Nandini. Lalu secara tidak sadar ia memukul lengan Xavier. Kesal karena sudah berhenti seenaknya. Sehingga kepala dia terkantuk pada dasboard mobil. Xavier sendiri mematung, karena sang istri ternyata berani memukulnya. Marah? Tentu saja tidak, yang ada Xavier senang. Ia berharap sikap sang istri akan sedikit melunak padanya. "Maaf, maaf sayang aku tidak sengaja," ujar Xavier lalu melihat kening Nandini yang memerah. Xavier sedikit meringis kala melihat kening Nandini yang memerah. Sedang Abrian dan Arshaka yang berada di belakang mobil Xavier pun ikut berhenti. Mereka berdua menatap heran, sebab mobil Xavier belum juga maju,karena penasaran Abrian pun keluar untuk memastikan. "Ck, aku kira mereka bertengkar, tak tahunya!" gerutu Abrian begitu ia kembali masuk ke dalam mobilnya. Arshaka menatap heran pada sang sahabat. Lalu Abrian menatap pada Arshaka. Wajahnya masih terlihat kesal. "Kamu tahu, Ar. Aku kira mereka b
Plakk "Kau, anak kecil yang berani sekali heh! Berani sekali kau berbicara seperti itu padaku!" hardik Meylan seraya menjambak rambut Sheinafia. Xavier meradang, ketika melihat putrinya di perlakukan seperti itu. Ia lantas berdiri, tidak perduli lagi dengan teriakan Bara. Persetan dengan pria itu, Xavier hanya ingin pergi menyelamatkan sang putri. Tanpa mereka tahu, Nandini sudah masuk terlebih dahulu. Wanita itu masuk ketika Xavier dan yang lainnya fokus melihat layar tab Bara. Bahkan ketika Xavier beranjak, dia belum sadar keberadaan sang istri. "Vier tunggu Vier, jangan gegabah! Hey tunggu brengsek! Di mana istrimu!" teriak Abrian. Xavier berhenti melangkah. Lalu ia berbalik menatap ke tiga pria yang juga tengah menatapnya. Sedetik kemudian, mereka tersadar dan yakin jika Nandini pergi menyusul putrinya. "Sial! Tidak Bara jangan hentikan aku lagi. Aku akan masuk istri dan anakku berada dalam bahaya, wanita itu berbahaya!" pekik Xavier
"Tidak." "Nandini." "Ibu." "Sayang. Ke empat pria dan juga Sheinafia memekik. Mereka menatap Nandini yang sudah terjatuh dengan darah yang mengalir dari lehernya. Xavier langsung melangkah lebar, dan memukul Meylan. Xavier sudah tidak perduli lagi meski dia adalah seorang wanita. Meylan sudah dengan beraninya menyentuh dua wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Meylan tersungkur karena di pukul oleh Xavier, ketika hendak bangun Bara langsung memegangi kedua tangannya. Xavier mencengkram rahang Meylan dengan kedua tangannya, hingga membuat wanita itu meringis,"Ingat ini, kau akan membayar semua ini." Sementara Arshaka membuka ikatan di tangan Sheinafia, Abrian menghampiri sang adik. Beruntung pisau itu tidak terlalu dalam menancap di lehernya. Tetapi tetap saja, membuat pria itu meringis. "Dek, bertahan kakak mohon." Meylan di amankan oleh Bara, Arshaka menenangkan Sheinafia. Dan Xavier langsung menggendong Nandini dalam pelukannya.
"Maafkan aku, Nandini. Semua salahku, izinkan aku untuk menebus semua kesalahan yang telah aku perbuat kepadamu." Xavier tampak menggenggam tangan mungil Nandini. Sungguh ini semua seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Di mana ia bisa menggenggam tangan itu kembali. Xavier hanya berharap, jika ia masih bisa terus menggenggam tangan itu. Memeluk dan mencium harum tubuhnya. Penantian selama bertahun-tahun lamanya, akhirnya membuahkan hasil. "Ayah," suara lirih itu memanggil Xavier membuat pria itu segera beranjak ke arah sofa besar yang ada di ruangan VVIP itu. Putrinya tampak mengigau. Xavier menepuk halus punggung sang putri. Dan Sheinafia pun tampak kembali tertidur. * * Malam telah larut, baik Sheinafia maupun Xavier mereka tengah tertidur. Nandini mengerjapkan matanya. Ia membuka perlahan mata berwarna hazelnya. Nandini menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Lehernya sangat sakit sekali, sedang tenggorokan ter
"Kau memang gila!" Xavier tertawa terbahak-bahak, kala Meylan berkata jika ia gila. Ya ia memang gila bila ada orang yang menyakiti orang-orang yang ia cintai dan sayangi. Meylan menatap takut. Perih di pipinya sudah tidak ia rasakan, saat ini ia hanya ingin pergi dari tempat terkutuk itu. "Baru sadar heh! Sudah aku peringatkan bukan sebelumnya, jika aku memang gila. Dan kau sama sekali tidak memanfaatkan kebaikan yang aku berikan padamu!" Xavier menatap nyalang pada Meylan. Berbeda dengan Meylan, ia menatap sendu pada pria yang ia cintai. Andai waktu bisa berputar kembali, tentu ia tidak akan berbuat kesalahan itu. "Maafkan aku Vier. Aku sungguh-sungguh menyesal, tidak dapatkah kau membiarkanku. Aku berjanji, jika aku tidak akan pernah kembali menganggumu." "Terlambat, Sayang. Kesempatan tidak akan datang tiga kali, andai kau memanfaatkan kesempatan yang aku beri kemarin untuk lebih memperbaiki hidupmu, tentu kau tidak akan berada di
"Sudah Bri, ayok kita urus mayat adikmu. Sebagian dari tubuhnya sudah aku kantongi. Mungkin tidak semua yang akan aku kasihkan kepada peliharaan Xavier!" Abrian masih menangis bahkan ia sudah seperti anak kecil yang tidak di beri mainan. Xavier menatap kelakuan kakak iparnya itu lalu mendengkus kesal. Xavier lalu melangkahkan kakinya dan dengan tiba-tiba memukul Abrian. Bugh! Bara melotot kala Xavier memukul Abrian. Ia tidak menyangka jika pria itu akan memukul Abrian. "Vier, stop!" teriak Bara. "Kau bisa membunuhnya! Apa kau juga ingin melenyapkan sahabat kita hah! Ingat walau bagaimana pun, Abrian adalah iparmu brengsek!" Xavier diam. Ia menatap dingin pada Abrian. Lalu setelah itu, pria berambut gondrong itu pun pergi dari markasnya. Ia akan ke rumah sakit menemui dua wanita yang paling ia sayang dalam hidupnya. Setelah membersihkan diri, niatnya Xavier akan mengajak Abrian untuk pulang. Tapi yang ada dia malah menangisi kematian adiknya.