"Maafkan aku, Nandini. Semua salahku, izinkan aku untuk menebus semua kesalahan yang telah aku perbuat kepadamu." Xavier tampak menggenggam tangan mungil Nandini. Sungguh ini semua seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Di mana ia bisa menggenggam tangan itu kembali. Xavier hanya berharap, jika ia masih bisa terus menggenggam tangan itu. Memeluk dan mencium harum tubuhnya. Penantian selama bertahun-tahun lamanya, akhirnya membuahkan hasil. "Ayah," suara lirih itu memanggil Xavier membuat pria itu segera beranjak ke arah sofa besar yang ada di ruangan VVIP itu. Putrinya tampak mengigau. Xavier menepuk halus punggung sang putri. Dan Sheinafia pun tampak kembali tertidur. * * Malam telah larut, baik Sheinafia maupun Xavier mereka tengah tertidur. Nandini mengerjapkan matanya. Ia membuka perlahan mata berwarna hazelnya. Nandini menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Lehernya sangat sakit sekali, sedang tenggorokan ter
"Kau memang gila!" Xavier tertawa terbahak-bahak, kala Meylan berkata jika ia gila. Ya ia memang gila bila ada orang yang menyakiti orang-orang yang ia cintai dan sayangi. Meylan menatap takut. Perih di pipinya sudah tidak ia rasakan, saat ini ia hanya ingin pergi dari tempat terkutuk itu. "Baru sadar heh! Sudah aku peringatkan bukan sebelumnya, jika aku memang gila. Dan kau sama sekali tidak memanfaatkan kebaikan yang aku berikan padamu!" Xavier menatap nyalang pada Meylan. Berbeda dengan Meylan, ia menatap sendu pada pria yang ia cintai. Andai waktu bisa berputar kembali, tentu ia tidak akan berbuat kesalahan itu. "Maafkan aku Vier. Aku sungguh-sungguh menyesal, tidak dapatkah kau membiarkanku. Aku berjanji, jika aku tidak akan pernah kembali menganggumu." "Terlambat, Sayang. Kesempatan tidak akan datang tiga kali, andai kau memanfaatkan kesempatan yang aku beri kemarin untuk lebih memperbaiki hidupmu, tentu kau tidak akan berada di
"Sudah Bri, ayok kita urus mayat adikmu. Sebagian dari tubuhnya sudah aku kantongi. Mungkin tidak semua yang akan aku kasihkan kepada peliharaan Xavier!" Abrian masih menangis bahkan ia sudah seperti anak kecil yang tidak di beri mainan. Xavier menatap kelakuan kakak iparnya itu lalu mendengkus kesal. Xavier lalu melangkahkan kakinya dan dengan tiba-tiba memukul Abrian. Bugh! Bara melotot kala Xavier memukul Abrian. Ia tidak menyangka jika pria itu akan memukul Abrian. "Vier, stop!" teriak Bara. "Kau bisa membunuhnya! Apa kau juga ingin melenyapkan sahabat kita hah! Ingat walau bagaimana pun, Abrian adalah iparmu brengsek!" Xavier diam. Ia menatap dingin pada Abrian. Lalu setelah itu, pria berambut gondrong itu pun pergi dari markasnya. Ia akan ke rumah sakit menemui dua wanita yang paling ia sayang dalam hidupnya. Setelah membersihkan diri, niatnya Xavier akan mengajak Abrian untuk pulang. Tapi yang ada dia malah menangisi kematian adiknya.
"Tidur ya, Nak. Hari sudah semakin larut. Istirahatlah, Ayah tidak akan pergi kemanapun. Ayah akan menjaga kalian." Nandini sudah berbaring semenjak tadi, sedang Melati pamit pulang. Ia lebih memilih tidur di rumah. Toh dia tidak perlu khawatir sebab ada Xavier yang menjaga keduanya. Xavier terlihat menimang Sheinafia. Ia terlihat mengelus lembut punggung mungil sang putri. Sehingga dengan perlahan mata itu menutup dengan sempurna. "Tidurlah, Nak. Selamat malam, semoga mimpi indah. Ayah berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu lagi," lirih Xavier. Meskipun ucapannya lirih, tetapi Nandini masih bisa mendengarnya. Ia meremas selimut yang ia pakai. Merasai hatinya yang berdenyut nyeri. "Kamu sudah tidur?" tanya Xavier pelan, lalu pria itu berjalan mendekati brangkar. Membuat perempuan yang tengah bergelung dengan selimut itu berdecak kesal. Nandini mengeratkan pegangannya. Ia pun berpura-pura menutup kedua matanya. "Sayang, kamu sudah
"Bri, bangun!" Abrian tersentak dan terbangun dari tidurnya. Keringat membasahi pelipisnya. Bahkan nafasnya masih terdengar memburu akibat mimpi buruk itu. Bara menatap Abrian dengan tatapan heran. Tatapan Abrian masih terlihat kosong, lalu pria itu meraup wajahnya secara kasar. "Ada apa?" Abrian mengalihkan pandangan, menatap sahabatnya. Setelah deru nafasnya normal, Abrian membuka suaranya. "Aku bermimpi, Bar! Aku bermimpi, adikku, Meylan. Dia datang kedalam mimpiki, ini terasa begitu nyata. Aku melihatnya berdiri di tepi makamnya, lalu ia berbicara jika aku tidak perlu mengkhawatirkannya dan merasa bersalah padanya. Dia pun meminta maaf untuk Nandini. Meylan memberi tahukan jika kuburan Ibuku berada di taman yang sering ia kunjungi semasa hidup." Bara menatap iba padanya. "Mungkin ini memang petunjuk dari adikmu. Besok kita datang ke rumahmu, kita cek langsung. Semoga memang apa yang ia katakan benar adanya." Abrian mengangguk, lal
"Ibu, Shei senang sekali. Karena ayah kembali, dia juga berjanji tidak akan pernah kembali meninggalkan aku dan Ibu lagi," ucapnya semringah. Melati hanya diam memerhatikan sang adik. Sesekali ia melirik pada Xavier yang berada tidak jauh dari sampingnya. Melati mengambil secarik kertas. Ia menuliskan sesuatu di atas kertas kecil itu. Dan memberikannya pada Xavier. Lalu gadis remaja itu pun beranjak, izin keluar dengan alasan suntuk. "Kak, aku keluar sebentar. Suntuk!" Tanpa menunggu jawaban Nandini. Melati langsung pergi. Dan sepuluh menit kemudian, Xavier menyusul dengan alasan ingin ke kantin. "Sayang, aku ke kantin dulu hmm. Kamu mau menitip sesuatu?" tanya Xavier pada sang putri. "Shei mau ikut, bolehkah?" tanya Sheinafia penuh harap. Xavier diam. Jika putrinya ikut, kemungkinan nanti dia akan tahu apa yang akan di bicarakan gadis remaja itu. Sheinafia anak yang cerdas meski usianya baru lima tahun. Xavier mencoba mencari a
Tidak terasa, sudah hampir tiga minggu, Nandini di rawat. Ia sudah merasa sangat bosan. Selama Nandini di rawat, anak-anak menginap di rumah Namilea dan Arshaka. Namilea begitu senang, sebab dirinya sekarang ada temannya. Anak-anak pun senang dan Sheinafia begitu betah tinggal di rumah sepupunya itu. Berbeda dengan Melati, yang terkadang kesal karena ia sering kali berdebat dengan Abrian---kakak Nandini. "Aunty! Ibu kapan pulang? Sudah---" ucapan Sheinafia terhenti, ia mengeluarkan sepuluh jarinya dan menghitung berapa lama sang ibu di rawat. Namilea terkekeh, ia gemas melihat tingkah putri dari pasangan Xavier dan Nandini. Ya Namilea tidak tahu bagaimana cerita hidup Nandini selama menikah dengan Xavier. Yang ia tahu jika kepergian sahabatnya itu, terjadi karena salah paham antara Xavier dan juga Nandini. "Berapa lama, hmm?" tanya Namilea terkekeh. Sheinafia tampak berpikir, "Ibu sudah dirawat selama lebih dari dua puluh hari, Aunty! Terus
"Kamu tidak berbohong, Mel? Ya Tuhan aku sakit mendengarnya." Melati mendengkus kesal karena ternyata perempuan di hadapannya tidak mempercayai ucapannya. Jadi rasanya percuma saja ia berbicara panjang kali lebar. Benar-benar menyebalkan, pikir Melati. Dalam tangisnya wanita itu tersenyum kecil, kala melihat wajah gadis cantik di sampingnya. Lalu ia merengkuh tubuh mungil itu, tubuh yang sudah ia anggap adik. "Aku akan menanyakan hal ini pada suamiku, Mel." Melati diam, masa bodo dia mau bertanya pada suaminya atau pada pria itu. Entahlah di mata Melati, mereka menyeramkan. Melati hanya mengedikkan bahunya cuek. Lalu berdiri dan kembali masuk kedalam ruangan. Ia melihat Sheinafia tengah memeluk Nandini dari belakang. "Jangan diamkan putri kita. Cukup kamu diamkan aku!" Melati mendekat lalu mengajak gadis kecil itu untuk keluar. Biarlah kedua orang dewasa itu menyelesaikan permasalahan di antara mereka. "Kita keluar dulu yuk, biarkan ayah
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia