"Jadilah anak yang kuat, maafkan Ayah karena Ayah mempunyai banyak salah padamu, Nak. Semoga kamu kelak menjadi anak yang sukses dengan kesabaran yang begitu luas. Jadilah kebanggaan Ayah dan Ibu." Gadis berusia lima tahun itu tersenyum pada sang Ayah. Ia peluk dan cium pria matang berambut gondrong itu. Setelah selesai beres-beres, akhirnya mereka pun meninggalkan rumah sakit. Sepanjang lorong rumah sakit, Sheinafia tidak berhenti berceloteh. Nandini dan Melati berjalan di belakang sepasang Ayah dan anak itu. Sedangkan barang-barang di bawakan oleh anak buah Xavier. "Silahkan masuk, Tuan Puteri," ucap Xavier pada Sheinafia yang membuat gadis kecil itu terkekeh. Nandini pun tersenyum kecil, kala melihat bagaimana perlakuan Xavier pada putrinya. Apa yang selama ini ia pikirkan, ternyata salah besar. Xavier tidak mungkin akan tega memisahkan mereka berdua. "Silahkan masuk, Sayang," Xavier mempersilahkan Nandini masuk setelah sebelumnya Melati yan
"Alexander Zaderta, masih menunggu kabar kita. Dia ingin sekali bertemu denganmu," ucap Abrian begitu mereka duduk di sofa yang ada di ruang keluarga nan luas itu. Xavier menatap sekilas pria yang menjadi iparnya itu. Pria itu tahu, jika Abrian masih ada rasa kesal dan mungkin marah soal Meylan. Tapi Xavier masa bodoh, resiko mengganggu ketenangan hidupnya. Abrian diam, ia menatap pada gadis cantik yang beranjak remaja. Entah kenapa setiap kali Abrian menatapnya, ada desiran halus yang menyapa perasaannya. Hatinya yang belum pernah tersentuh oleh wanita. Xavier pun melihat bagaimana cara Abrian menatap Melati, membuat pria itu terkekeh kecil. "Tunggu beberapa tahun lagi, baru kamu bisa menghalalkannya. Jaga terus sampai ia dewasa dan kamu baru bisa menjadikannya pendamping hidupmu." Abrian langsung menoleh ke arah Xavier, yang tengah senyum ngece padanya. Abrian mendengkus kesal, karena Xavier terang-terangan mengejeknya. "Bagaimana? Aku belum
"Benar-benar seperti pinang di belah dua," uca Arshaka. Baik Abrian maupun Xavier terkekeh mendengar ucapannya. Tentu Xavier tahu apa yang di maksud oleh kakaknya itu. Pria yang masih betah dengan rambut gondrongnya itu tampak menatap tajam Rain. Sheinafia berada di dapur, bersama dengan Melati, Nandini dan Namilea. Para wanita bertugas di dapur, meski ini hari pertama Nandini berada di rumah itu, tetapi sudah menjadi kewajibannya menyiapkan keperluan orang-orang di rumahnya. "Sheinafia, panggil Ayah dan yang lainnya. Makan malam sudah siap," ujar Nandini pada Sheinafia. Gadis itu sempat terdiam, memberengut sebab ia tidak mau bertemu dengan temannya yang bernama Rain itu. Kesan pertama dalam benak Sheinafia, Rain orang yang menyebalkan. Dingin, ketus, dan juga datar. "Kak Melati saja Ibu yang suruh panggil Ayah, Shei mau di sini saja," tukas Sheinafia. Nandini menatap Sheinafia heran, sebab baru kali ini putrinya tidak mau ia suruh. Melati men
"Aku tidak perduli meski ia putramu, jika ia melewati batas, jangan salahkan aku mengambil tindakan tegas untuknya!" Alexander terdiam. Tentu siapa pun akan marah jika anaknya di sebut anak haram. Begitu juga dirinya, ia akan mengambil tindakan. Wajah Xavier masih terlihat menyeramkan. Rahang tegas itu masih terlihat tegang, bahkan suara giginya bergemelutuk. Pertanda jika pria itu tengah menahan amarahnya. "Maafkan aku. Aku berjanji akan memberi pelajaran pada Rain, karena ia sudah lancang berbicara seperti itu. Aku berjanji, jika ini pertama dan terakhir kalinya putraku berbuat hal itu." Xavier mengangguk, ia mencoba menetralkan rasa di dalam dadanya. Rasa marah dan juga kesal membuncah menjadi satu. "Hmm, aku mengerti jika mereka masih kanak-kanak. Hanya saja, jika anak kita melakukan kesalahan, bukankah sebagai orang tua, kita wajib menegur mereka. Jika pun posisi kita terbalik, aku pun akan melakukan hal yang sama. Menegur putriku untuk t
"Nah, Sayang. Ini kamarmu, selamat beristirahat biar aku tidur di kamar tamu. Maafkan aku jika kehadiranku membuatmu tidak nyaman, maka aku akan menjauh darimu. Tapi aku mohon jangan jauhkan Shei dariku lagi, sudah cukup aku menjadi gila selama lima tahun karenamu, tolong jangan buat aku tambah gila karena kamu menjauhkan putri kita," ujar Xavier memohon pada Nandini. Nandini diam, tetapi ia dapat melihat ketulusan dalam binar mata Xavier. Tidak seperti dulu, di dalam binar matanya hanya ada kebencian. Tapi saat ini, bahkan pria itu menatapnya penuh dengan binar cinta. Xavier tersenyum, ia memberanikan untuk mengelus kepala Nandini. Senyuman Xavier yang sangat mahal, dulu jangankan sebuah senyuman yang Nandini dapatkan. Ia hanya mendapatkan caci dan maki dari pria itu, salahkah jika dirinya masih menyimpan sebuah ketakutan? "Ya sudah, selamat beristirahat. Jika ada apa-apa kamu bisa memanggilku dengan menggunakan telepon yang ada di kamar, aku sengaja menyettingn
"Mulailah buka hatimu, terima dan lihatlah ketulusannya. Aku yakin, tidak ada pria di dunia ini sebaik suamimu. Berbahagialah, lahirkan banyak keponakan untukku. Jadilah ibu dan istri yang baik serta bahagia, semoga kelak kita akan berjumpa kembali, dan berkumpul kembali." Bayangan Meylan dan kedua orang tuanya perlahan menghilang bersama kabut yang semakin lama semakin menebal. Sebuah elusan lembut di pipi, membuat Nandini membuka matanya. Sebuah senyuman menyapa Nandini ketika mata wanita muda itu terbuka. Elusan di pipinya begitu lembut, membuatnya merasakan sebuah ketenangan. "Bangun, Sayang. Kenapa tidur di bawah hmm." Nandini bangun dengan di bantu oleh Xavier. Ia masih linglung, sekelebat bayangan dan ucapan Meylan padanya menari-nari di kepalanya. Benarkah, jika pria ini sudah berubah, atau semua hanya topeng belaka. Xavier diam, ia menatap heran pada Nandini yang malah kembali melamun. Dan juga perempuan muda itu terus menatapnya.
"Sekarang tidurlah, ini sudah sangat larut. Minum obat dahulu sebelum tidur hmm," ucap Xavier sambil menyodorkan beberapa butir obat untuk Nandini. Dengan ragu Nandini mengambil butiran obat yang ada di tangan Xavier. Pria tampan itu mengulas senyumnya untuk sang istri. Senyum yang sangat mahal sekali. Senyum yang sedari dulu ingin sekali Nandini lihat. Tapi baru sekarang dirinya bisa merasakan dan juga menatapnya langsung. "Terima kasih," cicit Nandini lalu ia langsung membaringkan tubuhnya di atas ranjang mewah itu. Xavier masih setia menunggu hingga Nandini terlelap. Namun, kenyataannya wanita muda itu tidak bisa memejamkan matanya sama sekali. Karena ini baru pertama kali mereka berada di dalam satu ruangan yang sama dalam jangka waktu yang lumayan lama. "M-mas, kamu tidak beristirahat? Silahkan aku belum mengantuk, karena sedari tadi sudah terlalu lama tertidur," ucap Nandini pelan. Xavier tersenyum, bukannya pergi pria itu malah mengambil tan
Keesokan paginya, Arshaka dan Namilea serta Abrian sudah sibuk mengurusi semua tetek bengek kebutuhan pernikahan dadakan Xavier dan Nandini. Alarich di titipkan pada Nandini dengan alasan Namilea sibuk membantu pekerjaan Arshaka. Kini kedua balita yang berjarak beberapa tahun saja tengah asyik bermain. Nandini hanya menatap keduanya, sesekali senyuman tersungging di bibirnya yang mungil. "Aku bodoh, karena sudah menyia-nyiakan wanita sebaik kamu. Aku benar-benar di butakan," lirih Xavier sembari menatap Nandini. Pria itu tidak masuk kerja, dengan alasan ingin memberikan kejutan untuk sang istri. Konyol sekali, tetapi itulah Xavier. Apa yang ia perintahkan itu mutlak adanya. Di tempat lain, Namilea begitu bersemangat mempersiapkan semuanya. Hanya dalam waktu sekitar lima jam, persiapan sudah hampir 80% beres. Semengerikan itu memang kekuatan uang. "Bagaimana, Sayang? Tinggal apa saja yang belum di persiapkan?" Tanya Arshaka begitu sampai di Ballroom yan