Tidak terasa, sudah hampir tiga minggu, Nandini di rawat. Ia sudah merasa sangat bosan. Selama Nandini di rawat, anak-anak menginap di rumah Namilea dan Arshaka. Namilea begitu senang, sebab dirinya sekarang ada temannya. Anak-anak pun senang dan Sheinafia begitu betah tinggal di rumah sepupunya itu. Berbeda dengan Melati, yang terkadang kesal karena ia sering kali berdebat dengan Abrian---kakak Nandini. "Aunty! Ibu kapan pulang? Sudah---" ucapan Sheinafia terhenti, ia mengeluarkan sepuluh jarinya dan menghitung berapa lama sang ibu di rawat. Namilea terkekeh, ia gemas melihat tingkah putri dari pasangan Xavier dan Nandini. Ya Namilea tidak tahu bagaimana cerita hidup Nandini selama menikah dengan Xavier. Yang ia tahu jika kepergian sahabatnya itu, terjadi karena salah paham antara Xavier dan juga Nandini. "Berapa lama, hmm?" tanya Namilea terkekeh. Sheinafia tampak berpikir, "Ibu sudah dirawat selama lebih dari dua puluh hari, Aunty! Terus
"Kamu tidak berbohong, Mel? Ya Tuhan aku sakit mendengarnya." Melati mendengkus kesal karena ternyata perempuan di hadapannya tidak mempercayai ucapannya. Jadi rasanya percuma saja ia berbicara panjang kali lebar. Benar-benar menyebalkan, pikir Melati. Dalam tangisnya wanita itu tersenyum kecil, kala melihat wajah gadis cantik di sampingnya. Lalu ia merengkuh tubuh mungil itu, tubuh yang sudah ia anggap adik. "Aku akan menanyakan hal ini pada suamiku, Mel." Melati diam, masa bodo dia mau bertanya pada suaminya atau pada pria itu. Entahlah di mata Melati, mereka menyeramkan. Melati hanya mengedikkan bahunya cuek. Lalu berdiri dan kembali masuk kedalam ruangan. Ia melihat Sheinafia tengah memeluk Nandini dari belakang. "Jangan diamkan putri kita. Cukup kamu diamkan aku!" Melati mendekat lalu mengajak gadis kecil itu untuk keluar. Biarlah kedua orang dewasa itu menyelesaikan permasalahan di antara mereka. "Kita keluar dulu yuk, biarkan ayah
"Jadilah anak yang kuat, maafkan Ayah karena Ayah mempunyai banyak salah padamu, Nak. Semoga kamu kelak menjadi anak yang sukses dengan kesabaran yang begitu luas. Jadilah kebanggaan Ayah dan Ibu." Gadis berusia lima tahun itu tersenyum pada sang Ayah. Ia peluk dan cium pria matang berambut gondrong itu. Setelah selesai beres-beres, akhirnya mereka pun meninggalkan rumah sakit. Sepanjang lorong rumah sakit, Sheinafia tidak berhenti berceloteh. Nandini dan Melati berjalan di belakang sepasang Ayah dan anak itu. Sedangkan barang-barang di bawakan oleh anak buah Xavier. "Silahkan masuk, Tuan Puteri," ucap Xavier pada Sheinafia yang membuat gadis kecil itu terkekeh. Nandini pun tersenyum kecil, kala melihat bagaimana perlakuan Xavier pada putrinya. Apa yang selama ini ia pikirkan, ternyata salah besar. Xavier tidak mungkin akan tega memisahkan mereka berdua. "Silahkan masuk, Sayang," Xavier mempersilahkan Nandini masuk setelah sebelumnya Melati yan
"Alexander Zaderta, masih menunggu kabar kita. Dia ingin sekali bertemu denganmu," ucap Abrian begitu mereka duduk di sofa yang ada di ruang keluarga nan luas itu. Xavier menatap sekilas pria yang menjadi iparnya itu. Pria itu tahu, jika Abrian masih ada rasa kesal dan mungkin marah soal Meylan. Tapi Xavier masa bodoh, resiko mengganggu ketenangan hidupnya. Abrian diam, ia menatap pada gadis cantik yang beranjak remaja. Entah kenapa setiap kali Abrian menatapnya, ada desiran halus yang menyapa perasaannya. Hatinya yang belum pernah tersentuh oleh wanita. Xavier pun melihat bagaimana cara Abrian menatap Melati, membuat pria itu terkekeh kecil. "Tunggu beberapa tahun lagi, baru kamu bisa menghalalkannya. Jaga terus sampai ia dewasa dan kamu baru bisa menjadikannya pendamping hidupmu." Abrian langsung menoleh ke arah Xavier, yang tengah senyum ngece padanya. Abrian mendengkus kesal, karena Xavier terang-terangan mengejeknya. "Bagaimana? Aku belum
"Benar-benar seperti pinang di belah dua," uca Arshaka. Baik Abrian maupun Xavier terkekeh mendengar ucapannya. Tentu Xavier tahu apa yang di maksud oleh kakaknya itu. Pria yang masih betah dengan rambut gondrongnya itu tampak menatap tajam Rain. Sheinafia berada di dapur, bersama dengan Melati, Nandini dan Namilea. Para wanita bertugas di dapur, meski ini hari pertama Nandini berada di rumah itu, tetapi sudah menjadi kewajibannya menyiapkan keperluan orang-orang di rumahnya. "Sheinafia, panggil Ayah dan yang lainnya. Makan malam sudah siap," ujar Nandini pada Sheinafia. Gadis itu sempat terdiam, memberengut sebab ia tidak mau bertemu dengan temannya yang bernama Rain itu. Kesan pertama dalam benak Sheinafia, Rain orang yang menyebalkan. Dingin, ketus, dan juga datar. "Kak Melati saja Ibu yang suruh panggil Ayah, Shei mau di sini saja," tukas Sheinafia. Nandini menatap Sheinafia heran, sebab baru kali ini putrinya tidak mau ia suruh. Melati men
"Aku tidak perduli meski ia putramu, jika ia melewati batas, jangan salahkan aku mengambil tindakan tegas untuknya!" Alexander terdiam. Tentu siapa pun akan marah jika anaknya di sebut anak haram. Begitu juga dirinya, ia akan mengambil tindakan. Wajah Xavier masih terlihat menyeramkan. Rahang tegas itu masih terlihat tegang, bahkan suara giginya bergemelutuk. Pertanda jika pria itu tengah menahan amarahnya. "Maafkan aku. Aku berjanji akan memberi pelajaran pada Rain, karena ia sudah lancang berbicara seperti itu. Aku berjanji, jika ini pertama dan terakhir kalinya putraku berbuat hal itu." Xavier mengangguk, ia mencoba menetralkan rasa di dalam dadanya. Rasa marah dan juga kesal membuncah menjadi satu. "Hmm, aku mengerti jika mereka masih kanak-kanak. Hanya saja, jika anak kita melakukan kesalahan, bukankah sebagai orang tua, kita wajib menegur mereka. Jika pun posisi kita terbalik, aku pun akan melakukan hal yang sama. Menegur putriku untuk t
"Nah, Sayang. Ini kamarmu, selamat beristirahat biar aku tidur di kamar tamu. Maafkan aku jika kehadiranku membuatmu tidak nyaman, maka aku akan menjauh darimu. Tapi aku mohon jangan jauhkan Shei dariku lagi, sudah cukup aku menjadi gila selama lima tahun karenamu, tolong jangan buat aku tambah gila karena kamu menjauhkan putri kita," ujar Xavier memohon pada Nandini. Nandini diam, tetapi ia dapat melihat ketulusan dalam binar mata Xavier. Tidak seperti dulu, di dalam binar matanya hanya ada kebencian. Tapi saat ini, bahkan pria itu menatapnya penuh dengan binar cinta. Xavier tersenyum, ia memberanikan untuk mengelus kepala Nandini. Senyuman Xavier yang sangat mahal, dulu jangankan sebuah senyuman yang Nandini dapatkan. Ia hanya mendapatkan caci dan maki dari pria itu, salahkah jika dirinya masih menyimpan sebuah ketakutan? "Ya sudah, selamat beristirahat. Jika ada apa-apa kamu bisa memanggilku dengan menggunakan telepon yang ada di kamar, aku sengaja menyettingn
"Mulailah buka hatimu, terima dan lihatlah ketulusannya. Aku yakin, tidak ada pria di dunia ini sebaik suamimu. Berbahagialah, lahirkan banyak keponakan untukku. Jadilah ibu dan istri yang baik serta bahagia, semoga kelak kita akan berjumpa kembali, dan berkumpul kembali." Bayangan Meylan dan kedua orang tuanya perlahan menghilang bersama kabut yang semakin lama semakin menebal. Sebuah elusan lembut di pipi, membuat Nandini membuka matanya. Sebuah senyuman menyapa Nandini ketika mata wanita muda itu terbuka. Elusan di pipinya begitu lembut, membuatnya merasakan sebuah ketenangan. "Bangun, Sayang. Kenapa tidur di bawah hmm." Nandini bangun dengan di bantu oleh Xavier. Ia masih linglung, sekelebat bayangan dan ucapan Meylan padanya menari-nari di kepalanya. Benarkah, jika pria ini sudah berubah, atau semua hanya topeng belaka. Xavier diam, ia menatap heran pada Nandini yang malah kembali melamun. Dan juga perempuan muda itu terus menatapnya.
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia