"Tidur ya, Nak. Hari sudah semakin larut. Istirahatlah, Ayah tidak akan pergi kemanapun. Ayah akan menjaga kalian." Nandini sudah berbaring semenjak tadi, sedang Melati pamit pulang. Ia lebih memilih tidur di rumah. Toh dia tidak perlu khawatir sebab ada Xavier yang menjaga keduanya. Xavier terlihat menimang Sheinafia. Ia terlihat mengelus lembut punggung mungil sang putri. Sehingga dengan perlahan mata itu menutup dengan sempurna. "Tidurlah, Nak. Selamat malam, semoga mimpi indah. Ayah berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu lagi," lirih Xavier. Meskipun ucapannya lirih, tetapi Nandini masih bisa mendengarnya. Ia meremas selimut yang ia pakai. Merasai hatinya yang berdenyut nyeri. "Kamu sudah tidur?" tanya Xavier pelan, lalu pria itu berjalan mendekati brangkar. Membuat perempuan yang tengah bergelung dengan selimut itu berdecak kesal. Nandini mengeratkan pegangannya. Ia pun berpura-pura menutup kedua matanya. "Sayang, kamu sudah
"Bri, bangun!" Abrian tersentak dan terbangun dari tidurnya. Keringat membasahi pelipisnya. Bahkan nafasnya masih terdengar memburu akibat mimpi buruk itu. Bara menatap Abrian dengan tatapan heran. Tatapan Abrian masih terlihat kosong, lalu pria itu meraup wajahnya secara kasar. "Ada apa?" Abrian mengalihkan pandangan, menatap sahabatnya. Setelah deru nafasnya normal, Abrian membuka suaranya. "Aku bermimpi, Bar! Aku bermimpi, adikku, Meylan. Dia datang kedalam mimpiki, ini terasa begitu nyata. Aku melihatnya berdiri di tepi makamnya, lalu ia berbicara jika aku tidak perlu mengkhawatirkannya dan merasa bersalah padanya. Dia pun meminta maaf untuk Nandini. Meylan memberi tahukan jika kuburan Ibuku berada di taman yang sering ia kunjungi semasa hidup." Bara menatap iba padanya. "Mungkin ini memang petunjuk dari adikmu. Besok kita datang ke rumahmu, kita cek langsung. Semoga memang apa yang ia katakan benar adanya." Abrian mengangguk, lal
"Ibu, Shei senang sekali. Karena ayah kembali, dia juga berjanji tidak akan pernah kembali meninggalkan aku dan Ibu lagi," ucapnya semringah. Melati hanya diam memerhatikan sang adik. Sesekali ia melirik pada Xavier yang berada tidak jauh dari sampingnya. Melati mengambil secarik kertas. Ia menuliskan sesuatu di atas kertas kecil itu. Dan memberikannya pada Xavier. Lalu gadis remaja itu pun beranjak, izin keluar dengan alasan suntuk. "Kak, aku keluar sebentar. Suntuk!" Tanpa menunggu jawaban Nandini. Melati langsung pergi. Dan sepuluh menit kemudian, Xavier menyusul dengan alasan ingin ke kantin. "Sayang, aku ke kantin dulu hmm. Kamu mau menitip sesuatu?" tanya Xavier pada sang putri. "Shei mau ikut, bolehkah?" tanya Sheinafia penuh harap. Xavier diam. Jika putrinya ikut, kemungkinan nanti dia akan tahu apa yang akan di bicarakan gadis remaja itu. Sheinafia anak yang cerdas meski usianya baru lima tahun. Xavier mencoba mencari a
Tidak terasa, sudah hampir tiga minggu, Nandini di rawat. Ia sudah merasa sangat bosan. Selama Nandini di rawat, anak-anak menginap di rumah Namilea dan Arshaka. Namilea begitu senang, sebab dirinya sekarang ada temannya. Anak-anak pun senang dan Sheinafia begitu betah tinggal di rumah sepupunya itu. Berbeda dengan Melati, yang terkadang kesal karena ia sering kali berdebat dengan Abrian---kakak Nandini. "Aunty! Ibu kapan pulang? Sudah---" ucapan Sheinafia terhenti, ia mengeluarkan sepuluh jarinya dan menghitung berapa lama sang ibu di rawat. Namilea terkekeh, ia gemas melihat tingkah putri dari pasangan Xavier dan Nandini. Ya Namilea tidak tahu bagaimana cerita hidup Nandini selama menikah dengan Xavier. Yang ia tahu jika kepergian sahabatnya itu, terjadi karena salah paham antara Xavier dan juga Nandini. "Berapa lama, hmm?" tanya Namilea terkekeh. Sheinafia tampak berpikir, "Ibu sudah dirawat selama lebih dari dua puluh hari, Aunty! Terus
"Kamu tidak berbohong, Mel? Ya Tuhan aku sakit mendengarnya." Melati mendengkus kesal karena ternyata perempuan di hadapannya tidak mempercayai ucapannya. Jadi rasanya percuma saja ia berbicara panjang kali lebar. Benar-benar menyebalkan, pikir Melati. Dalam tangisnya wanita itu tersenyum kecil, kala melihat wajah gadis cantik di sampingnya. Lalu ia merengkuh tubuh mungil itu, tubuh yang sudah ia anggap adik. "Aku akan menanyakan hal ini pada suamiku, Mel." Melati diam, masa bodo dia mau bertanya pada suaminya atau pada pria itu. Entahlah di mata Melati, mereka menyeramkan. Melati hanya mengedikkan bahunya cuek. Lalu berdiri dan kembali masuk kedalam ruangan. Ia melihat Sheinafia tengah memeluk Nandini dari belakang. "Jangan diamkan putri kita. Cukup kamu diamkan aku!" Melati mendekat lalu mengajak gadis kecil itu untuk keluar. Biarlah kedua orang dewasa itu menyelesaikan permasalahan di antara mereka. "Kita keluar dulu yuk, biarkan ayah
"Jadilah anak yang kuat, maafkan Ayah karena Ayah mempunyai banyak salah padamu, Nak. Semoga kamu kelak menjadi anak yang sukses dengan kesabaran yang begitu luas. Jadilah kebanggaan Ayah dan Ibu." Gadis berusia lima tahun itu tersenyum pada sang Ayah. Ia peluk dan cium pria matang berambut gondrong itu. Setelah selesai beres-beres, akhirnya mereka pun meninggalkan rumah sakit. Sepanjang lorong rumah sakit, Sheinafia tidak berhenti berceloteh. Nandini dan Melati berjalan di belakang sepasang Ayah dan anak itu. Sedangkan barang-barang di bawakan oleh anak buah Xavier. "Silahkan masuk, Tuan Puteri," ucap Xavier pada Sheinafia yang membuat gadis kecil itu terkekeh. Nandini pun tersenyum kecil, kala melihat bagaimana perlakuan Xavier pada putrinya. Apa yang selama ini ia pikirkan, ternyata salah besar. Xavier tidak mungkin akan tega memisahkan mereka berdua. "Silahkan masuk, Sayang," Xavier mempersilahkan Nandini masuk setelah sebelumnya Melati yan
"Alexander Zaderta, masih menunggu kabar kita. Dia ingin sekali bertemu denganmu," ucap Abrian begitu mereka duduk di sofa yang ada di ruang keluarga nan luas itu. Xavier menatap sekilas pria yang menjadi iparnya itu. Pria itu tahu, jika Abrian masih ada rasa kesal dan mungkin marah soal Meylan. Tapi Xavier masa bodoh, resiko mengganggu ketenangan hidupnya. Abrian diam, ia menatap pada gadis cantik yang beranjak remaja. Entah kenapa setiap kali Abrian menatapnya, ada desiran halus yang menyapa perasaannya. Hatinya yang belum pernah tersentuh oleh wanita. Xavier pun melihat bagaimana cara Abrian menatap Melati, membuat pria itu terkekeh kecil. "Tunggu beberapa tahun lagi, baru kamu bisa menghalalkannya. Jaga terus sampai ia dewasa dan kamu baru bisa menjadikannya pendamping hidupmu." Abrian langsung menoleh ke arah Xavier, yang tengah senyum ngece padanya. Abrian mendengkus kesal, karena Xavier terang-terangan mengejeknya. "Bagaimana? Aku belum
"Benar-benar seperti pinang di belah dua," uca Arshaka. Baik Abrian maupun Xavier terkekeh mendengar ucapannya. Tentu Xavier tahu apa yang di maksud oleh kakaknya itu. Pria yang masih betah dengan rambut gondrongnya itu tampak menatap tajam Rain. Sheinafia berada di dapur, bersama dengan Melati, Nandini dan Namilea. Para wanita bertugas di dapur, meski ini hari pertama Nandini berada di rumah itu, tetapi sudah menjadi kewajibannya menyiapkan keperluan orang-orang di rumahnya. "Sheinafia, panggil Ayah dan yang lainnya. Makan malam sudah siap," ujar Nandini pada Sheinafia. Gadis itu sempat terdiam, memberengut sebab ia tidak mau bertemu dengan temannya yang bernama Rain itu. Kesan pertama dalam benak Sheinafia, Rain orang yang menyebalkan. Dingin, ketus, dan juga datar. "Kak Melati saja Ibu yang suruh panggil Ayah, Shei mau di sini saja," tukas Sheinafia. Nandini menatap Sheinafia heran, sebab baru kali ini putrinya tidak mau ia suruh. Melati men