"Kak," panggil Sheinafia kepada Melati ketika mereka pulang sekolah. Tampak Xavier tengah menunggu kedatangan mereka di pintu gerbang sekolah. Pria tampan berambut gondrong berkemeja putih, dengan lengan yang tergulung sampai sikut. Tampak duduk menunggu sang putri keluar. Hari ini ia harus bisa melakukan kerja sama dengan sang putri. Demi mendapatkan kembali cinta sang istri. Sudah cukup selama lima tahun mereka terpisah, jarak dan waktu. "Ada apa dek?" Tanya Melati heran. Sheinafia berhenti berjalan. Otomasi Melati pun ikut berhenti. Kini gadis berusia lima tahun itu tengah menatapnya, tak berselang lama ia pun menghela nafasnya kasar. "Kakak, ingat tidak pria yang sering mengobrol denganku di taman jika sore hari tiba?" Melati mengangguk, "Ya, kenapa dek? Apa dia melakukan kejahatan padamu?" Sheinafia menggeleng. Ia bingung harus dari mana dulu memulai pembicaraannya. Lalu Xavier menghampiri keduanya, ia kesal karena permata
Rain Alexander Zaderta. Seorang anak kecil yang berusia 6,5 tahun. Ia bersekolah di sekolah internasional X, yang berada di jalan X. Rain Alexander Zaderta merupakan seorang anak dari seorang single parent yang bernama Alexander Zaderta. Seorang pria matang yang terkenal sebagai penguasa dunia bawah. Siapa yang tidak mengenal Zaderta, atau lebih di kenal dengan Mr. Z. "Bagaimana Rain di sekolah?" Tanyanya datar pada seorang ajudan yang ia tugaskan untuk menjaga sang putra di sekolah. Pria yang di tanya pun membuka suaranya. Tetapi sebelum ia menceritakan perkembangan sang tuan muda. Ia bercerita jika di sekolah, tadi pagi tuan mudanya sempat membuat ulah. "Maaf sebelumnya tuan, tadi pagi tuan muda sempat menyuruh saya untuk menyerempet seorang gadis kecil yang saya lihat, sepertinya murid baru di sekolah tuan muda. Hanya saja---" ucapannya terjeda. "Hanya saja, entah kenapa saya seperti melihat Tuan Xavier Romanov tetapi dalam versi anak perempuan,"
"Ya Tuhan, rasanya gugup sekali. Aku takut jika Nandini akan menolakku," lirih Xavier sambil memperhatikan Nandini yang tengah melayani para pembeli. Lalu Xavier memberanikan turun. Ia mengikat rambut gondrongnya, dan memakai kaca mata hitam tidak lupa masker ia pakai. Seperti biasa ia pun menghampiri Nandini, kebetulan sekali orang-orang yang beli satu persatu pulang. Xavier yang terlihat tampan dengan memakai kemeja lengan panjang berwarna maroon. Di bagian lengan, ia sengaja gulung hingga siku, menambah kadar ketampanannya. Benar-benar seperti hot daddy. "Permisi," suara bariton itu menyapa Nandini yang tengah asyik menunduk. Membuat wanita itu seketika mendongak. Menatap orang yang tengah berdiri di hadapannya. Alis Nandini terangkat satu, merasa heran dengan pria tersebut, sebab memakai kaca mata belum masker sudah seperti buronan saja. "Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Nandini lembut. Xavier tidak langsung menjawab
"Nandini," panggil Xavier. Suara bariton yang begitu Nandini kenal. Suaminya, ya suaminya apakah dia berada di sini? Tapi kok bisa ia berada di sini. Oh Tuhan, jangan-jangan Xavier sudah mengetahui keberadaannya. Tidak, Nandini tidak mau jika Xavier mengetahui keberadaan sang putri dan memisahkan mereka berdua. Nandini mematung, tidak berbalik ataupun membalas panggilan Xavier. "Nandini, i-ni a-ku," ucap Xavier pelan. Nandini masih mematung. Tubuhnya terasa lemas. Suara itu, suara yang ia rindukan meski dulu suaminya hanya bisa menorehkan luka, tetapi tidak sedikitpun ia membenci Xavier. "Nandini, ini aku. Akhirnya setelah lima tahun lamanya aku melakukan pencarian dirimu kemana-mana. Akhirnya Tuhan mempertemukan kita berdua, Nandini maafkan aku. Maafkan atas kebodohan yang telah aku lakukan padamu selama kita hidup bersama. Sungguh aku menyesal, dan Tuhan sudah menghukumku dengan hidup di dalam penyesalan. Tolong, maafkan atas segala kebodohank
"Tidak, tidak," teriak Sheinafia. Gadis itu terus berontak di dalam pelukan sang ibu. Melihat ayahnya di bawa oleh beberapa orang berbadan kekar. Pikiran polos Sheinafia, berkata jika sang ayah akan kembali pergi. Nandini berusaha menahan tubuh mungil sang putri. Tak ia perdulikan bajunya yang basah akibat air hujan. Sheinafia menangis, tergugu begitu juga Nandini ia ikutan menangis. "Sayang, ibu mohon jangan seperti ini, Nak. Ibu mohon tolong nanti kamu sakit," ucap Nandini lembut. Sheinafia tetap memberontak. Ia tidak mau mendengarkan apa yang di ucapkan sang ibu. Saat ini ia hanya ingin mengejar sang ayah yang sudah hilang bersamaan dengan air hujan yang semakin deras turun. "Ayah, ayah jangan pergi. Sheinafia mohon, ayah bilang akan selalu bersama Shei, lantas kenapa sekarang ayah pergi begitu juga. Shei mau di peluk ayah, kaya teman-teman Shei. Aku juga ingin merasakan, kenapa ayah malah pergi," jerit Sheinafia di iringi isakan tangis yang me
"Ibu, di mana ayah?" Suara itu menginterupsi lamunan keduanya. Mereka langsung menoleh, menatap Sheinafia yang tengah berdiri di pintu. Menatap sayu pada sang ibu. Nandini beranjak menghampiri putri semata wayangnya. Ia peluk tubuh lemah itu. Betapa kagetnya Nandini, kala merasakan tubuh Sheinafia yang panas. "Ya Allah, Shei badan kamu panas, Nak." Nandini khawatir, ia segera beranjak untuk membawa Sheinafia berobat. Tetapi anak kecil itu menggeleng. "Enggak ibu. Shei nggak mau di bawa ke dokter. Shei mau ayah ibu," lirih gadis kecil itu. Nandini diam. Air mata menetes di kedua pipinya yang mulus. Egoiskah dia karena telah memisahkan mereka berdua. "Ibu, di mana ayah? Aku ingin bertemu dengan dia, Shei kangen di peluk ayah. Di mana ayah bu?" Gadis kecil itu kembali menangis. Sementara badannya semakin panas. Nandini takut terjadi apa-apa pada putrinya itu. Ia memaksa gadis kecil itu untuk ke dokter. Melati mengikuti langkah i
Sheinafia terdengar masih menangis tergugu di dalam pelukan Arshaka. Tak lama Namilea pun menyusul sang suami menuju rumah sakit. Alarich ia titipkan di rumah pada si mbok. Begitu mendengar jika Nandini sudah di temukan, Namilea tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya itu. Xavier menghampiri sang putri yang masih saja mengeluarkan air matanya. Bahkan matanya pun sudah bengkak. Wajah gadis kecil itu pun sudah memerah bak kepiting rebus. "Sayang," Xavier menghampiri sang putri dan mendudukkannya di atas pangkuannya. Di usapnya air mata yang terjatuh itu. Di kecup pula kedua mata sang putri. Dan terakhir di peluk tubuh ringkih Sheinafia. "Jangan menangis lagi hmm. Ayah sudah berada di sini. Maafkan ayah karena selama lima tahun ini tidak menemanimu, maafkan ayah. Kamu bukan anak haram sayang. Tolong jangan kamu dengarkan orang-orang yang berbicara jelek." Sheinafia masih diam, ia mengedarkan pandangan mencari sang Om. Melati masih setia menunggu
"Syukurlah, kamu sudah bisa pulang, Nak." Sheinafia tersenyum, pun dengan Nandini. Sementara itu, Xavier tampak tengah menyelesaikan sesuatu. Namilea tampak terus mendampingi Nandini. Ingin sekali ia bertanya tentang apa yang terjadi. Tapi, ia sadar jika sekarang bukanlah waktu yang tepat. Namilea pun enggan memaksa, biarlah mau Nandini kapan ia siap memberi tahu semua masalahnya. "Kamu baik-baik saja, Nan?" tanya Namilea khawatir sebab Nandini lebih banyak diam. Nandini hanya tersenyum. Namilea tahu, jika sahabatnya berusaha baik-baik saja. Meski sebenarnya, ia tidak baik. "Aku baik, kamu jangan khawatir." "Tolong, jangan pendam sendiri hmm. Kamu mempunyai aku, dari dulu hingga sekarang. Jangan kamu simpan sendiri masalahmu!" tegas Namiliea. Sekali lagi, Nandini hanya menjawab dengan sebuah senyuman. Ia tidak mungkin menceritakan kegelisahannya, sementara sang putri ada bersamanya. Biarlah, ia simpan saja rasa gelisahnya sendiri.