Deg! "Sampai ketemu lagi om, dadah Shei pulang," ucap Sheinafia untuk yang kedua kalinya. Xavier masih terpaku ketika gadis kecil itu mengucapkan satu kata yang terngiang di kepalanya. Satu nama yang tersemat di dalam hatinya. Selain nama sang istri. Bahkan setelah Sheinafia pergi jauh, Xavier masih termangu di tempatnya. Hingga ia tersadar, gadis kecil itu sudah pergi jauh. Xavier langsung beranjak dan menatap sekeliling tapi sayang gadis kecil itu sudah tidak berada di sana. "Ya Tuhan, Shei, Shei apakah dia putriku? Itu artinya Nandini pun berada di sini! Ya Tuhan, aku harus bisa menemukan mereka," gumam Xavier sambil berlari mengelilingi taman yang luasnya tak seberapa itu. Xavier terus mencoba mencari. Tetapi sayang dia tidak bisa menemukan keberadaannya. Xavier meraup wajahnya frustasi. "Ya Tuhan, kemana gadis kecil itu." Lalu Xavier menghubungi Abrian. Lama Abrian mengangkat teleponnya. Hingga pada dering ke lima baru di angkat
"Awas." Teriak seorang perempuan di belakang Nandini. Membuat wanita cantik itu kaget. Dan langsung memeluk sang putri. Suara tabrakan begitu keras terdengar. Nandini dapat melihat sebuah mobil yang menabrak etalase toko yang ada tepat di dekat jalan yang ia lalui. Wajah wanita muda itu sudah pucat. "Astagfirullah, kalian tidak apa-apa?" tanya Nandini khawatir sambil menelisik tubuh sang putri. Sheinafia mengangguk begitu juga dengan Melati. Meski mereka masih kaget akan tabrakan yang barusan saja terjadi. Mobil dan etalase itu hancur. "Cepat tolong, ada korban!" teriak salah satu warga yang menolong. Banyak orang berkerumun di sana. Ada yang menolong ada juga yang hanya melihat bagaimana hancurnya mobil. Tubuh Nandini sedikit bergetar. "Ya Allah, Ya Tuhanku. Terima kasih karena engkau masih melindungi kami dari segala mara bahaya. Semoga engkau senantiasa memberikan perlindunganmu pada kami Ya Rabb," lirih Nandini. Lalu wanita mu
"Aku tidak menyangka jika mereka akan bertemu secepat ini! Apa Xavier tahu, jika gadis kecil yang tengah berbicara bersamanya itu adalah putrinya?" gerutu Meylan. Ya perempuan cacat yang tengah memperhatikan Xavier dan Sheinafia dari kejauhan adalah Meylan. Tadinya wanita itu ingin langsung bertemu dengan Nandini. Tetapi melihat jika di sekitar Nandini ada Xavier membuat dirinya mengurungkan niatnya. Meylan terus memperhatikan keduanya. Tangannya mengepal kuat, bahkan rahangnya mengeras. Giginya pun bergemelutuk saking ia kesal. "Aku harus mencari cara untuk bisa menjauhkan anak kecil itu dari sekitar Nandini dan juga Xavier. Supaya aku bisa membuat langsung hancur keduanya," gumam Meylan. Terlihat binar kebencian begitu besar di dalam matanya. Meylan tidak suka mereka hidup bahagia. Sementara dirinya hancur. "Lihat apa yang akan aku lakukan. Saat ini berbahagialah dahulu, setelah ini, tangisan kalian yang akan menghiasi hari-hari kalian
Deg! "Meylan? Tidak, itu tidak mungkin dia'kan? Ya Tuhan kenapa dia berada di sini!" gumam Xavier. Pria tampan itu langsung menghubungi anak buahnya yang berada di kota X. Ia menanyakan perihal keberadaan Meylan. Dan Xavier meminta kabar secepatnya. Jika benar Meylan berada di sini. Kemungkinan hidup Nandini terancam. Ia tahu bagaimana sipat dan sikap Meylan. "Ya Tuhan, tidak semoga itu bukan dia." Xavier kini berada di depan sekolah tersebut. Lalu ia menghubungi Abrian untuk mendatangkan pengacaranya. Xavier meminta sang pengacara mengurus beberapa hal. "Bagaimana apa ada orang yang kalian curigai?" tanya Xavier begitu menghubungi salah satu anak buahnya. Anak buah yang ia tugaskan untuk mengawasi Nandini. "Sejauh ini tidak ada tuan. Saya belum menemukan orang yang berperilaku mencurigakan." Xavier mengangguk. Lalu ia mematikan sambungan telepon secara sepihak. Ia akan menunggu sang pengacara di depan sekolah tersebut.
Brakk! Sebuah mobil tampak menabrak tiang listrik yang berada tepat di depan rumah Nandini. Xavier sigap melindungi tubuh Nandini dengan badannya yang tinggi besar. Tidak sadar, Xavier bahkan memeluk tubuh kecil dan mungil milik Nandini. "Kamu tidak apa-apa?" suara bariton yang tegas nan dingin itu tampak khawatir. Nandini hanya diam. Ia shock kala melihat mobil yang depannya sudah hancur itu. Andai jika mobil tersebut tidak tertahan oleh tiang listrik, mungkin mobil tersebut sudah menabraknya. Wanita muda itu masih belum tersadar berada di dalam pelukan seorang pria. Yang mungkin di mata Nandini asing. Tentu, karena ia tidak tahu bila orang yang memeluknya itu adalah suaminya. "Maaf, anda tidak apa-apa?" Tanya Xavier untuk yang kedua kalinya, sekedar memastikan bila sang belahan jiwanya itu baik-baik saja. Nandini tersadar. Ia langsung melepaskan tubuhnya yang tengah di rengkuh oleh Xavier. Dan entah kenapa, jantung dia berdetak begitu
"Shei, kamu tinggal bersama siapa?" Tanya salah satu temannya ketika waktu istirahat. Gadis kecil nan cantik itu memilih tidak keluar dari kelasnya. Ia lebih memilih membuka bekal yang di berikan ibunya. Begitu juga Melati, ia pun tidak keluar dari kelas. "Aku tinggal bersama dengan ibu dan kakakku," jawab Sheinafia tenang. Teman-teman baru Sheinafia mengangguk. Lalu mereka pun memilih untuk jajan di kantin. Tiba-tiba teman Sheinafia yang tepat berada di sampingnya menyeletuk. Membuat teman-teman gadis cantik itu sontak menghentikan langkah kakinya. Sheinafia diam. Lagi dan lagi selalu pertanyaan yang sama. "Di mana ayahmu? Apa kau tidak tinggal bersama ayahmu?" Tanyanya datar. Sheinafia diam. Ia melirik temannya yang berwajah datar itu. Lalu menatap teman-temannya yang seolah-olah tengah menunggu jawabannya. "Aku--aku tidak tahu di mana ayahku! Yang aku tahu sedari bayi hanya tinggal bersama ibu dan kakakku," tukas Sheinafia.
"Mereka bilang, jika Shei tidak mempunyai ayah kak! Dan ada yang bilang jika Shei anak haram. Kak anak haram itu apa?" Tanya Sheinafia polos. Melati terdiam. Padahal ini hari pertama mereka sekolah. Tetapi adiknya sudah mendapatkan perundungan. Bully dalam bentuk verbal. Anak haram, orang tua mana yang tidak akan sakit mendengarnya bila anaknya di panggil anak haram. Begitu juga dengan Xavier, meski hasil test DNA belum keluar, tapi Xavier sudah yakin 1000% jika gadis kecil itu adalah putrinya, darah dagingnya. "Siapa yang sudah berani berkata seperti itu pada putriku!" Geram Xavier. Melati mengambil tangan sang adik. Mengenggamnya dengan lembut. Pembawaan Melati hampir sama dengan Nandini. Melati menatap teduh Sheinafia yang sudah mulai menangis. "Shei," panggil Melati lembut. "Sudah ya jangan menangis, kakak tahu kamu pasti sedih pas mendengar ucapan-ucapan mereka. Tapi satu yang harus kamu tahu, jika Tuhan itu tidak tidur, kakak yaki
"Show time." Xavier melihat tajam orang-orang itu. Ada sekitar lima orang yang di ikat di tiang yang berada di ruang hukuman itu. Pria itu tersenyum smirk, lalu mengayunkan cambuknya pada salah seorang tawanan. Cetas "Aaaa, ampun!" Teriaknya. Cetas Cetas Suara cambukan itu begitu terdengar jelas. Jeritan bahkan sudah memenuhi lorong itu. "Rasakan ini!" Xavier kalap. Ia mencambuk beberapa preman itu hingga mereka tidak sadarkan diri. Tubuh mereka sudah bersimbah darah. Xavier menyeringai puas. Hasrat dia telat terpenuhi. Menatap datar pada mereka yang entah masih hidup atau mungkin malah sudah tiada. "Pisau!" Desis Xavier. Salah satu tangan kanannya memberikan sebilah pisau lipat. Kecil tetapi mematikan. Xavier memainkan pisau itu. "Bagaimana hadiah dariku heh! Menyenangkan bukan? Hari ini kita akan bermain-main. Sampai aku puas!" Pria itu mulai maju. Ia menyayat satu persatu preman itu. Menguliti pipi m
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia