"Daddy." "Daddy." Xavier mengedarkan pandangan matanya yang tajam. Menyapu tempat di mana ia tengah berdiri saat ini. Suara anak perempuan memanggilnya 'DADDY' . Xavier terus mencoba menemukan sumber suara. Tetapi sayang ia tidak menemukan apapun. Hanya ada hembusan angin menerpa wajahnya yang begitu tampan itu. "Daddy." Lagi dan lagi. Suara anak kecil itu memanggil namanya. Xavier berusaha menemukan suara itu, tetapi nihil. "Ya Tuhan,Nak," lirih Xavier sambil berlutut dan meremat rambutnya dengan kasar. Frustasi. Itulah yang ia rasakan saat ini. Suara anak kecil itu terus terngiang di telinganya. Xavier asyik menunduk. Sambil menjambak pelan rambut tebalnya. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dengan lembut, membuat Xavier mendongak. "Daddy." Xavier spontan tersenyum kala melihat seorang anak kecil yang di perkirakan berumur sekitar 5 tahun. Rambut coklat terangnya begitu mirip dengan dirinya. Dan jangan lupakan
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam, Xavier lalui dengan kekosongan. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bahkan saat ini tidak terasa sudah lima tahun Nandini pergi bersama dengan sang putri. "Empat tahun sudah kalian pergi meninggalkanku, harus kemana lagi aku mencari kalian! Tidakkah kau merindukanku istriku! Apakah kau benar-benar tidak ingin memberiku kesempatan kedua?" Xavier saat ini tengah berada di dalam kamarnya. Ia menghadap ke arah taman di mana dulu Nandini sering menanam bunga-bunga di sana. Kini taman itu tidak terawat, bahkan terkesan bak sebuah taman horor. Dengan rumput yang tumbuh meninggi. Bunga-bunga tumbuh tidak beraturan. Dulu ketika Jordhan masih hidup, dialah yang mengurusinya, tetapi saat ini tidak ada yang Xavier izinkan untuk menginjakkan kaki di taman itu. Ceklek Pintu terbuka, Abrian tampak berdiri tepat di depan pintu. Menatap lurus pria berumur 30 tahun itu. Abrian mendesah lelah, sebab seperti ini
Setelah mendapatkan bogeuman mentah dari Abrian. Xavier mencoba bangkit, ia tidak mesti harus terpuruk terus menerus seperti saat ini. Sudah hampir 3 tahun ia menghukum dirinya sendiri, atas kepergian anak dan istrinya. Abrian dan Arshaka tampak duduk di ruang tengah. Abrian sudah mengganti pakaiannya, karena ia memang menyimpan beberapa pakaiannya di sana, toh Abrian sempat tinggal di sana walau tidak lama. Arshaka terkekeh melihat lebam di wajah Abrian, ia yakin pasti luka itu akan terasa perih bila terkena air. "Kenapa lo tertawa kak! Gak ada yang lucu," ketus Abrian. Arshaka bukan terkekeh lagi. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah Abrian bak badut yang akan show. Menit berlalu.... Xavier turun dari kamarnya, hari ini ia memakai pakaian santai. Ia memutuskan esok hari akan mulai masuk ke perusahaan. Setibanya di bawah, Xavier mendengar tawa menguar dari bibir sang kakak. "Lo sudah mirip badut, Bri!" ejek Arshaka.
"Ayah," gumam Sheinafia di tengah tidurnya. Nandini sontak menghentikan langkah kakinya. Ia diam, berdiri termangu di tepi sofa yang di tiduri oleh sang putri. Gumaman Sheinafia, meski terdengar pelan, tetapi terdengar jelas di telinga Nandini. Setetes air mata luruh. Membasahi pipi mulus Nandini, bohong jika ia tidak merasakan rindu terhadap pria yang dulu sering menyiksanya. Tetapi Nandini tahu, jika saja sang kakak tidak melakukan ulah, tentu saja ia tidak akan mengalami nasib yang seperti ini. "Maafkan ibu, Nak! Jika ibu egois, memisahkanmu dengan ayah kandungmu," lirih Nandini. Ikatan bathin antara Xavier dan Sheinafia begitu kuat. Meski jarak mereka terpisah beberapa kilometer. Tetapi, entah kenapa Sheinafia seolah merasakan kehadiran sang ayah. Oleh sebab itu, anak itu mengalami demam. Bukan semata, karena ia oi dah ke tempat yang baru. Tetapi juga, rasa rindunya terhadap sang ayah, yang sudah sangat ingin sekali ia jumpai. "Setel
"Ibu, apakah ayah masih hidup? Shei ingin sekali bertemu dengan ayah. Shei juga ingin memeluk ayah, sama seperti orang lain!" Sheinafia tiba-tiba saja merengek ketika mereka akan pulang. Entah kenapa gadis kecil itu tiba-tiba merajuk. Biasanya juga Sheinafia cuek-cuek saja. Nandini sampai pusing. Tidak tahu harus menjawab apa. Bingung. "Sekarang Shei berdo'a pada Tuhan. Semoga Shei bisa bertemu dengan ayah di dalam mimpi Shei," jawab Nandini lembut. Sheinafia memeluk erat tubuh sang ibu. Melati hanya mendengarkan apa yang Sheinafia katakan. Bohong bila ia juga tidak merindukan ayah dan ibunya. Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka pun sampai di depan rumah. Sheinafia sudah tertidur di dalam pelukan sang ibu. Nandini tersenyum miris kala mengingat pertanyaan sang putri. "Tidurlah sayangku. Semoga mimpi indah, dan semoga---" Nandini tidak dapat meneruskan ucapannya. Rasanya sakit dan sesak. Mengingat jika Xavier tidak menginginkan kehadiran
"Ibu, ibu tenang saja. Dendam kita akan aku balaskan. Apapun akan Mey lakukan, membuat mereka menderita dan merasakan apa yang kita rasakan! Dan kakak Adrian pun, Mey akan memberikan pelajaran padanya, lihat saja nanti!" Meylan menatap gundukan tanah yang baru saja ia gali. Di dalam gundukan tanah itu ada jasad sang ibu yang terkubur. Meylan mengubur jasad Rini tanpa memandikannya terlebih dahulu. Meylan menggotong jasad Rini seorang diri. Jasad Rini tinggal tulang berbalut kulit. Meylan meratapi jasad sang ibu. "Andai aku tidak di asingkan. Mungkin ibu tidak akan sampai seperti ini. Aku nekad pergi dari tempat pengasingan karena ingin membalas dendam. Beruntung beberapa bulan terakhir penjagaan tidak terlalu ketat. Bahkan bisa di katakan mereka sudah tidak mengawasiku lagi. Hingga dengan mudah aku bisa kembali kemari," gumam Meylan. Meylan tidak perduli meski hari sudah larut ketika ia menguburkan jasad sang ibu. Yang ada dalam pikirannya adalah untuk
Brakk! "Bagaimana bisa kalian membuat laporan yang jelek seperti ini hah! Laporan kalian macam anak kecil yang baru belajar menulis, apa kalian sudah bosan bekerja di perusahaan saya? Jika ia, silahkan kalian membuat surat pengunduran diri kalian! Saat ini juga!" hardik Xavier pada karyawan-karyawannya. Beberapa orang yang berada di dalam ruangan meeting itu tampak menundukkan kepalanya takut. Mereka tidak menyangka jika sang pemimpin perusahaan yang sudah lama tertidur akan datang kembali. Memimpin perusahaannya. Tidak ada orang yang berani bersuara, bahkan bernafas pun mereka seakan berat melakukannya. Ruangan meeting itu seketika senyap, sunyi. Xavier menatap tajam satu persatu orang yang berada di sana. "Abrian!" panggil Xavier pada sang tangan kanan. Lalu dia melemparkan beberapa ke atas meja. Abrian pun tak luput dari kemarahan seorang Xavier. Dan Abrian menerimanya, sebab ia pun bersalah karena tidak bertindak tegas pada pegawai yang beke
"Sayang." Suara itu menyapa Xavier kala ia hendak menutup matanya. Xavier menatap wajah wanita yang berpakaian kekurangan bahan itu. Perempuan gatal yang selalu menganggunya sejak dulu. Xavier menatap datar wanita yang paling tidak ia sukai di dunia ini. Andai ia bisa, ingin sekali dirinya melenyapkan wanita itu dari muka bumi ini. Tetapi Xavier enggan mengotori tangannya untuk hal yang tidak ada gunanya. "Siapa yang mengizinkan kau menginjakkan kaki kotormu di tempatku! Dan siapa kau, memanggil saya dengan kata-kata menjijikan seperti itu! Keluar dari ruangan saya sebelum saya menyuruh beberapa bodyguard saya untuk mengusirmu secara kasar dari sini," desis Xavier. Wanita itu tidak takut sama sekali. Yang ada ia malah mendekat dan duduk di hadapan Xavier. Pria itu semakin menatap dingin wanita tersebut. "Come on Vier! Aku tahu jika kamu tidak jadi menikah dengan Meylan. Dan dengan begitu aku mempunyai kesempatan bukan?" ucapnya dengan penuh p