Pagi itu, Nandini sudah terbangun sejak pukul 03 pagi. Kemarin Nandini dan si mbok sudah berbelanja membeli beberapa kebutuhan mereka untuk berdagang. Beruntung mereka mempunyai tetangga yang begitu baik dan ramah sehingga mau membantu mengantarkan mereka ke pasar. Nandini pagi ini akan memulai berdagang. Ia begitu semangat mempersiapkan olahan untuk dagangannya. Beruntung Sheinafia tidak rewel, bayi itu seakan mengerti jika sang ibu tengah berjuang untuk kehidupannya supaya lebih baik. "Shei tidak boleh rewel ya, Nak. Hari ini kita akan mulai berjualan. Do'a kan ibu supaya di hari pertama kita berjualan, laris manis," ucap Nandini pada si kecil Sheinafia. Si mbok tersenyum melihat interaksi keduanya. Padahal Nandini baru beberapa hari melahirkan, tetapi ia di paksa untuk menjadi kuat karena keadaan. "Hari ini mau berjualan apa dulu, Nak?" tanya si mbok. Nandini tersenyum, "Pagi ini kita akan jualan pisang goreng, bakwan jagung, kue lapis, kue
Mbok Sekar segera berlari begitu melihat Sheinafia berada di dalam gendongan pria tampan nan gagah itu. Ya meski saat ini usia Xavier sudah menginjak 30 lebih, tetapi yang ada di semakin matang. Wajahnya semakin berwibawa. Wajah mbok Sekar sudah tegang, ia takut jika pria itu mengenali anak yang tengah ia gendong itu. Jika itu sampai terjadi, pelarian Nandini akan berbuah percuma. Dengan nafasnya yang masih terengah-engah, ia meraih gadis kecil yang baru berusia beberapa bulan itu dari gendongan Xavier. "Ya Tuhan, maafkan cucu saya tuan! Barusan saya tak tinggal sebentar masuk ke dalam rumah, eh malah sudah kabur saja. Sekali lagi maafkan cucu saya, Tuan!" Si mbok berusaha berbicara dengan nada tenang. Supaya orang-orang yang ada di hadapannya tidak curiga. Si mbok tahu, bila ayah dari Sheinafia adalah orang penting di negaranya, beruntung Nandini belum kembali dari pasar. "Tidak apa-apa," jawab Xavier datar seperti biasanya. "Terima kasih tuan k
Jeduarr Bak di sambar petir di siang bolong. Abrian tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Bahkan ia sempat memegangi kupingnya untuk memastikan apa yang ia dengar. Lantas pria itu menatap Xavier yang tengah fokus menatap jalanan. Tetapi Abrian dapat melihat kegelisahan dalam mata tajam pria itu. Keduanya pun terdiam dengan fokus pada pikiran masing-masing. "Tadi siang, aku bertemu dengan anak kecil itu di sini," ujar Xavier begitu mobil berhenti di depan sebuah lapangan. Xavier memandangi sekeliling. Gelap sebab memang belum ada penerangan. Abrian pun ikut mengedarkan pandangannya, tetapi nihil tidak ada apapun. "Kamu yakin Vier! Di sini tidak ada siapa-siapa, tidak mungkin bukan jika tempat tinggal anak itu di sekitar sini! Atau kau bisa menelepon Mandor pembangunan tempat ini, siapa tahu dia mengetahui perihal anak bayi itu!" usul Abrian. Xavier menoleh, dan tersenyum dengan ide sahabatnya itu. "Boleh juga usulmu, aku akan menelepon Man
Xavier menemukan kemejanya yang dulu hilang. Ia pikir jika kemeja itu memang menghilang, sebab ia sudah mencarinya kemana pun tidak ketemu. Dan saat ini, ia sudah mengetahui jika istrinya lah yang menjadi tersangka pencurian kemeja itu. Xavier terkekeh menyadari kebodohannya. Menyuruh seluruh maid di rumahnya untuk mencari kemeja kesayangannya itu. Bahkan Jordhan pun sampai turun tangan, Xavier memeluk hangat kemeja itu yang sudah bercampur dengan wangi dari tubuh Nandini. "Ya Tuhan, mengapa aku tidak menyadari bila ternyata, istriku sendiri yang membawanya. Mungkin kemeja ini yang menjadi penawar rasa rindu Nandini dan bayiku," ucapnya narsis. Abrian menatap Xavier di pintu yang terbuka sedikit. Ia terpaku melihat Xavier yang tengah memeluk kemeja berwarna putih. "Bagaimana Bri?" tanya Xavier begitu ia sadar jika Abrian tengah berdiri di dekat pintu. Abrian menggeleng,"Nihil Vier, sepertinya memang kita belum di takdirkan untuk bertemu dengan Nand
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, meskipun bukan sang istri dan sang putri yang ia dapatkan. Setidaknya apa yang ia miliki saat ini, bisa membuatnya melepaskan rasa rindu pada keduanya. Ya Xavier sudah mempunyai obat penawar bagi keresahan dan rasa gelisahnya. Di dalam mobil, senyum terus terlukis di bibir sexy itu. Abrian pun ikut senang, setidaknya ia mengetahui keadaan adik dan keponakannya dalam keadaan baik-baik saja. Tidak kekurangan apapun. "Pencarian kita apa masih akan lanjut Vier?" tanya Abrian serius. Xavier diam. Tidak langsung menjawab ucapan sahabatnya itu. Pencarian, negara tempat ia tinggal begitu luas, bukan hal susah untuknya menemukan keberadaan seseorang, tetapi sekali lagi pencariannya selalu saja gagal, alam dan takdir seolah tidak mendukung pertemuan mereka. "Lanjutkan saja! Meskipun hasilnya saat ini masih nihil, tetapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan Tuhan akan mempertemukanku kembali bersama mereka, ketika takdir dan
Pagi menyapa, suara kicau burung begitu indah terdengar di telinga. Embun pagi yang masih memeluk dedaunan. Menciptakan suasana sejuk nan asri. Nandini yang sudah terbangun sejak dini hari tadi. Kini tampak menatap hamparan sawah yang berada tepat di pinggir rumah milik neneknya Melati. Rumah sederhana yang di huni oleh dua orang yaitu nenek dan cucunya. "Di sini indah sekali, mbok Sekar pintar sekali mencari tempat untuk bersembunyi," lirih Nandini sedikit terkikik geli. Si kecil Sheinafia masih asyik tertidur dalam hangatnya pelukan selimut tebal miliknya. Sementara itu, si mbok tengah berada di rumah nenlek Melati. Sepertinya ia mendapatkan teman baru, makanya betah diam di sana meski hari masih sangat pagi. "Si mbok, pagi-pagi sudah pergi," lirih Nandini. Lantas si kecil Melati lewat di depan Nandini. Perempuan muda itu menatap heran, mau kemana perginya anak iku sepagi ini. Lalu Nandini memanggilnya. "Mel," teriak Nandini. "Mau ke
Hari demi hari tidak terasa Nandini lalui dengan senang hati. Tidak ada beban dalam hatinya, sebab ia membebaskan semuanya. Rasa sakit hati dan juga rasa tersisihkan, ia berusaha damai dengan itu semua. Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Yang harus dia tatap adalah masa depan. Apalagi masa depan sang putri kecil, yang kini berada di tangannya. "Hallo, Sheinafia cantik apa kabar?" tanya Nandini ceria pada putrinya yang baru saja selesai mandi. Gadis kecil itu tampak tersenyum menanggapi ucapan sang ibu. Sheinafia tak pernah lepas senyumannya menatap wajah sang ibu. Cantik mungkin itulah yang ada di dalam pikiran sang putri. "Hari ini, Shei mau makan apa, Nak?" tanya Nandini lembut. "Kit, mam kit," jawab Sheinafia khas seorang anak kecil. Nandini terkekeh mendengar ucapan Sheinafia yang belum jelas itu. Sheinafia sesekali menduselkan wajahnya pada perut Nandini. Sedangkan Nandini tengah mengikat rambut panjang berwarna coklat terang. B
Hari bergerak cepat, tidak terasa hari sudah beranjak sore. Sedari siang tadi Sheinafia rewel. Ia menangis semenjak kembali dari malam si Mbok. "Ya Allah, Nak. Kenapa? Apa ada yang sakit sholehah ibu?" tanya Nandini khawatir. Melati yang mendengar Sheinafia menangis terus pun menghampiri Nandini. Melati sudah menganggap Nandini seperti kakaknya sendiri. Hidup sebatang kara, membuatnya begitu senang karena anggota keluarganya bertambah dengan kedatangan Nandini berserta si kecil. Tetapi hari ini Melati bersedih. Sebab hari ini si mbok pergi. Pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya juga si kecil Sheinafia, pantas saja ia menangis terus menerus sebab Melati yakin bila Sheinafia pun merasakan hal yang sama yaitu Kehilangan. "Sheina kenapa kak?" tanya gadis kecil itu khawatir. Nandini tersenyum, "Kakak tidak tahu sayang, semenjak pulang dari makam si mbok, Sheina gelisah. Tadi sempat tertidur sebentar, terus bangun eh langsung nangis histeris kaya gini.