Xavier menemukan kemejanya yang dulu hilang. Ia pikir jika kemeja itu memang menghilang, sebab ia sudah mencarinya kemana pun tidak ketemu. Dan saat ini, ia sudah mengetahui jika istrinya lah yang menjadi tersangka pencurian kemeja itu. Xavier terkekeh menyadari kebodohannya. Menyuruh seluruh maid di rumahnya untuk mencari kemeja kesayangannya itu. Bahkan Jordhan pun sampai turun tangan, Xavier memeluk hangat kemeja itu yang sudah bercampur dengan wangi dari tubuh Nandini. "Ya Tuhan, mengapa aku tidak menyadari bila ternyata, istriku sendiri yang membawanya. Mungkin kemeja ini yang menjadi penawar rasa rindu Nandini dan bayiku," ucapnya narsis. Abrian menatap Xavier di pintu yang terbuka sedikit. Ia terpaku melihat Xavier yang tengah memeluk kemeja berwarna putih. "Bagaimana Bri?" tanya Xavier begitu ia sadar jika Abrian tengah berdiri di dekat pintu. Abrian menggeleng,"Nihil Vier, sepertinya memang kita belum di takdirkan untuk bertemu dengan Nand
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, meskipun bukan sang istri dan sang putri yang ia dapatkan. Setidaknya apa yang ia miliki saat ini, bisa membuatnya melepaskan rasa rindu pada keduanya. Ya Xavier sudah mempunyai obat penawar bagi keresahan dan rasa gelisahnya. Di dalam mobil, senyum terus terlukis di bibir sexy itu. Abrian pun ikut senang, setidaknya ia mengetahui keadaan adik dan keponakannya dalam keadaan baik-baik saja. Tidak kekurangan apapun. "Pencarian kita apa masih akan lanjut Vier?" tanya Abrian serius. Xavier diam. Tidak langsung menjawab ucapan sahabatnya itu. Pencarian, negara tempat ia tinggal begitu luas, bukan hal susah untuknya menemukan keberadaan seseorang, tetapi sekali lagi pencariannya selalu saja gagal, alam dan takdir seolah tidak mendukung pertemuan mereka. "Lanjutkan saja! Meskipun hasilnya saat ini masih nihil, tetapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan Tuhan akan mempertemukanku kembali bersama mereka, ketika takdir dan
Pagi menyapa, suara kicau burung begitu indah terdengar di telinga. Embun pagi yang masih memeluk dedaunan. Menciptakan suasana sejuk nan asri. Nandini yang sudah terbangun sejak dini hari tadi. Kini tampak menatap hamparan sawah yang berada tepat di pinggir rumah milik neneknya Melati. Rumah sederhana yang di huni oleh dua orang yaitu nenek dan cucunya. "Di sini indah sekali, mbok Sekar pintar sekali mencari tempat untuk bersembunyi," lirih Nandini sedikit terkikik geli. Si kecil Sheinafia masih asyik tertidur dalam hangatnya pelukan selimut tebal miliknya. Sementara itu, si mbok tengah berada di rumah nenlek Melati. Sepertinya ia mendapatkan teman baru, makanya betah diam di sana meski hari masih sangat pagi. "Si mbok, pagi-pagi sudah pergi," lirih Nandini. Lantas si kecil Melati lewat di depan Nandini. Perempuan muda itu menatap heran, mau kemana perginya anak iku sepagi ini. Lalu Nandini memanggilnya. "Mel," teriak Nandini. "Mau ke
Hari demi hari tidak terasa Nandini lalui dengan senang hati. Tidak ada beban dalam hatinya, sebab ia membebaskan semuanya. Rasa sakit hati dan juga rasa tersisihkan, ia berusaha damai dengan itu semua. Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Yang harus dia tatap adalah masa depan. Apalagi masa depan sang putri kecil, yang kini berada di tangannya. "Hallo, Sheinafia cantik apa kabar?" tanya Nandini ceria pada putrinya yang baru saja selesai mandi. Gadis kecil itu tampak tersenyum menanggapi ucapan sang ibu. Sheinafia tak pernah lepas senyumannya menatap wajah sang ibu. Cantik mungkin itulah yang ada di dalam pikiran sang putri. "Hari ini, Shei mau makan apa, Nak?" tanya Nandini lembut. "Kit, mam kit," jawab Sheinafia khas seorang anak kecil. Nandini terkekeh mendengar ucapan Sheinafia yang belum jelas itu. Sheinafia sesekali menduselkan wajahnya pada perut Nandini. Sedangkan Nandini tengah mengikat rambut panjang berwarna coklat terang. B
Hari bergerak cepat, tidak terasa hari sudah beranjak sore. Sedari siang tadi Sheinafia rewel. Ia menangis semenjak kembali dari malam si Mbok. "Ya Allah, Nak. Kenapa? Apa ada yang sakit sholehah ibu?" tanya Nandini khawatir. Melati yang mendengar Sheinafia menangis terus pun menghampiri Nandini. Melati sudah menganggap Nandini seperti kakaknya sendiri. Hidup sebatang kara, membuatnya begitu senang karena anggota keluarganya bertambah dengan kedatangan Nandini berserta si kecil. Tetapi hari ini Melati bersedih. Sebab hari ini si mbok pergi. Pergi untuk selamanya meninggalkan dirinya juga si kecil Sheinafia, pantas saja ia menangis terus menerus sebab Melati yakin bila Sheinafia pun merasakan hal yang sama yaitu Kehilangan. "Sheina kenapa kak?" tanya gadis kecil itu khawatir. Nandini tersenyum, "Kakak tidak tahu sayang, semenjak pulang dari makam si mbok, Sheina gelisah. Tadi sempat tertidur sebentar, terus bangun eh langsung nangis histeris kaya gini.
"Daddy." "Daddy." Xavier mengedarkan pandangan matanya yang tajam. Menyapu tempat di mana ia tengah berdiri saat ini. Suara anak perempuan memanggilnya 'DADDY' . Xavier terus mencoba menemukan sumber suara. Tetapi sayang ia tidak menemukan apapun. Hanya ada hembusan angin menerpa wajahnya yang begitu tampan itu. "Daddy." Lagi dan lagi. Suara anak kecil itu memanggil namanya. Xavier berusaha menemukan suara itu, tetapi nihil. "Ya Tuhan,Nak," lirih Xavier sambil berlutut dan meremat rambutnya dengan kasar. Frustasi. Itulah yang ia rasakan saat ini. Suara anak kecil itu terus terngiang di telinganya. Xavier asyik menunduk. Sambil menjambak pelan rambut tebalnya. Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya dengan lembut, membuat Xavier mendongak. "Daddy." Xavier spontan tersenyum kala melihat seorang anak kecil yang di perkirakan berumur sekitar 5 tahun. Rambut coklat terangnya begitu mirip dengan dirinya. Dan jangan lupakan
Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam, Xavier lalui dengan kekosongan. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bahkan saat ini tidak terasa sudah lima tahun Nandini pergi bersama dengan sang putri. "Empat tahun sudah kalian pergi meninggalkanku, harus kemana lagi aku mencari kalian! Tidakkah kau merindukanku istriku! Apakah kau benar-benar tidak ingin memberiku kesempatan kedua?" Xavier saat ini tengah berada di dalam kamarnya. Ia menghadap ke arah taman di mana dulu Nandini sering menanam bunga-bunga di sana. Kini taman itu tidak terawat, bahkan terkesan bak sebuah taman horor. Dengan rumput yang tumbuh meninggi. Bunga-bunga tumbuh tidak beraturan. Dulu ketika Jordhan masih hidup, dialah yang mengurusinya, tetapi saat ini tidak ada yang Xavier izinkan untuk menginjakkan kaki di taman itu. Ceklek Pintu terbuka, Abrian tampak berdiri tepat di depan pintu. Menatap lurus pria berumur 30 tahun itu. Abrian mendesah lelah, sebab seperti ini
Setelah mendapatkan bogeuman mentah dari Abrian. Xavier mencoba bangkit, ia tidak mesti harus terpuruk terus menerus seperti saat ini. Sudah hampir 3 tahun ia menghukum dirinya sendiri, atas kepergian anak dan istrinya. Abrian dan Arshaka tampak duduk di ruang tengah. Abrian sudah mengganti pakaiannya, karena ia memang menyimpan beberapa pakaiannya di sana, toh Abrian sempat tinggal di sana walau tidak lama. Arshaka terkekeh melihat lebam di wajah Abrian, ia yakin pasti luka itu akan terasa perih bila terkena air. "Kenapa lo tertawa kak! Gak ada yang lucu," ketus Abrian. Arshaka bukan terkekeh lagi. Ia bahkan tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah Abrian bak badut yang akan show. Menit berlalu.... Xavier turun dari kamarnya, hari ini ia memakai pakaian santai. Ia memutuskan esok hari akan mulai masuk ke perusahaan. Setibanya di bawah, Xavier mendengar tawa menguar dari bibir sang kakak. "Lo sudah mirip badut, Bri!" ejek Arshaka.