Xavier merenung. Ia sudah pasrah, dan hanya berharap pada takdir. Yang kelak akan mempertemukan mereka. Senyum Xavier tersungging kala mengingat ia sudah mempunyai seorang putri. Tapi ia pun sedih, sebab di saat Nandini hamil dirinya tidak ada. Dan di saat bayinya lahir pun ia tidak ada. "Maafkan, maafkan Daddy, Nak. Daddy banyak salah pada Mommy. Daddy berharap bila kelak kita berjumpa, bantu Daddy untuk membujuk Mommy, supaya ia mau memaafkan semua kesalahan yang telah Daddy lakukan padanya." Xavier pun tertidur dengan memeluk bantal yang dulu di pakai Nandini. Bantal itu tidak pernah di cuci. Sengaja supaya wanginya tidak hilang. * * Pagi menjelang, kicau burung tampak menyambut datangnya pagi. Embun yang masih menempel di dedaunan menambah hangat dan sejuknya udara di pagi hari. Nandini tampak sudah bangun sedari tadi. Beruntung si bayi sudah mulai anteung. Tidak menangis ataupun rewel seperti kemarin. Sheinafia atau Nandini me
Pagi itu, Nandini sudah terbangun sejak pukul 03 pagi. Kemarin Nandini dan si mbok sudah berbelanja membeli beberapa kebutuhan mereka untuk berdagang. Beruntung mereka mempunyai tetangga yang begitu baik dan ramah sehingga mau membantu mengantarkan mereka ke pasar. Nandini pagi ini akan memulai berdagang. Ia begitu semangat mempersiapkan olahan untuk dagangannya. Beruntung Sheinafia tidak rewel, bayi itu seakan mengerti jika sang ibu tengah berjuang untuk kehidupannya supaya lebih baik. "Shei tidak boleh rewel ya, Nak. Hari ini kita akan mulai berjualan. Do'a kan ibu supaya di hari pertama kita berjualan, laris manis," ucap Nandini pada si kecil Sheinafia. Si mbok tersenyum melihat interaksi keduanya. Padahal Nandini baru beberapa hari melahirkan, tetapi ia di paksa untuk menjadi kuat karena keadaan. "Hari ini mau berjualan apa dulu, Nak?" tanya si mbok. Nandini tersenyum, "Pagi ini kita akan jualan pisang goreng, bakwan jagung, kue lapis, kue
Mbok Sekar segera berlari begitu melihat Sheinafia berada di dalam gendongan pria tampan nan gagah itu. Ya meski saat ini usia Xavier sudah menginjak 30 lebih, tetapi yang ada di semakin matang. Wajahnya semakin berwibawa. Wajah mbok Sekar sudah tegang, ia takut jika pria itu mengenali anak yang tengah ia gendong itu. Jika itu sampai terjadi, pelarian Nandini akan berbuah percuma. Dengan nafasnya yang masih terengah-engah, ia meraih gadis kecil yang baru berusia beberapa bulan itu dari gendongan Xavier. "Ya Tuhan, maafkan cucu saya tuan! Barusan saya tak tinggal sebentar masuk ke dalam rumah, eh malah sudah kabur saja. Sekali lagi maafkan cucu saya, Tuan!" Si mbok berusaha berbicara dengan nada tenang. Supaya orang-orang yang ada di hadapannya tidak curiga. Si mbok tahu, bila ayah dari Sheinafia adalah orang penting di negaranya, beruntung Nandini belum kembali dari pasar. "Tidak apa-apa," jawab Xavier datar seperti biasanya. "Terima kasih tuan k
Jeduarr Bak di sambar petir di siang bolong. Abrian tidak percaya dengan apa yang ia katakan. Bahkan ia sempat memegangi kupingnya untuk memastikan apa yang ia dengar. Lantas pria itu menatap Xavier yang tengah fokus menatap jalanan. Tetapi Abrian dapat melihat kegelisahan dalam mata tajam pria itu. Keduanya pun terdiam dengan fokus pada pikiran masing-masing. "Tadi siang, aku bertemu dengan anak kecil itu di sini," ujar Xavier begitu mobil berhenti di depan sebuah lapangan. Xavier memandangi sekeliling. Gelap sebab memang belum ada penerangan. Abrian pun ikut mengedarkan pandangannya, tetapi nihil tidak ada apapun. "Kamu yakin Vier! Di sini tidak ada siapa-siapa, tidak mungkin bukan jika tempat tinggal anak itu di sekitar sini! Atau kau bisa menelepon Mandor pembangunan tempat ini, siapa tahu dia mengetahui perihal anak bayi itu!" usul Abrian. Xavier menoleh, dan tersenyum dengan ide sahabatnya itu. "Boleh juga usulmu, aku akan menelepon Man
Xavier menemukan kemejanya yang dulu hilang. Ia pikir jika kemeja itu memang menghilang, sebab ia sudah mencarinya kemana pun tidak ketemu. Dan saat ini, ia sudah mengetahui jika istrinya lah yang menjadi tersangka pencurian kemeja itu. Xavier terkekeh menyadari kebodohannya. Menyuruh seluruh maid di rumahnya untuk mencari kemeja kesayangannya itu. Bahkan Jordhan pun sampai turun tangan, Xavier memeluk hangat kemeja itu yang sudah bercampur dengan wangi dari tubuh Nandini. "Ya Tuhan, mengapa aku tidak menyadari bila ternyata, istriku sendiri yang membawanya. Mungkin kemeja ini yang menjadi penawar rasa rindu Nandini dan bayiku," ucapnya narsis. Abrian menatap Xavier di pintu yang terbuka sedikit. Ia terpaku melihat Xavier yang tengah memeluk kemeja berwarna putih. "Bagaimana Bri?" tanya Xavier begitu ia sadar jika Abrian tengah berdiri di dekat pintu. Abrian menggeleng,"Nihil Vier, sepertinya memang kita belum di takdirkan untuk bertemu dengan Nand
Setelah mendapatkan apa yang ia cari, meskipun bukan sang istri dan sang putri yang ia dapatkan. Setidaknya apa yang ia miliki saat ini, bisa membuatnya melepaskan rasa rindu pada keduanya. Ya Xavier sudah mempunyai obat penawar bagi keresahan dan rasa gelisahnya. Di dalam mobil, senyum terus terlukis di bibir sexy itu. Abrian pun ikut senang, setidaknya ia mengetahui keadaan adik dan keponakannya dalam keadaan baik-baik saja. Tidak kekurangan apapun. "Pencarian kita apa masih akan lanjut Vier?" tanya Abrian serius. Xavier diam. Tidak langsung menjawab ucapan sahabatnya itu. Pencarian, negara tempat ia tinggal begitu luas, bukan hal susah untuknya menemukan keberadaan seseorang, tetapi sekali lagi pencariannya selalu saja gagal, alam dan takdir seolah tidak mendukung pertemuan mereka. "Lanjutkan saja! Meskipun hasilnya saat ini masih nihil, tetapi aku yakin suatu saat nanti, entah kapan Tuhan akan mempertemukanku kembali bersama mereka, ketika takdir dan
Pagi menyapa, suara kicau burung begitu indah terdengar di telinga. Embun pagi yang masih memeluk dedaunan. Menciptakan suasana sejuk nan asri. Nandini yang sudah terbangun sejak dini hari tadi. Kini tampak menatap hamparan sawah yang berada tepat di pinggir rumah milik neneknya Melati. Rumah sederhana yang di huni oleh dua orang yaitu nenek dan cucunya. "Di sini indah sekali, mbok Sekar pintar sekali mencari tempat untuk bersembunyi," lirih Nandini sedikit terkikik geli. Si kecil Sheinafia masih asyik tertidur dalam hangatnya pelukan selimut tebal miliknya. Sementara itu, si mbok tengah berada di rumah nenlek Melati. Sepertinya ia mendapatkan teman baru, makanya betah diam di sana meski hari masih sangat pagi. "Si mbok, pagi-pagi sudah pergi," lirih Nandini. Lantas si kecil Melati lewat di depan Nandini. Perempuan muda itu menatap heran, mau kemana perginya anak iku sepagi ini. Lalu Nandini memanggilnya. "Mel," teriak Nandini. "Mau ke
Hari demi hari tidak terasa Nandini lalui dengan senang hati. Tidak ada beban dalam hatinya, sebab ia membebaskan semuanya. Rasa sakit hati dan juga rasa tersisihkan, ia berusaha damai dengan itu semua. Baginya, yang lalu biarlah berlalu. Yang harus dia tatap adalah masa depan. Apalagi masa depan sang putri kecil, yang kini berada di tangannya. "Hallo, Sheinafia cantik apa kabar?" tanya Nandini ceria pada putrinya yang baru saja selesai mandi. Gadis kecil itu tampak tersenyum menanggapi ucapan sang ibu. Sheinafia tak pernah lepas senyumannya menatap wajah sang ibu. Cantik mungkin itulah yang ada di dalam pikiran sang putri. "Hari ini, Shei mau makan apa, Nak?" tanya Nandini lembut. "Kit, mam kit," jawab Sheinafia khas seorang anak kecil. Nandini terkekeh mendengar ucapan Sheinafia yang belum jelas itu. Sheinafia sesekali menduselkan wajahnya pada perut Nandini. Sedangkan Nandini tengah mengikat rambut panjang berwarna coklat terang. B
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia