“Tolong minta bill tagihan yang meja 20 itu?” pintaku pada waitrees.Gusti Allah paringi kulo kewarasan. Habis kena tipu karyawan sendiri. Terus traktir tiga orang yang datang malah satu batalyon. Aku cek saldo, mengsad sekali. Bisa, sih, minta sama Papa, tapi kapan aku mandirinya kalau disokong terus? “Chef, yang meja 20 orang itu udah dibayar, terus yang lain pada bayar sendiri-sendiri, gitu katanya.” Aku jadi nggak enak hati dibuatnya. Tapi aku udah nggak sanggup lagi buat ke meja. “Layani tamu dengan baik, jangan lupa kasih acar dan terserah, deh, pokoknya ngggak ada lagi review buruk atas restaurant kita.” Aku masuk ke ruanganku. Di sana aku menutup mata, menaikkan kaki ke meja dan turu bentarlah. Ngantuk, mager, capek, semua rasa berbaur menjadi satu. Kali ini biarlah restaurant diurus karyawan. Bener kata Papa, aku butuh refreshing sejenak. Tapi ke mana, ya? Habis lebaran bagusnya. Soalnya pas ramadhan dua tahun dan setahun lalu, resto selalu ramai sama warga dari timur t
“Resto tutup dua jam lebih cepat, ya, saya ada tamu spesial hari ini,” ucapku pada pelayan melalui alat komunikasi. Dan ternyata ingatan mereka jauh lebih baik daripada aku. Resto udah hampir ditutup. Ke mana aja aku dari tadi? Kayaknya beneran aku butuh refreshing bentar. Ke LN lagi gitu? Aku mandi di kamar mandi yang tersedia di ruangan setelah dikunci rapat. Pakaian sudah aku bawa ke dalam tas. Rangkaian skin care aku pakai nggak lupa make up tipis-tipis. Namanya reuni itu sedikit banyaknya ya pasti ada pamernya. Tapi dari semua hal aku penasaran banget sama Bang Ale. Kenapa juga dia nggak mau to the point siapa dirinya. Ada tiga dress yang aku bawa. Coba sana sini dan nggak ada yang cocok sama jilbab. Nggak mungkin minta Dian antar dress lagi ke sini. “Chef, temen-temennya mulai datang itu.” Terdengar suara pelayan usai ketukan di pintu. “Iya, bentar lagi saya siap,” jawabku sambil memakai jarum pentul. Akhirnya aku pakai baju koki aja, biarin deh, kelihatan habis kerja ker
“Ya kalau kamu nggak percaya dia itu le minerale, terus kemana temen kamu yang namanya Ale Armania itu, Qis?” Bu Zahra membuatku diam membisu. Sesekali aku lirik Bang Ale yang naikin alis ke arahku. Terus aku malu ketahuan liatin dia, terus jantungku jadi deg degan, terus aja gitu sampai makanan timur tengah dicampurin rawit setan. Nggak akan pernah kejadian. “Ya udah aku percaya. Sory, ya, le minerale, eh Bang Ale. Aku nggak kenal sama kamu, soalnya beda banget waktu SD sama udah jadi bapak orang gini.” “Enak aja, Qis, aku belum jadi bapak orang. Aku masih jadi jomlo kesepian?” “Terus kamu pikir aku percaya gitu?” Mana ada ceritanya abdi negara nggak ada cewek. Begh, yang ada di tempat dinas sini lain di tempat dinas sana lain juga. Lain daerah lain pacarnya. “Makaaan!” teriak temanku yang sudah lama dihadapkan pada hidangan. Aku mempersilakan semua menikmati hidangan yang aku buat. Aku cicip juga dikit-dikit. Beberapa dari mereka mengunyah sambil mendalami ekspresi. “Kalau di
Nggak salah denger aku, kan? Pemenangnya si le minerale? Nasi goreng sederhana pelit toping itu? “Ibu, salah nggak? Bu, yang ini punya Iqis.” Aku sampai menyodorkan nasgor milikku lagi pada dua wali kelas. “Nggak, kami nggak salah, kok, Nak Iqis. Yang lebih enak yang ini,” tunjuknya pada piring Bang Ale. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum penuh makna. Nggak, nggak, nggak bener sama sekali ini. “Ibu, coba cicipin sekaliii lagi aja.” Bisa jadi salah sebut, kan, ya? Diturutinlah permintaanku, sesendok dicicip dan keputusan masih sama. Oh, tidak bisa dibiarkan. Bisa gempar jagad dunia masak kalau sampai aku kalah dari seorang yang amatir begini. “Buk, tolong, Buk, Ibuk lihat wajah Iqis sekaliiii lagi aja. Saya yang lomba sampai ke luar negeri. Yang jadi chef itu saya, yang kerja di dapur itu tiap hari itu saya. Yang juara satu itu saya, yang jadi juri lomba masak anak-anak juga saya. Tolong, Buk, tolooong,” pintaku sambil memohon. Dua ibu wali kelas memandang wajahku sekali, lag
Walau tampilannya sederhana gini, kok, bisa enak, ya? Eh, berarti aku ngaku kalah, donk? Nggak bisa gitu. Aku harus panggil papa sebagai juri yang adil. Sepuluh menit kemudian. Dengan wajah ngantuk dan mulut menguap, Papa dan Mama duduk di meja yang berisikan dua nasi goreng. Aku sengaja nggak kasih tahu mana buatanku mana buatan le mineral. Penjurian dimulai. “Enakan ini, deh.” Mama jelas mengenali masakan anaknya. “Lebih mewah ini, tapi soal rasa ini punya ciri khas.” Kaaan, si papa nunjuk piringnya Ale. Pupus sudah harapanku. “Ada apa, ada apa?” Dian ikutan bangun. Kalau udah lihat makanan hidungnya pasti bisa mengendus walau disembunyikan di kolong jembatan. Nggak perlu basa-basi, Dian langsung ambil sendok dan nyicipin. “Ini pasti buatan anak magang,” tunjuknya di piringku, “enakan yang ini.” Udahlah. Pemenangnya mau gimanapun tetap dia. “Ini buatan Iqis, ini buatan temen yang nganterin pulang waktu itu.” Akhirnya aku jujur pada semuanya. “Kok, bisa?” tanya Mama. “Nggak
Mataku terbuka perlahan. Aku langsung dihadapkan sama pemandangan di luar jendela, hutan kiri kanan. Huuuh, pasti ada hantunya. Terus aku lihat jam tangan. Ya ampun aku tidur apa mati, ya, udah enam jam aja terlelap. Eh, bentaaar. Tunggu dulu, kok bisa? Bukannya menurut petunjuk empat jam juga bakalan sampai. Jadi aku kebablasan tidur? Refleks aku berdiri dan melihat ke dalam bus, kok banyak banget lakik di sini. Perasaan pas aku beli tiket, bis nggak penuh deh makanya aku ambil tujuan ke desa yang aku mau. “Hai, Mbak, udah bangun,” sapa seseorang yang tidak aku kenal. Aku berjalan ke arah supir. Perasaanku nggak enak banget. Aku tanyakan sama yang megang kendali, dan ternyata … “Hah, jadi, jadi, jadi saya salah masuk bus?” tunjukku pada diri sendiri? Kok, bisa wei. Wuahahaha, pengen turun. “Turunin saya sekarang?” pintaku memaksa. “Mana bisa, Qis, ini di tengah hutan. Mau kena tangkap wong samar? Tangannya panjang sampai ke bawah lutut, terus lekuk di atas bibir itu nggak ad
POV Ale Sejak SD aku memang sering berantem sama dia. Terus tamat dan misah jalani hidup sesuai keputusan orang tua masing-masing. Aku yang dipilihkan SMP deket rumah pun menjalani serangkaian perawatan yang dipercaya oleh mamaku. Soal gigi memang dulu berantakan banget. Dan beberapa tahun menggunakan kawat akhirya wajahku jadi enak dipandang, alias handsome dikit. Sejak SMP aku nggak ada kabar apa pun soal siru abc, kecuali iklan di bulan puasa yang sliweran terus. Tapi sesekali aku lihat wajahnya yang nongol di TV.“Hebat kamu, ya, jadi apa yang kamu mau,” gumamku ketika Iqis dapat juara lagi setelah SD juga pernah. Aku jadi minder kalau ketemu dia. Kemudian kedua orang tuaku memintaku melatih fisik. Katanya daripada aku ngelamun. Memasuki SMA, takdir mempertemukan kami berdua lagi. Iqis satu SMA denganku. Jilbab putih yang dia kenakan berkibar dan terbang terbawa angin sambi dia memandangku. “Hai,” sapaku sama dia. Tapi nggak jumpa beberapa tahun sama dia, banyak banget per
Bus berhenti di desa yang tak seharusnya aku kunjungi. Terpaksa aku ikut turun daripada ditinggal sama orang asing nggak dikenal. Heh, Bang Ale satu SMA sama aku, tapi nggak ada satu pun ingatan bahwa kami pernah ketemu. Sekaku itu aku jadi orang. Emang, sih, temen-temenku bilang aku kurang menikmati masa muda. Tahunya belajar sama masak doank. Dibilang udah kayak ibu-ibu. Aminin aja, belum tahu aja enaknya jadi ibu-ibu yang mandiri finansial. “Kamu kuat jalan kaki, kan, Qis?” tanya Bang Ale. “Kuat, tenang aja, aku udah biasa jalan ke pasar cari bahan.” Kemudian aku pun mengikuti rombongan cogan abdi negara yang kerap dipasangkan sama nakes. Kalau foto studio yang satu pakai baju dinas sesuai cabang yang satu baju putih sambil pegang teleskop. Bang Ale dan teman-temannya liburan simpel banget. Bawa tas ransel sebijik doank. Apa muat semua baju di dalamnya? Pemandangan di desa ini masih sangat asri. Tapi uppps, kenapa ada eek sapi dan kambing di sepanjang jalan. Adoheei gimana ko