Setelah satu jam berlalu, Damian menaiki tangga menuju lantai atas, langkahnya mantap menuju kamar Laurent. Begitu membuka pintu, tubuhnya menegang. Jendela besar terbuka lebar, membiarkan angin malam masuk dan menerbangkan tirai tipis yang berkibar liar. Aroma laut menyusup masuk, dingin dan tajam.Matanya langsung menatap ke bawah jendela. Kosong. Tak ada siapa pun. Tapi jejak tali yang terjuntai dari atas hingga menyentuh tanah cukup memberi tahu segalanya."Dia benar-benar tak takut mati," gumam Damian, suara serak di antara helaan napas tertahan.Ia mengeluarkan ponselnya dengan cepat, wajahnya gelap."Segera cari wanita itu di sekitar pulau. Sisir seluruh area, sekarang!" perintahnya tajam pada sang asisten sebelum menutup telepon dengan geram.**Sementara itu, di bawah cahaya bulan yang pucat, Laurent berlari tanpa alas kaki di antara semak dan pasir. Napasnya terengah, rambutnya kusut tertiup angin laut, dan tubuhnya bergetar oleh udara malam yang menusuk kulit.Langit malam
Laurent membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan napasnya terasa berat seperti ada beban menekan dadanya. Rasa sesak itu membuatnya menggeliat lemah, tubuhnya kaku dan dingin. Namun yang pertama kali ia sadari—ia tidak lagi berada di kamar vila terkutuk itu. Bukan tempat itu."Dia sudah sadar!" seru salah satu nelayan, suaranya penuh kelegaan dan harapan. Lelaki itu berdiri di tepi ranjang, mengenakan jaket lusuh dan topi anyaman, mengisyaratkan kepada perawat di ruangan kecil dan sederhana itu.Laurent memutar kepalanya pelan, melihat sekeliling. Lampu neon berkelip pelan di langit-langit, aroma antiseptik bercampur dengan bau garam laut yang masih tertinggal di kulitnya. Dia berada di sebuah klinik kecil, entah di mana, tapi jelas bukan di pulau Damian."Selamatkan... saya..." gumamnya nyaris tak terdengar. Bibirnya kering dan pecah-pecah, suaranya patah.Namun tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan. Napasnya terputus, matanya kembali terpejam, dan kesadarannya meng
Ponsel Adrian bergetar di atas meja kayu kerjanya. Sekilas, ia menoleh dengan dahi berkerut, lalu segera meraih perangkat itu dan menekannya ke telinga."Adrian... Ini aku," suara seorang wanita terdengar lemah, namun penuh urgensi di ujung telepon."Elara?!" suara Adrian membuncah dalam keterkejutan, tubuhnya langsung tegak."Aku... aku diculik. Sekarang aku berada di dekat desa nelayan. Cepat ke sini... sebelum anak buah Damian menangkapku," suara Laurent terdengar lirih, napasnya pendek dan terputus-putus."Tunggu aku. Aku akan ke sana sekarang. Kau sembunyi—sebisa mungkin. Jangan keluar sampai aku datang!" ucap Adrian mantap, lalu menutup sambungan dengan tangan bergetar.---Di balik sebuah pohon besar yang tumbuh rimbun di pinggiran desa nelayan, Laurent meringkuk dalam diam. Hawa dingin pagi masih menyengat kulitnya yang lembap, namun ia tak bergerak. Suara jantungnya berdentum keras di telinganya.Adrian akan datang menjemputnya. Ia harus percaya itu.Dari arah jalan setapak,
Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat dari desa nelayan kecil di pesisir selatan. Laut bergulung pelan, sementara aroma garam dan rumput laut masih menggantung di udara. Di kejauhan, derap langkah sepatu kulit membelah keheningan.Damian berjalan cepat di antara rumah-rumah kayu tua, diapit oleh dua anak buahnya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras saat ia menyisir setiap sudut desa dengan pandangan tajam. Penduduk lokal menghindar, menunduk dalam diam.Dan saat itulah matanya menangkap bayangan seorang wanita—berlari dari balik pohon zaitun tua.“Kejar dia,” perintah Damian, suaranya datar, namun menusuk. Dua pria langsung bergerak.Laurent nyaris berhasil menyelinap ke jalan kecil menuju bukit, namun satu langkah terlambat. Tangan kekar menarik lengannya kasar, membuat tubuhnya terhentak.“Lepaskan!” jeritnya, namun sia-sia.Damian berjalan mendekat, menatap wanita itu dengan sorot mata gelap. “Kukira kau lebih pintar dari ini, Laurent.”Ia menarik Laurent menuju pelabuhan pribadi
Tiga Hari KemudianLangit di kota itu diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam itu berhenti di depan markas kepolisian pusat. Sorotan kamera wartawan dari berbagai media sudah menunggu sejak pagi, mengabadikan satu per satu momen yang mereka sebut sebagai “skandal berdarah keluarga Everstone.”Damian Everstone, dalam balutan kemeja putih kusut dan wajah tak bercukur, digiring masuk oleh dua petugas berseragam. Mata tajamnya masih menyimpan kebencian yang membara, namun tubuhnya tak lagi gagah. Di ruang interogasi, ia duduk sendirian. Tangan diborgol. Wajahnya menoleh ke kaca satu arah, tahu betul bahwa ia sedang diamati.Di balik kaca itu, dua polisi berdiskusi pelan. Bukti sudah cukup kuat. Saksi sudah ada. Rekaman kamera vila dan pengakuan Laurent membuat semuanya menjadi terang.Nama Damian Everstone kini tercantum sebagai tersangka utama dalam kasus penculikan dengan kekerasan. Warisan nama keluarga besar itu, yang selama puluhan tahun tak pernah tercoreng, kini tercabik dala
Keesokan Harinya – Rumah Sakit Umum PusatLorong rumah sakit itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk, berpadu dengan suara sepatu para perawat yang berlalu-lalang. Di kamar bernomor 417, tubuh Damian Everstone terbaring dengan infus di kedua tangannya, oksigen terpasang di hidung, dan perban putih membalut kedua pergelangan tangannya—bekas percobaan bunuh diri yang gagal diselamatkan detik terakhir oleh penjaga tahanan.Nyonya Catherine Everstone berdiri di sisi ranjang, mematung dalam mantel bulunya yang masih belum sempat dilepas. Wajahnya nyaris tak berwarna. Tangannya menggenggam tas kulit mahal yang kini terasa begitu asing di pelukannya.Dokter berdiri tak jauh dari sana, membaca grafik detak jantung dengan ekspresi penuh pertimbangan.“Kami memberinya penenang ringan,” ucap dokter itu akhirnya. “Tapi… ada hal lain yang perlu Anda ketahui, Nyonya Everstone.”Wanita itu menoleh perlahan, seolah suaranya jauh sekali.“Hal lain?”Dokter mengangguk. “Tadi pag
Rumah Adrian Vaughn – Malam HariAngin malam meniup lembut tirai tipis yang menggantung di jendela tinggi rumah keluarga Vaughn. Aroma lavender samar tercium dari lilin aromaterapi yang menyala di sudut ruangan. Di dalam ruang baca yang hangat oleh nyala perapian, Laurent Forst duduk dalam diam. Tangannya memegang gelas kristal berisi anggur merah tua, matanya menatap kosong ke arah api yang menari-nari tenang di balik kaca.Pintu diketuk perlahan. Seorang pria berpakaian serba hitam masuk dan membungkuk sopan, lalu berbisik, "Nyonya, kami baru saja menerima kabar. Damian Everstone… telah resmi dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Hillside hari ini."Laurent tidak bereaksi seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menyesap anggurnya seakan sedang menikmati rasa kemenangan yang lama ia nantikan.“Dia menjadi gila…” gumamnya perlahan, suaranya dalam dan datar, seperti bisikan angin malam yang dingin. “Itu balasan yang setimpal. Karena bertahun-tahun lalu... mereka telah membuat ibuku kehi
Lantai 45 — Ruang Rapat DM PropertiesLangit tampak kelabu pagi itu. Awan menggantung berat di langit, seolah tahu hari ini adalah hari yang menentukan arah masa depan dua kerajaan bisnis.Lift terbuka perlahan, dan Laurent Forst melangkah keluar dengan anggun. Sepatunya yang berhak tipis menyentuh marmer putih yang mengilap tanpa suara. Di belakangnya, asistennya—seorang pria muda dengan setelan abu-abu arang dan wajah dingin seperti es Swiss—mengikuti dengan langkah tegap.Laurent mengenakan setelan celana hitam elegan dengan blus sutra krem. Rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting mutiara menggantung lembut di telinganya. Aroma mawar dan cedar samar mengikuti tiap langkahnya.Di ujung lorong kaca, pintu ruang rapat terbuka otomatis. Di dalam, meja panjang berbentuk oval dari kayu eboni mengisi ruangan. Di sisi kanan, para direksi DM Properties telah duduk. Kursi utama—biasanya ditempati oleh Damian Everstone—kini kosong.Laurent berhenti sejenak, menatap kursi kosong itu.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis
Kamar Dante – Tengah MalamSuara isakan kecil terdengar dari balik selimut.Dante terbangun lagi. Tubuhnya berkeringat, meski udara kamar sejuk. Ia melihat ke sekeliling—gelap, sunyi, sepi. Wajah Kyle tak ada. Bonekanya tak ada di pelukan. Tangannya bergetar.Dengan langkah kecil, ia turun dari ranjang dan merangkak ke sudut ruangan. Di sanalah ia duduk, memeluk lutut, bergumam sendiri.“Mama sayang Elea… bukan aku…”Matanya memicing, seolah melihat sesuatu di dalam gelap. Bayangan. Wajah Lauren yang tak menoleh padanya saat sarapan. Ayunan yang mengayun terlalu tinggi. Suara Kyle yang lembut tapi dingin.“Kyle… Kyle… aku takut…”Tiba-tiba pintu terbuka. Kyle masuk pelan, membawa lampu tidur kecil dan selimut cadangan. Ia membeku melihat Dante meringkuk di pojok ruangan, menggigil.“Kamu kenapa?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran yang dibuat-buat.Dante menatapnya, matanya merah.“Aku lihat monster tadi… di sini…” bisiknya. “Dia bilang mama enggak sayang aku…”Kyle tersenyum keci
Lampu malam menyala redup di sudut kamar. Tubuh kecil Dante terbaring lemas di atas ranjang, kulitnya pucat, pipinya memerah karena demam. Selimut bergambar beruang menutupi tubuhnya sampai dagu.Kyle duduk di sisi ranjang, satu tangan mengusap pelan rambut Dante, sementara tangan lainnya memegang sendok kecil berisi obat berwarna bening.“Telan, sayang… biar besok badanmu nggak panas lagi,” ucapnya lembut.Dante menurut. Mulut kecilnya terbuka, menelan cairan yang terasa pahit di lidah.Sesaat kemudian ia berbisik dengan suara serak, “Mama di mana?”Kyle tersenyum, senyum yang manis di bibir… namun matanya kosong. “Mama lagi pergi. Sama Elea.”“Kenapa… Dante nggak diajak?” gumam Dante, matanya mulai berkaca.Kyle memiringkan kepalanya, seolah heran, lalu berkata pelan, “Mungkin karena kamu cuma anak angkat, sayang. Kadang orang lupa…”Dante menoleh pelan. “Tapi Mama bilang Dante anaknya…”Kyle menyentuh pipi Dante dengan lembut, nadanya tetap manis, seakan meninabobokan. “Iya, tent
Suara Dante pecah, terengah dan parau karena terlalu lama menangis. Pipinya basah, suaranya nyaris tak terdengar.Tapi Kyle tidak menjawab. Ia mendengarnya. Sangat jelas.Namun ia memilih untuk berpura-pura seolah tak mendengar apa pun—seolah air mata itu hanya bagian dari permainan anak-anak.“Oh, kamu senang ya?” ucapnya pelan, senyumnya melebar—dingin. “Lihat… kamu bisa terbang. Aku dorong lagi, ya? Lebih tinggi?”Tangan Kyle kembali mencengkeram tali ayunan. Kali ini lebih kuat.Dorongan itu begitu keras, ayunan melambung jauh, dan tubuh kecil Dante terhempas ke udara seolah hendak menyentuh awan kelabu pagi itu.Jeritannya tercekik. Tangannya berusaha mencengkeram tali, tapi tubuhnya lunglai oleh rasa takut.Dari jauh, Miss Anabelle sempat menoleh lagi. Ia menyipitkan mata. Ada yang aneh. Tapi dua anak kecil di sebelahnya mulai menarik-narik ujung cardigan, bertanya soal jadwal kelas hari ini. Ia mengalihkan perhatian.Sesaat saja.Sesaat yang cukup untuk segalanya berubah.BRUKK
Angin malam menyelinap dari celah jendela yang tak tertutup rapat, menyentuh tirai renda berwarna kelabu yang bergoyang perlahan. Di atas ranjang berkanopi, Dante menggeliat gelisah, wajahnya yang masih muda berkeringat, alisnya berkerut dalam mimpi yang mengusik.“Jangan… jangan kejar aku… tolong…”Suara gumaman itu berubah menjadi teriakan panik. Tubuh kecil itu menendang selimut, tangannya meraih-raih udara kosong, seperti berusaha mengusir sesuatu yang tak terlihat.“Anjing itu! Jangan gigit aku! Jangan—”Teriakannya membelah keheningan rumah.Pintu kamar terbuka perlahan.Kyle masuk tanpa suara, hanya cahaya lembut dari lampu lorong yang menyinari siluet rampingnya. Ia berdiri di ambang pintu beberapa detik, mengamati.Dante menggigil. Seprai basah. Bau pesing samar menyatu dengan keringat dan ketakutan yang masih terasa di udara.Kyle melangkah pelan. Suara tumit sepatunya tak terdengar di atas karpet tebal. Tatapannya jatuh pada ranjang yang kini basah di bagian tengah. Senyum
Kantor Pusat DM Properties – Ruang Rapat EksekutifRuang rapat bergaya klasik itu dibalut panel kayu mahoni gelap, jendelanya tinggi menjulang dengan tirai beludru biru kelam, dan lampu gantung kristal menggantung anggun di langit-langit. Udara di dalam ruangan terasa tegang, seolah menanti putusan akhir dari drama bisnis yang sudah berlangsung terlalu lama.Ketukan ritmis tumit sepatu hak tinggi memecah keheningan. Suaranya menggema di sepanjang lantai marmer, mendahului sosok elegan yang melangkah masuk dengan percaya diri.Laurent Forst, CEO SIN Holdings, melangkah dengan aura dingin yang tak terbantahkan. Ia mengenakan setelan celana abu-abu pucat yang disesuaikan sempurna dengan tubuh jenjangnya, serta blazer berpotongan tajam yang memancarkan kekuasaan. Rambut pirangnya disanggul rapi ke atas, meninggalkan leher jenjang yang terbuka bersih, seperti seorang eksekutif kerajaan modern.Di belakangnya, sang asisten pribadi mengikuti langkah cepat itu sambil menenteng map hitam ku