Laurent membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan napasnya terasa berat seperti ada beban menekan dadanya. Rasa sesak itu membuatnya menggeliat lemah, tubuhnya kaku dan dingin. Namun yang pertama kali ia sadari—ia tidak lagi berada di kamar vila terkutuk itu. Bukan tempat itu."Dia sudah sadar!" seru salah satu nelayan, suaranya penuh kelegaan dan harapan. Lelaki itu berdiri di tepi ranjang, mengenakan jaket lusuh dan topi anyaman, mengisyaratkan kepada perawat di ruangan kecil dan sederhana itu.Laurent memutar kepalanya pelan, melihat sekeliling. Lampu neon berkelip pelan di langit-langit, aroma antiseptik bercampur dengan bau garam laut yang masih tertinggal di kulitnya. Dia berada di sebuah klinik kecil, entah di mana, tapi jelas bukan di pulau Damian."Selamatkan... saya..." gumamnya nyaris tak terdengar. Bibirnya kering dan pecah-pecah, suaranya patah.Namun tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan. Napasnya terputus, matanya kembali terpejam, dan kesadarannya meng
Ponsel Adrian bergetar di atas meja kayu kerjanya. Sekilas, ia menoleh dengan dahi berkerut, lalu segera meraih perangkat itu dan menekannya ke telinga."Adrian... Ini aku," suara seorang wanita terdengar lemah, namun penuh urgensi di ujung telepon."Elara?!" suara Adrian membuncah dalam keterkejutan, tubuhnya langsung tegak."Aku... aku diculik. Sekarang aku berada di dekat desa nelayan. Cepat ke sini... sebelum anak buah Damian menangkapku," suara Laurent terdengar lirih, napasnya pendek dan terputus-putus."Tunggu aku. Aku akan ke sana sekarang. Kau sembunyi—sebisa mungkin. Jangan keluar sampai aku datang!" ucap Adrian mantap, lalu menutup sambungan dengan tangan bergetar.---Di balik sebuah pohon besar yang tumbuh rimbun di pinggiran desa nelayan, Laurent meringkuk dalam diam. Hawa dingin pagi masih menyengat kulitnya yang lembap, namun ia tak bergerak. Suara jantungnya berdentum keras di telinganya.Adrian akan datang menjemputnya. Ia harus percaya itu.Dari arah jalan setapak,
Kabut pagi belum sepenuhnya terangkat dari desa nelayan kecil di pesisir selatan. Laut bergulung pelan, sementara aroma garam dan rumput laut masih menggantung di udara. Di kejauhan, derap langkah sepatu kulit membelah keheningan.Damian berjalan cepat di antara rumah-rumah kayu tua, diapit oleh dua anak buahnya. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras saat ia menyisir setiap sudut desa dengan pandangan tajam. Penduduk lokal menghindar, menunduk dalam diam.Dan saat itulah matanya menangkap bayangan seorang wanita—berlari dari balik pohon zaitun tua.“Kejar dia,” perintah Damian, suaranya datar, namun menusuk. Dua pria langsung bergerak.Laurent nyaris berhasil menyelinap ke jalan kecil menuju bukit, namun satu langkah terlambat. Tangan kekar menarik lengannya kasar, membuat tubuhnya terhentak.“Lepaskan!” jeritnya, namun sia-sia.Damian berjalan mendekat, menatap wanita itu dengan sorot mata gelap. “Kukira kau lebih pintar dari ini, Laurent.”Ia menarik Laurent menuju pelabuhan pribadi
Tiga Hari KemudianLangit di kota itu diselimuti awan kelabu ketika mobil hitam itu berhenti di depan markas kepolisian pusat. Sorotan kamera wartawan dari berbagai media sudah menunggu sejak pagi, mengabadikan satu per satu momen yang mereka sebut sebagai “skandal berdarah keluarga Everstone.”Damian Everstone, dalam balutan kemeja putih kusut dan wajah tak bercukur, digiring masuk oleh dua petugas berseragam. Mata tajamnya masih menyimpan kebencian yang membara, namun tubuhnya tak lagi gagah. Di ruang interogasi, ia duduk sendirian. Tangan diborgol. Wajahnya menoleh ke kaca satu arah, tahu betul bahwa ia sedang diamati.Di balik kaca itu, dua polisi berdiskusi pelan. Bukti sudah cukup kuat. Saksi sudah ada. Rekaman kamera vila dan pengakuan Laurent membuat semuanya menjadi terang.Nama Damian Everstone kini tercantum sebagai tersangka utama dalam kasus penculikan dengan kekerasan. Warisan nama keluarga besar itu, yang selama puluhan tahun tak pernah tercoreng, kini tercabik dala
Keesokan Harinya – Rumah Sakit Umum PusatLorong rumah sakit itu terasa lebih dingin dari biasanya. Bau antiseptik menusuk, berpadu dengan suara sepatu para perawat yang berlalu-lalang. Di kamar bernomor 417, tubuh Damian Everstone terbaring dengan infus di kedua tangannya, oksigen terpasang di hidung, dan perban putih membalut kedua pergelangan tangannya—bekas percobaan bunuh diri yang gagal diselamatkan detik terakhir oleh penjaga tahanan.Nyonya Catherine Everstone berdiri di sisi ranjang, mematung dalam mantel bulunya yang masih belum sempat dilepas. Wajahnya nyaris tak berwarna. Tangannya menggenggam tas kulit mahal yang kini terasa begitu asing di pelukannya.Dokter berdiri tak jauh dari sana, membaca grafik detak jantung dengan ekspresi penuh pertimbangan.“Kami memberinya penenang ringan,” ucap dokter itu akhirnya. “Tapi… ada hal lain yang perlu Anda ketahui, Nyonya Everstone.”Wanita itu menoleh perlahan, seolah suaranya jauh sekali.“Hal lain?”Dokter mengangguk. “Tadi pag
Rumah Adrian Vaughn – Malam HariAngin malam meniup lembut tirai tipis yang menggantung di jendela tinggi rumah keluarga Vaughn. Aroma lavender samar tercium dari lilin aromaterapi yang menyala di sudut ruangan. Di dalam ruang baca yang hangat oleh nyala perapian, Laurent Forst duduk dalam diam. Tangannya memegang gelas kristal berisi anggur merah tua, matanya menatap kosong ke arah api yang menari-nari tenang di balik kaca.Pintu diketuk perlahan. Seorang pria berpakaian serba hitam masuk dan membungkuk sopan, lalu berbisik, "Nyonya, kami baru saja menerima kabar. Damian Everstone… telah resmi dipindahkan ke Rumah Sakit Jiwa Hillside hari ini."Laurent tidak bereaksi seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu menyesap anggurnya seakan sedang menikmati rasa kemenangan yang lama ia nantikan.“Dia menjadi gila…” gumamnya perlahan, suaranya dalam dan datar, seperti bisikan angin malam yang dingin. “Itu balasan yang setimpal. Karena bertahun-tahun lalu... mereka telah membuat ibuku kehi
Lantai 45 — Ruang Rapat DM PropertiesLangit tampak kelabu pagi itu. Awan menggantung berat di langit, seolah tahu hari ini adalah hari yang menentukan arah masa depan dua kerajaan bisnis.Lift terbuka perlahan, dan Laurent Forst melangkah keluar dengan anggun. Sepatunya yang berhak tipis menyentuh marmer putih yang mengilap tanpa suara. Di belakangnya, asistennya—seorang pria muda dengan setelan abu-abu arang dan wajah dingin seperti es Swiss—mengikuti dengan langkah tegap.Laurent mengenakan setelan celana hitam elegan dengan blus sutra krem. Rambutnya disanggul rapi, dan sepasang anting mutiara menggantung lembut di telinganya. Aroma mawar dan cedar samar mengikuti tiap langkahnya.Di ujung lorong kaca, pintu ruang rapat terbuka otomatis. Di dalam, meja panjang berbentuk oval dari kayu eboni mengisi ruangan. Di sisi kanan, para direksi DM Properties telah duduk. Kursi utama—biasanya ditempati oleh Damian Everstone—kini kosong.Laurent berhenti sejenak, menatap kursi kosong itu.
Everstone Mansion — Kamar Pribadi Nyonya EverstoneHujan mulai turun perlahan, membasahi jendela kaca setinggi langit-langit di rumah megah yang berdiri angkuh di kawasan elit. Udara malam merembes masuk melalui celah tirai beludru anggur yang ditarik separuh, menebarkan hawa lembap dan dingin yang menempel di marmer lantai dan perabot tua penuh sejarah.Di dalam kamar tidur yang luas dan elegan itu, waktu seolah berhenti. Lampu gantung kristal menggantung bisu di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya lembut yang temaram. Aroma samar kayu tua dan mawar kering menyelubungi udara.Nyonya Everstone berdiri diam di depan meja rias antik bergaya Eropa, kedua matanya menatap bayangan dirinya sendiri di cermin besar yang telah menyimpan ribuan rahasia. Rambut peraknya disanggul rapi, tanpa satu helaian pun keluar dari tempatnya, tapi wajahnya... Wajah itu menyiratkan badai yang mengamuk diam-diam. Raut matanya tajam, penuh perhitungan, namun tak bisa menyembunyikan ketegangan yang me
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis