Bab 28
"Emh, kita tidak bisa bicara di telepon. Aku akan datang ke rumah Mbak besok," ucapnya tanpa rasa malu."Baiklah, terserah apa maumu," balasku sambil menutup panggilan telepon."Apa yang ingin dibicarakan oleh Dewi?"Mas Frans bertanya setelah aku mengembalikan ponsel miliknya. Aku pun menceritakan permintaan wanita itu tentang kesepakatan, tanpa dilebih-lebihkan atau dikurangi. Setidaknya kakaknya harus tahu apa yang diinginkan oleh adiknya yang tidak tahu terima kasih itu.Mas Frans berdecak kesal sebelum menjawab."Apa yang diinginkan Dewi sebenarnya?" gumamnya sambil membuang nafas berat."Aku tak tahu, Mas. Tapi kupikir ini ada hubungannya dengan biaya kontrol yang kita hentikan. Atau bisa jadi dia akan membujukku tentang masalah keuangan Ibu. Siapa yang tahu.""Cahya, Frans, ayo makan siang. Semuanya udah siap. Ajak anak-anak juga."Cepat aku beranjak saat Yanti memanggil dari arahBab 29Sebagai ibu rumah tangga, kegiatanku sehari-hari direpotkan dengan mengurus anak. Terutama Ridho yang butuh perhatian khusus. Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengasuhnya sendiri. Rasanya masih terlalu dini mempercayakan anakku pada orang lain. Beruntung bayi kecil itu begitu kuat dan bisa bertahan, hingga aku bersyukur berkali-kali masih diberikan titipan.Setelah masalah datang bertubi-tubi, kami memutuskan untuk berlibur ke kota Bandung. Di sana ada ayahku yang tinggal bersama dengan kakak perempuanku. Semua masalah yang terjadi dalam hidupku, tidak secuil pun kuceritakan pada mereka.Biarlah kami memendamnya sendiri, toh sekarang semuanya sudah berakhir juga. Beruntung pernikahanku dengan Mas Frans terselamatkan akhirnya. Kami kembali harmonis dan aku bisa kembali memaksimalkan tugasku sebagai seorang istri dan ibu.Pria itu tak pernah lagi mengeluh tentang kurangnya belaian. Sebisa mungkin aku mencukupi semua kebutuhan lahir dan batinnya, tanpa terkecuali. Diapun sudah
Bab 30"Cantiknya …! Ya ampun, kenapa nggak dari dulu aja kamu menikah sama Arfan. Aku 'kan nggak harus nunggu lama-lama buat lihat kamu dandan.""Apaan sih? Males banget."Yanti tampak malu-malu saat kugoda. Gadis yang sedikit tomboy itu pagi ini terlihat cantik dengan kebaya berwarna hijau tosca, lengkap dengan sanggul kecil berhiaskan tiara di atas kepalanya."Aku jamin Arfan pasti klepek-klepek lihat penampilanmu hari ini.""Udah deh, jangan muji terus, Cahya. Malu tahu. Udah sana pergi temani suamimu," usirnya dengan wajah memerah.Yanti memang terkenal datar dan jarang sekali berhias. Sekalinya diolesi dengan make up tipis, begitu banyak perubahan pada wajahnya yang cantik alami. "Gimana dia, cantik nggak?"Arfan langsung bertanya. Bisa-bisanya pria itu menanyakan hal seperti ini disaat orang-orang tegang menunggu Yanti keluar."Ok banget!"Aku mengisyaratkan membentuk huruf O. Kulihat Arfan harap-harap cemas menunggu. Tak jauh dari Arfan, tampak Abbas berdiri sambil membawa bi
Bab 31"Kalaupun suka juga nggak apa-apa, nanti Mbak dan Arfan bantuin deketin, kali aja kalian jodoh," sahutku membuat gadis itu terkejut namun tak menyanggah. Astina sudah cukup umur untuk berumah tangga, pun dengan Abbas. Aku yakin dia adalah pria yang baik, hanya saja jodohnya yang salah hingga mendapatkan Sintia yang tidak memiliki hati dan nurani."Stop dulu ngobrolnya. Katanya kamu mau pergi ke kantor Frans. Udah sana, anterin makanan kesukaannya. Nih, udah aku siapin." Yanti keluar dari dapur dengan apron yang dikenakannya. Dari pagi gadis itu belajar memasak ditemani oleh Mbak Iyah—asistennya. Padahal setahuku seumur-umur Yanti tidak pernah memotong yang namanya bawang sekalipun. Tapi benar-benar pesona Arfan membuatnya berubah. Waktu di rumahku juga, tumben-tumbenan dia ikut nyiapin makan siang. Lihat saja setahun pernikahan mereka, aku yakin dia akan menjadi ibu rumah tangga yang pandai memasak. "Ya udah, tapi Ridh
Bab 32Entah sudah seperti apa perasaanku saat ini, yang jelas kakiku seperti tidak menapak di bumi. Aku ingin sekali memastikan dan segera bertemu dengan Mas Frans.Dia pasti baik-baik saja, iya aku yakin itu.Ya Tuhan, semoga aku tengah bermimpi buruk. Bangunkan aku secepatnya, aku tidak ingin berada dalam situasi ini."Kamu harus tetap sadar dan waras, Cahya. Jangan buang waktu, ayo kita ke rumah sakit untuk memastikan."Yanti menarik tanganku yang hampir limbung ke lantai. Astina sendiri mengambil alih Ridho dan anak-anak. Dia berjanji akan menjaga mereka.Arfan dan Abbas ikut datang setelah diberitahu. Keduanya membatalkan pekerjaan untuk mengurus persiapan pernikahan. Ibu mertua dan kedua adik suamiku sudah berada di rumah sakit. Arfan juga yang menghubunginya.Harap-harap cemas aku menunggu dokter keluar dari ruangan, yang entah kenapa terasa sangat mengerikan bagiku. Satu detik terlewati seperti berjam-jam lamany
Bab 33Deru suara ambulan terasa mengerikan di telinga. Mobil berwarna putih yang jalannya tidak boleh dihalangi oleh orang lain itu, membawa jenazah suami. Mas Frans tunduk pada pemberi takdir, hingga akhirnya mengharuskannya kembali lebih cepat ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Bahkan dalam mimpi pun aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan Mas Frans secepat ini. Ya Rabbi … sanggupkah aku hidup tanpanya .…Tangisku sudah pergi, isakku sudah berlalu, tinggal kehampaan yang tersisa dalam hati tak bisa kusembuhkan kini.Dia pergi membawa sejuta kenangan dan kebahagiaan, meninggalkan kami orang-orang tersayangnya.Ayat suci mengalun merdu dari setiap para pelayat yang datang. Membekali jenazah suami yang akan pergi ke alam baka. Bukan hanya aku yang lara, Devia dan Devan bahkan tidak henti-hentinya menangis dan meratapi kepergian ayah mereka. Saat kutanya di mana Ridho, Yanti lirih menjawab. Dewi mengasuhnya untuk sementara waktu. ASIku sudah berhenti keluar dan terpaks
Bab 34"Mama, aku ingin pulang ke rumah. Aku kangen sama Kak Devan dan adik Ridho," kata Devia."Kepala Devia masih pusing, atau masih merasa lemas?" Gadis kecil berusia tiga tahun lebih itu menggeleng."Aku baik-baik aja, Ma. Tadinya aku memang merasa sakit, tapi sekarang udah baik-baik aja. Apalagi setelah mimpi bertemu dengan papa," ucapnya polos. Aku memastikan telingaku tidak salah mendengar ucapannya barusan. "Devia beneran mimpiin papa semalam?" Devia mengangguk sambil memindai wajahku."Iya, Ma. Papa terlihat sangat tampan sekali. Kata papa aku dan Kak Devin tidak boleh sedih-sedih agar bisa menjaga adik dan Mama. Papa juga berpesan kalau aku tidak boleh ngerepotin Mama dan membuat Mama susah," lanjutnya dengan ucapan gaya khas anak kecil."Apa bener Papa bicara seperti itu, Devia?" tanyaku untuk kedua kalinya. Tangisku sudah menganak sungai. Tak menduga jika priaku akan masuk ke dalam mimpi putri keduanya."Iya, Ma. Makanya mulai sekarang Devia mau jadi anak baik, agar Mam
Bab 35"Tega-teganya Ibu memikirkan tentang harta Mas Frans, sementara tanah kuburannya saja masih basah," ucapku sedih."Itu karena kamu bersikukuh terus menanyakan Ridho. Padahal sudah dibilangin kalau anak itu nggak ada di sini. Dia dibawa Dewi ke Tangerang. Jadi, ngapain kamu masih nanya-nanya juga. Udah, sana pulang. Nanti kalau dia datang, kami akan langsung antar Ridho ke rumahmu," usirnya sambil mengibaskan tangan. Dari arah belakang Yanti memburu masuk, kemudian mendorong ibu dan menaiki tangga dengan cepat. Sontak Andika dan Ibu gelagapan mengikuti kemana gadis yang besok akan menikahi itu pergi. Tak lama kemudian, tangis bayiku terdengar kencang. Yanti kembali dengan Ridho dalam pelukannya."Ya Tuhan, tega-teganya kalian menyembunyikan Ridho," ucapku kesal."Itu karena—""Kenapa kalian menyembunyikan seorang anak batita dari ibunya sendiri?! Ck, kalian benar-benar tidak tahu malu," potong Yanti dengan nada dingin. Tidak me
Bab 36Pasca kepergian Yanti, aku menyibukkan diri dengan mengobrol bersama anak-anak. Devia lebih ceria setelah makan, minum obat dan mengobrol dengan kakaknya, yang menasehatinya agar jadi gadis kecil yang kuat.Keduanya bercengkrama sambil menonton kartun di televisi. Ridho sudah aku tidurkan di kamar. Sekarang giliranku bicara dengan ayah. "Ayah kira semalam kamu hanya main-main saja meminta kami tinggal di sini. Tapi ternyata itu benar, toh?" Ayah bersuara. Separuh badannya terkena stroke, tapi bibirnya masih bisa bersuara dengan normal."Iya, Yah. Selain menghindari fitnah karena aku sudah menyandang gelar berbeda sekarang, aku juga ingin lebih dekat dengan kalian. Terutama untuk anak-anakku. Mereka pasti lebih ceria dan tidak terlalu mengingat kepergian papanya," ujarku berharap Kak Anisa dan Ayah mengerti."Sebenarnya Ayah sedikit keberatan karena lebih suka tinggal di Bandung, suasana disana lebih hangat dan kekel