Bab 35"Tega-teganya Ibu memikirkan tentang harta Mas Frans, sementara tanah kuburannya saja masih basah," ucapku sedih."Itu karena kamu bersikukuh terus menanyakan Ridho. Padahal sudah dibilangin kalau anak itu nggak ada di sini. Dia dibawa Dewi ke Tangerang. Jadi, ngapain kamu masih nanya-nanya juga. Udah, sana pulang. Nanti kalau dia datang, kami akan langsung antar Ridho ke rumahmu," usirnya sambil mengibaskan tangan. Dari arah belakang Yanti memburu masuk, kemudian mendorong ibu dan menaiki tangga dengan cepat. Sontak Andika dan Ibu gelagapan mengikuti kemana gadis yang besok akan menikahi itu pergi. Tak lama kemudian, tangis bayiku terdengar kencang. Yanti kembali dengan Ridho dalam pelukannya."Ya Tuhan, tega-teganya kalian menyembunyikan Ridho," ucapku kesal."Itu karena—""Kenapa kalian menyembunyikan seorang anak batita dari ibunya sendiri?! Ck, kalian benar-benar tidak tahu malu," potong Yanti dengan nada dingin. Tidak me
Bab 36Pasca kepergian Yanti, aku menyibukkan diri dengan mengobrol bersama anak-anak. Devia lebih ceria setelah makan, minum obat dan mengobrol dengan kakaknya, yang menasehatinya agar jadi gadis kecil yang kuat.Keduanya bercengkrama sambil menonton kartun di televisi. Ridho sudah aku tidurkan di kamar. Sekarang giliranku bicara dengan ayah. "Ayah kira semalam kamu hanya main-main saja meminta kami tinggal di sini. Tapi ternyata itu benar, toh?" Ayah bersuara. Separuh badannya terkena stroke, tapi bibirnya masih bisa bersuara dengan normal."Iya, Yah. Selain menghindari fitnah karena aku sudah menyandang gelar berbeda sekarang, aku juga ingin lebih dekat dengan kalian. Terutama untuk anak-anakku. Mereka pasti lebih ceria dan tidak terlalu mengingat kepergian papanya," ujarku berharap Kak Anisa dan Ayah mengerti."Sebenarnya Ayah sedikit keberatan karena lebih suka tinggal di Bandung, suasana disana lebih hangat dan kekel
Bab 37Setelah Abbas pergi kuhampiri Kak Anisa yang terlihat melamun. Kakakku itu berdiri di dapur dengan tatapan kosong. Kuduga otaknya sedang sibuk memikirkan pertemuan dengan Abbas barusan."Kakak kenal dengan pria itu sebelumnya?" tanyaku langsung. Kutarik kursi makan dan duduk di sana. Kak Anisa menoleh dengan senyumnya yang terpaksa."Eh, apa, Ya. Ngagetin aja kamu."Kak Anisa terkejut sambil tersenyum simpul. Dia meraih cangkir minum lalu mengisinya dengan air putih."Aku beneran nanya, lho. Kok Kakak kayak gugup gitu tadi. Atau jangan-jangan dia mantan terindah lagi."Aku terkekeh mencari kebenaran di iris mata teduh milik kak Anisa. Wanita bergamis hitam itu mendesah. Lantas duduk di kursi makan setelah mengambil air putih dan meneguknya pelan."Iya, dia memang cinta pertama Kakak di masa lalu. Kamu ingat nggak sama pria yang selalu nganter jemput Kakak ketika kuliah dulu?" Aku mengangguk."Eumh, bukankah yang itu namanya Baskoro, ya. Dan dia berasal dari keluarga kaya. Tapi
Bab 38Ketika aku berbalik, Yanti dan Astina yang berperan sebagai pagar ayu baru saja keluar dari ruang rias. Ada dua orang kerabatnya juga yang menatap serius ke arahku. Yanti yang penampilannya sudah diubah bak putri raja itu terlihat berkaca-kaca. Kulihat Arfan sudah duduk di kursi akad. Ah, kenapa perasaanku jadi serba salah begini. Kuharap Yanti tak salah paham dan marah pada calon suaminya."Yan, maaf, ya. Terpaksa kamu harus mendengar semuanya." Aku semakin tak enak hati. Seharusnya ini adalah hal yang paling membahagiakan untuk Yanti dan Arfan, dan pria itu tidak perlu berulah dengan mengatakan omong kosong.Gadis yang sebentar lagi akan melepas masa lajang itu menarik sudut bibir, tapi terlihat getir di mataku."Nggak apa-apa, Cahya. Tapi, semuanya akan baik-baik saja, 'kan?"Aku mengangguk dengan cepat. "Tentu saja. Berbahagialah dan anggap kau tidak pernah mendengar hal barusan. Dia hanya berempati sesaat, mungkin takut aku depresi dan gila menghadapi tiga anakku tanpa
Bab 39Di bawah gundukan tanah yang masih merah, almarhum terbujur kaku menghadap Sang Kuasa untuk mempertanggungjawabkan segala tindak-tanduknya ketika di dunia. Aku berdoa semoga Allah mengampuni dosa-dosa Mas Frans dan menempatkannya di tempat terindah di sisiNya bersama dengan umatnya yang sholeh. Sesungguhnya dia adalah pria yang baik.Puas berdoa dan melepas segala keluh kesah, aku membawa anak-anak pergi. Pak sopir masih duduk dibalik kemudi, menunggu dengan setia hingga akhirnya kendaraan kembali membelah jalanan yang siang itu diiringi gerimis kecil.Tak langsung pulang ke rumah, kami melipir ke rumah sakit untuk menengok Pak Ujang. Dia saksi kunci kejadian yang menimpa suami."Kata dokter, bapak masih belum stabil. Kadang dia menangis sendiri memikirkan apa yang dialami oleh Pak Frans."Putra, anak sulung Pak Ujang menjelaskan setelah kami mengobrol di koridor. Aku cukup puas dengan hasilnya. Tak sia-sia mengeluar
Bab 40Setengah jam berkendara aku menghentikan mobil tak jauh dari kafe tempat kami mengadakan pertemuan. Ketika masuk aku mencari kesana kemari, hingga dari arah pojok tampak seorang pria bertopi hitam melambai ke arahku."Kau kenal aku?" tanyaku pada pria yang tampak klimis dengan topi yang menutup sebagian wajahnya.Pria itu membuka topinya kemudian tersenyum simpul. Dari ciri-cirinya dia mirip seperti pria yang sempat berinteraksi denganku sebelumnya. Ah ya, dia pria di kontrakan itu rupanya."Kenapa? Kau heran melihat penampilan baruku? Aku bisa begini karena uang pemberianmu," ungkapnya tanpa diminta."Oh, jadi kau pria itu, syukurlah kau mempergunakan uangku dengan baik, alih-alih membuangnya lewat judi online," balasku mengatakan fakta."Sindiranmu pedas juga," ucapnya sambil terkekeh geli."Sudahlah. Katakan informasi apa yang kau punya. Aku tidak punya banyak waktu, anak-anakku menunggu di rumah.""Kau mem
Bab 41Sampai di rumah, sudah menjadi rutinitasku memasang senyum ceria di depan anak-anak. Aku tidak mau sampai mereka melihat kegelisahan yang kutunjukkan, terlebih setelah ketiadaan Mas Frans mereka menjadi prioritas utamaku."Mama …!" "Mama …!""Jangan lari-lari, nanti kepleset." Devia dan Devan berlari ke arahku. Ditangan sudah ada oleh-oleh untuk mereka. Aku membawa dua lusin donat king kesukaan mereka dan menyimpanya di atas meja."Asik, Mama bawa makan kesukaan aku," ujar Devia dengan gaya cadelnya."Makan donatnya bareng Mbak Titin, ya, Mama mau bicara dengan Tante Anisa."Keduanya menurut, kemudian duduk di depan televisi sambil menikmati makanan kesukaannya. Kak Anisa sendiri tengah membantu Ayah makan di kamar. Kedua tangan Ayah tidak bisa bergerak karena stroke. Ayah juga terpaksa harus duduk di kursi roda karena penyakit yang melumpuhkan sistem syaraf itu. Anehnya di bagian dada ke
Bab 42Mas Frans memang memiliki gaji yang cukup besar beserta dengan tunjangan, karena posisinya yang cukup tinggi di perusahaan. Dia juga sudah bekerja lebih dari 10 tahun lamanya. Jadi wajar jika dia menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sangat banyak, ditambah lagi harta yang ayahku berikan dan aset yang diberikan padaku, kubangun modal usaha, membuat ekonomi kami semakin berkembang setiap bulannya. Hal itu juga yang membuat Ibu dan dua adik Mas Frans kerap kebagian rejeki untuk menunjang seluruh keinginan mereka. Tapi semakin ke sini rasanya mereka hanya memanfaatkan harta suamiku saja, tanpa memiliki empati atau rasa cinta kasih kepada tiga keponakannya yang kini ditinggalkan suamiku.Aku tersenyum melihat postingan Yanti yang sedang bulan madu. Wanita itu tersenyum ceria dengan bikini yang dikenakannya. Rambut yang dicepol dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung, membuatnya terlihat seksi dan keren. Di sampingnya, ada Arfan yang
Egois. Ingin sekali aku meneriakan kata itu di depan wajah Arfan. Tapi semuanya tidak ada gunanya. Arfan benar. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak akan berakhir dengan bahagia. Apalagi jika Arfan melakukan semuanya dengan kepura-puraan, hati Yanti pasti akan jauh lebih sakit kalau dia tidak dicintai sepenuh hati oleh suaminya sendiri.“Makanya, Ya, aku pikir inilah jalan terbaik untuk kami berdua.” Hening setelah perbincangan ini. Arfan pasti sudah memikirkan secara matang-matang. Tapi, meski aku merasa ini tidak adil untuk Yanti, toh mereka berdua sudah memutuskan dan aku berharap Yanti mendapatkan kebahagiaan lain dalam hidupnya. Ya, mungkin dia sengaja pergi untuk melupakan semuanya dan menjalani hidup baru. Aku berharap saat dia kembali nanti, akan ada cahaya cinta di hatinya untuk orang lain yang juga merasakan hal yang sama untuknya.“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah menghancurkan hati sahabatku, hm?”Arfan terkekeh. “Kau sudah tahu apa yang aku inginkan tanpa harus
Kabar tentang hubungan Yanti dan Arfan terhenti begitu saja. Aku terlalu sibuk mengurusi persiapan pernikahan kak Anisa dan Abbas yang akan digelar di kota kembang. Sengaja aku boyong ketiga anakku ke sana, sekalian ingin liburan, juga ingin menenangkan hati dan pikiran. Tentu saja tanpa Pak Bas apalagi Arfan dan Yanti.Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri, tanpa ada campur tanganku. Lagi pula mereka sudah dewasa untuk menentukan pilihan, yang jelas semoga Arfan lebih bijak dalam menyikapi perasaannya pada sahabatku tersebut. Mbak Titin dan Mbak Ros juga Anjas turut serta mendampingiku ke Bandung. Beruntung rumah ayah cukup besar untuk dihuni oleh beberapa orang lagi, hingga tidak perlu berdesakan apalagi berbagi kamar hanya untuk menghabiskan waktu istirahat. Tiap hari aku dan keluarga berkeliling di kota Bandung. Selain mencari hiburan juga menjelajah wisata kuliner sambil hunting beberapa barang untuk keperluan pernikahan. Hingga tiga hari sebelum acara sakral i
Setelah hampir satu jam mengobrol, akhirnya mereka pamit untuk pulang. Aku kembali ke dalam kamar, mengistirahatkan badan yang terasa lelah. Tiga anakku ikut tidur dalam satu kamar, jadinya kami harus berbagai tempat tidur. Untunglah tubuh mereka masih kecil hingga tidak membuat tempat tidur ini sempit karena ukurannya yang cukup besar. Aku hampir memejamkan mata saat mendengar suara ketukan di pintu. Tok tok tok!“Cahya, apa kamu sudah tidur?”‘Yanti?’ Buru-buru ‘ku buka pintu setelah mendengar siapa yang memanggil-manggil namaku. “Ada apa, Yan? Kenapa kamu terlihat cemas sekali?” Kuajak wanita itu masuk ke dalam kamar. Yanti menggeleng segera, “Sejak tadi Arfan belum pulang, Ya. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” jawabnya cemas. ‘Kulirik jam yang bertengger di tembok. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. “Ke mana kira-kira suamimu pergi? Apa ada masalah sebelumnya hingga dia pergi begitu saja?”“Entahlah, aku juga tidak tahu. Dia pergi setelah kedatangan orang tua Pak Bas
“Maksudnya, liburan ke mana, ya, Pak?” Aku terus mengekor di belakang Pak Bas ketika pria itu menyapa anak-anak. Pria yang masih mengabaikanku itu hanya menjawab dengan senyuman, tanpa ada niat untuk bersuara. Anak-anak langsung antusias masuk ke dalam mobil dan memintaku untuk masuk juga dengan gerakan kepalanya. “Udah, masuk aja sana, kita butuh refreshing setelah kamu menghadapi hari-hari yang buruk juga menghadapi kasus tentang suamimu. Kebetulan Ayah juga sudah bosan tinggal di rumah terus dan ingin menghirup udara segar,” timpal Ayah seolah-olah keduanya sudah merencanakannya.Aku tak bersuara dan memilih masuk ke dalam mobil, lalu duduk di samping pria itu. Kendaraan pun meluncur ke arah puncak. Iring-iringan dua kendaraan langsung berhenti di salah satu tempat yang kuduga adalah villa yang entah milik siapa. Sepanjang perjalanan tadi, bahkan kami tidak saling bicara, aku juga tidak ada niat untuk bertanya macam-macam pada pria yang terlihat bahagia, dengan sesekali menimpal
Arfan tampak salah tingkah ketika aku meninggalkan mereka berdua. Bisa dilihat dari auranya, kalau Yanti yang tidak ikhlas dan masih ragu dengan kesungguhan suaminya. Padahal mati-matian sudah kukatakan kalau aku tidak berharap atau memberi harapan apapun pada pria itu. Bahkan ketika aku berjalan ke parkiran dan menunggu taksi, di balik kaca kelihatan keduanya sedang bertengkar. Berulang kali Yanti menunjuk-nunjuk wajah Arfan. Melihatnya keduanya yang emosi, aku hanya bisa mendesah. Mereka bahkan bukan anak kecil yang harus mempermasalahkan kehadiranku diantara hubungan mereka. Haruskah aku menerima perasaan Pak Bas saja, agar Yanti dan Arfan lebih tenang?Kembali ke rumah, aku dikejutkan dengan suara gedoran dari pintu yang tertutup rapat. Telingaku awas mendengar suara seseorang yang berteriak di luar sana. “Buka, Cahya! Buka! Aku tahu kamu ada di dalam!” Mbak Ros memburu ke arah pintu setelah aku mengiyakan. Di sana, Dewi dan Fida langsung melotot sambil memburu masuk ke dala
“Kalau kau bener-bener mengetahui apa yang terjadi dengan suamiku alias iparmu, kenapa kau tidak bicara langsung setelah kecelakaan itu?” Aku bertanya dengan tegas pada Andika, tak peduli seandainya Dewi akan marah kalau aku bicara dengan suaminya malam- malam begini.Andika tidak langsung menyahut. Kuat dugaan dia hanya asal bicara dan menginginkan sesuatu dariku. Uang, ya, dalam otak mereka hanya itu yang penting. Apalagi aku tahu bagaimana Andika selama ini. Pria pemalas itu akan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan uang. “Tenanglah, Cahya. Aku memang sedikit salah. Awalnya aku tidak mau memberitahukan ini padamu karena toh Frans juga sudah mati. Hanya saja, setelah penjelasanmu pada Fida dan Dewi, keduanya jadi sedikit pintar sekarang. Bahkan Dewi tidak mau memberikan sebagian uangnya untukku. Wanita itu keukeuh ingin membuka usaha sesuai dengan apa yang kau sarankan sebelumnya.”Oh, jadi itu alasannya. Bagus juga sih, setidaknya otak Dewi pintar juga. Mungkin Andik
“Yan, kalau kamu ada masalah. Aku siap kok dengerin curhatan kamu, sama seperti selama ini kamu selalu mendengar curhatanku.” Aku menahan tangan wanita itu yang ngeloyor hendak pergi ke ruang tamu. Melihat tingkahnya yang begini, aku hafal benar kalau ada yang tengah dia sembunyikan, atau bisa jadi ini tentang pernikahannya tidak baik-baik saja. Atau jangan-jangan bener yang apa yang aku pikirkan selama ini, kalau Arfan belum bisa menerima istrinya sepenuh hati, dan itu gara-gara perasaannya terhadapku.Tatapan Yanti beralih pada Abbas. “Sekarang aku sadar saat melihat Abbas, kalau ternyata cinta pertama memang tidak semudah itu dibuang,” ujarnya lesu tidak seperti saat datang tadi, Yanti terlihat sumringah. Abbas yang keheranan pun hanya menautkan alisnya bingung.Tak mau bertanya lebih lanjut karena ingin menghargai privasinya, aku memilih menyudahi obrolan. Tapi berharap suatu hari nanti Yanti akan menjelaskan semuanya. Mungkin aku terkesan kepo, tapi itu karena aku sangat pedul
Selesai makan siang bersama, kami bicara serius di ruang tamu. Sesuai kesepakatan, Ibu mendapatkan beberapa bagian peninggalan, berupa deposito, tabungan, serta bidang tanah di satu tempat. Terserah Ibu mau membaginya lagi kepada dua putrinya, aku menyerahkan semuanya pada Ibu. Yang jelas Fida dan Dewi sudah punya bagiannya masing-masing. Hanya saja Pak Bas mengingatkan agar kalau mau membaginya lagi, harus disaksikan oleh orang-orang yang berkumpul ini. Tentunya kami semua tidak mau kalau seandainya Fida dan Dewi malah memanfaatkan harta peninggalan Mas Frans untuk kepentingannya sendiri.Kami semua juga tahu kalau Doni dan Andika adalah orang luar, yang takutnya ingin menggasak harta kekayaan ibu mertua. Sementara keduanya adalah pria pemalas, yang di kantor saja sering mendapatkan SP karena kinerjanya kurang memuaskan. Hal itu juga dijelaskan oleh Pak Agung saat aku berkunjung ke kantornya waktu itu. Kalau bukan karena Mas Frans, keduanya mungkin sudah dipecat sejak beberapa bu
Bab 51"Yang mana?"Aku terkejut bukan main. Lekas kuletakkan sandwich yang baru kugigit separuh. Tatapanku tertuju ke arah pandang Anjas sekarang."Yang itu, yang pakai kemeja biru langit. Kayaknya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?!" Anjas tampak mengingat- ingat sambil menekan- nekan dagunya. Sandwich itu baru satu gigitan dimakan olehnya.Aku kembali memundurkan tubuh ke belakang sambil bersandar. Orang yang dimaksud Anjas bukan salah satu pria yang mengikuti ke kantor polisi."Eh, Bu Cahya sendiri kenal nggak sama orang itu?" Aku menggeleng."Sepertinya beda divisi," jawabku.Anjas mengangguk lemah. Satu jam kemudian, semua orang sudah masuk kantor. Aku berjalan ke dalam sendirian untuk bertemu dengan Pak Agung, mengurus tunjangan yang akan diberikan oleh perusahaan. Sengaja aku datang ke tempat ini mengajak Anjas, dan menolak staf kantor yang akan datang ke rumah. Tapi sepertinya aku