Bab 39
Di bawah gundukan tanah yang masih merah, almarhum terbujur kaku menghadap Sang Kuasa untuk mempertanggungjawabkan segala tindak-tanduknya ketika di dunia.Aku berdoa semoga Allah mengampuni dosa-dosa Mas Frans dan menempatkannya di tempat terindah di sisiNya bersama dengan umatnya yang sholeh. Sesungguhnya dia adalah pria yang baik.Puas berdoa dan melepas segala keluh kesah, aku membawa anak-anak pergi. Pak sopir masih duduk dibalik kemudi, menunggu dengan setia hingga akhirnya kendaraan kembali membelah jalanan yang siang itu diiringi gerimis kecil.Tak langsung pulang ke rumah, kami melipir ke rumah sakit untuk menengok Pak Ujang. Dia saksi kunci kejadian yang menimpa suami."Kata dokter, bapak masih belum stabil. Kadang dia menangis sendiri memikirkan apa yang dialami oleh Pak Frans."Putra, anak sulung Pak Ujang menjelaskan setelah kami mengobrol di koridor. Aku cukup puas dengan hasilnya. Tak sia-sia mengeluarBab 40Setengah jam berkendara aku menghentikan mobil tak jauh dari kafe tempat kami mengadakan pertemuan. Ketika masuk aku mencari kesana kemari, hingga dari arah pojok tampak seorang pria bertopi hitam melambai ke arahku."Kau kenal aku?" tanyaku pada pria yang tampak klimis dengan topi yang menutup sebagian wajahnya.Pria itu membuka topinya kemudian tersenyum simpul. Dari ciri-cirinya dia mirip seperti pria yang sempat berinteraksi denganku sebelumnya. Ah ya, dia pria di kontrakan itu rupanya."Kenapa? Kau heran melihat penampilan baruku? Aku bisa begini karena uang pemberianmu," ungkapnya tanpa diminta."Oh, jadi kau pria itu, syukurlah kau mempergunakan uangku dengan baik, alih-alih membuangnya lewat judi online," balasku mengatakan fakta."Sindiranmu pedas juga," ucapnya sambil terkekeh geli."Sudahlah. Katakan informasi apa yang kau punya. Aku tidak punya banyak waktu, anak-anakku menunggu di rumah.""Kau mem
Bab 41Sampai di rumah, sudah menjadi rutinitasku memasang senyum ceria di depan anak-anak. Aku tidak mau sampai mereka melihat kegelisahan yang kutunjukkan, terlebih setelah ketiadaan Mas Frans mereka menjadi prioritas utamaku."Mama …!" "Mama …!""Jangan lari-lari, nanti kepleset." Devia dan Devan berlari ke arahku. Ditangan sudah ada oleh-oleh untuk mereka. Aku membawa dua lusin donat king kesukaan mereka dan menyimpanya di atas meja."Asik, Mama bawa makan kesukaan aku," ujar Devia dengan gaya cadelnya."Makan donatnya bareng Mbak Titin, ya, Mama mau bicara dengan Tante Anisa."Keduanya menurut, kemudian duduk di depan televisi sambil menikmati makanan kesukaannya. Kak Anisa sendiri tengah membantu Ayah makan di kamar. Kedua tangan Ayah tidak bisa bergerak karena stroke. Ayah juga terpaksa harus duduk di kursi roda karena penyakit yang melumpuhkan sistem syaraf itu. Anehnya di bagian dada ke
Bab 42Mas Frans memang memiliki gaji yang cukup besar beserta dengan tunjangan, karena posisinya yang cukup tinggi di perusahaan. Dia juga sudah bekerja lebih dari 10 tahun lamanya. Jadi wajar jika dia menghasilkan pundi-pundi rupiah yang sangat banyak, ditambah lagi harta yang ayahku berikan dan aset yang diberikan padaku, kubangun modal usaha, membuat ekonomi kami semakin berkembang setiap bulannya. Hal itu juga yang membuat Ibu dan dua adik Mas Frans kerap kebagian rejeki untuk menunjang seluruh keinginan mereka. Tapi semakin ke sini rasanya mereka hanya memanfaatkan harta suamiku saja, tanpa memiliki empati atau rasa cinta kasih kepada tiga keponakannya yang kini ditinggalkan suamiku.Aku tersenyum melihat postingan Yanti yang sedang bulan madu. Wanita itu tersenyum ceria dengan bikini yang dikenakannya. Rambut yang dicepol dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung, membuatnya terlihat seksi dan keren. Di sampingnya, ada Arfan yang
Bab 43Dengan perasaan tak sabar sesekali aku melirik pada Anto yang mengemudi. Tujuan kami jelas ke kantor polisi. Kali ini Sintia tak akan bisa berkutik lagi.'Cahya sudah mengetahui kalau bukan hanya aku pembunuhnya. Jika terjadi sesuatu padaku atau wanita itu menjeratku ke balik jeruji besi, maka kau juga harus bertanggung jawab. Bantu dan lindungi aku, atau aku akan membuat pengakuan kalau kaulah dalang terbesarnya.''Jangan macam-macam, Sintia. Kamu jelas-jelas pelaku utama. Dan apa yang kau bilang barusan? Kau mau mengatakan semuanya pada Cahya?!''Iya, kenapa memangnya? Apa kau takut?' Sintia terbahak garing, lalu lawan bicaranya terdengar mendengus kesal. 'Dasar wanita bodoh! Dimana otakmu itu, hah. Kau sedang menggali kuburanmu sendiri. Jangan libatkan aku atau nyawamu tak akan selamat malam ini,' ancam seseorang lainnya di ujung telepon.Sepertinya lawan bicara Sintia bukan satu dua orang, tapi ada beberapa orang lainnya. Mereka terdengar ribut-ribut dari arah belakang yan
Bab 44Kursi utama diambil alih oleh ayah. Meskipun duduk di kursi roda tapi ayah mengambil perannya begitu baik, apalagi beliau ikut mendidik anak-anakku."Mama, kita seperti keluarga besar, ya. Nggak ada papa tapi digantikan oleh temannya," ujar Devan. Anak itu begitu kritis melihat Pak Bas duduk serta di meja makan. Aku meringis pelan. Posisi papamu tidak akan pernah terganti oleh siapapun, Nak."Devan seneng nggak, Om ikut makan di sini?" tanya Pak Bas seperti memiliki jalan untuk merebut hati anak-anak. "Seneng banget, apalagi Om ini temannya Papa kami. Jadi sering-sering aja Om makan di sini," usul Devan dengan gaya polosnya yang diamini oleh adiknya."Iya, aku juga senang ada Om ganteng di rumah ini. Aku jadi nggak kesepian lagi," timpal Devia sambil menggigit ayam goreng kesukaannya. "Wah, asik tuh. Udah dapet lampu hijau. Om jadi semangat, deh." Pak Bas terkekeh dengan lirikan mata padaku.Aku tersedak ma
Bab 45Setelah dari kantor polisi, tempat pertama yang kudatangi adalah kantor suami. Kejadiannya Mas Frans setelah pulang dari tempat ini, tentu sedikit banyaknya ikut berkaitan. Sukur-sukur kalau cuma kebetulan.Menghempaskan rasa penasaran, aku bertemu dengan Pak Agung. Atasan suamiku itu menyambut ramah dan mempersilahkanku untuk duduk. Tidak kuceritakan padanya mengenai pertemuan dengan anak buahnya di depan kantor polisi tadi."Saya cukup terkejut Bu Cahya mau datang ke sini."Pria yang datang saat pemakaman suami itu beramah tamah setelah duduk."Banyak sekali pertanyaan dalam benak saya tentang almarhum. Jadi, saya mohon bantuan Bapak mau untuk menceritakannya tanpa ada yang ditutup-tutupi," ucapku to the point.Sebenarnya sungkan bicara pada pimpinan perusahaan ini, tapi demi Mas Frans dan mengungkap kasusnya, aku akan melakukan apapun. Pak Basuki juga sepertinya sedikit terkejut aku bicara pada intinya."Tentu saja,
Bab 46 Aku berjengit kaget menatap pria itu berdiri di depan pintu. Anjas. Dia mengulas senyum dan meminta izin untuk masuk ke rumah."Tenang, Bu Cahya, aku di sini bukan untuk menagih bayaran. Tapi untuk menggantikan Pak Ujang yang tidak bisa meneruskan pekerjaannya. Menurut dokter, lukanya cukup serius dan kata si Putra, pria itu harus istirahat untuk beberapa waktu lamanya.""Jadi, kamu ini siapanya dia?" Terakhir kali ke rumah sakit aku tahu kalau Pak Ujang belum sepenuhnya sehat. Mungkin dia tidak enak hati terlalu lama absen, makanya ngirim Anjas."Percayalah, ini hanya kebetulan. Pak Ujang itu saudara jauh ibuku. Dia memintaku untuk menggantikannya sementara waktu. Itupun kalau kamu mengizinkan," ucapnya sambil kupersilahkan untuk minum."Tetap saja aku harus menyeleksimu lebih dulu. Apalagi anak-anakku harus ada yang menjaga penuh. Aku tidak mau sampai terjadi dua kali kecelakaan yang sama, seperti yang merenggut ayahnya." Hatiku selalu perih saat mengingat kenangan Mas Fran
Bab 47"Eumh, kita bicarakan itu nanti lagi, ya, As. Nggak enak banyak keluarga sekarang," ucapku mengelak dari pembicaraan ini. Astina kini memasang wajah kesal."Aku masih menunggu janji Mbak untuk mendekatkan kami, lho. Aku nggak peduli pada perasaan Kak Anisa. Toh Mbak sendiri yang ngejanjiin untuk mendekatkan kami."Aku menghela nafas sebelum menjawab."Iya, waktu itu Mbak janji. Tapi perlu kamu ingat juga, kalau Abbas menolakmu atau kalian tidak sampai jadian dan menikah, yang jelas Mbak sudah berusaha mendekatkan kalian. Tapi keputusan tetap berada di tangan pria itu.""Ya, udah, yang penting Mbak usaha dulu," ketusnya meletakkan kembali baki di atas meja. Aku menggeleng cepat melihat kelakuan gadis yang masih kekanak-kanakan tersebut.Kusuguhkan minuman dingin itu ke tengah-tengah ruang. Kusuruh mereka untuk mengambilnya masing-masing. Sekilas kulihat tatapan Arfan fokus padaku, sebelum akhirnya aku memilih mengabaikannya dan tersenyum pada yang lain.Astina kembali duduk di s