Bab 15
Lima belas menit kemudian, mobil Mas Frans kembali ke halaman. Pria itu mengantarkan Devia, setelah tadi ikut mengantar kakaknya dan Mbak Titin ke TK.Beruntung Sintia sudah pergi. Wanita itu pasti tidak menduga kalau suamiku akan kembali mengantarkan anak keduaku."Nanti kita ke rumah sakit, ya, Mas," ujarku saat Mas Frans duduk di bangku kemudi."Ok. Aku usahakan pulang kantor lebih cepat atau saat istirahat kita pergi," jawabnya. Mobil pun melaju setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan. Aku masuk ke rumah bersama dengan Devia.Siang harinya Mas Frans menghubungi. Aku sudah siap dengan pakaian serba panjang. Lima menit kemudian suara klakson mobil terdengar di halaman. Devia merengek ingin ikut serta setelah bertengkar dengan kakaknya.Aku mengalah dan mengajaknya juga. Bergegas keluar dari rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Sintia yang duduk di bangku belakang."Eum, Cahya, Mas akan jelaskan nanti."Bab 16"Ibu ini yang bagaimana, masa menikahkanku dengan seorang wanita yang masih bersuami!" protes Mas Frans tak terima.…"Tidak. Aku tidak ingin terlibat dalam dosa zina. Walau bagaimanapun semuanya harus berakhir. Lagian Cahya juga sudah berperan untuk menyenangkanku," katanya lagi.…"Sebaiknya kita bicara langsung. Sore ini aku akan mengajak Cahya dan wanita itu ke rumah Ibu. Tunggu saja," ujar Mas Frans sambil menutup sambungan.Aku mendekat setelah memastikan priaku itu selesai. Aku menyentuh bahu suamiku. Pria itu menoleh. Terlihat kekesalan dalam wajahnya yang putih bersih."Siapa yang menghubungi, Mas?""Ibu," jawabnya singkat. Aku berohria. "Cahya, nanti kita ngobrol di rumah Ibu untuk berdiskusi. Aku harus mengakhiri semua kegilaan ini," kata Mas Frans lagi. Aku bingung memikirkan pikiran Ibu yang dalam hal ini kenapa ngotot dan tidak terima. Wanita itu kenapa lebih membela Sintia da
Bab 17"Bagus kalau kamu masih percaya, bahkan setelah pria itu menikah diam-diam." Sindiran Arfan membuatku terdiam. Meskipun ngomongnya asal jeplak dan pecicilan, Arfan benar. Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Apalagi Mas Frans melakukannya karena terpaksa, setelah kebutuhan batinnya tidak terpenuhi."Sudahlah, lupakan itu. Oh ya, aku mau minta tolong padamu, Arf," ujarku agar tidak terlalu lama terlibat obrolan dengannya."Katakan," sahutnya cepat. "Waktu kejadian hari itu, aku tak sengaja menabrak seorang wanita di jalan. Saat itu aku tidak mengingat apapun karena aku langsung dibawa ke rumah sakit," tuturku."Hmm, aku curiga kau membawa misi baru untukku," sela pria itu menebak maksud perkataanku."Ya itulah sebabnya aku minta tolong padamu, Arfan. Tolong aku sekali lagi. Aku ingin tahu siapa orang itu dan keluarganya. Aku sudah bertanya langsung kepada Mas Frans tapi dia tidak mengatak
Bab 18"Apa kau bilang?!" Ibu mertua angkat suara. Kulihat wajahnya yang seperti tumpukan baju-baju kotor tampak tidak sedap dipandang.Aku mendekat ke arah mereka. Mbak Titin berinisiatif mengajak anak-anakku pergi setelah memasukkan bekalnya ke dalam ransel milik Devan."Ayo kita berangkat sekarang, nanti lanjut sarapannya di mobil aja." Mbak Titin membawa piring makan Devan beserta air minumnya."Tapi aku masih ingin makan bareng Papa.""Aku juga!" Devia ikut bicara. Anak itu melirik ke arah Mas Frans yang ikut berdiri. Dia memasang wajah serius."Bu, kita bicara setelah anak-anak berangkat sekolah. Dan Mbak, ajak Devia ke sekolah juga, ya." Mas Frans melirik pada pengasuh anak-anak yang dibalas dengan anggukan cepat."Papa, aku mau berangkat bareng Papa!" Devan dan Devia merajuk."Nggak bisa, Nak. Papa ada urusan sama nenek. Nanti kita makan malam di luar, ya.""Papa janji?" Mata kedua anakku berbinar. Terlihat kegembiraan di wajahnya yang manis."Iya, kita ke mall juga. Udah l
Bab 19 Setelah putranya pergi, tatapan Ibu mertua kini menghunus tajam padaku. "Kau puas, gara-gara keegoisanmu itu, kau sudah memisahkan hubungan Ibu dan anak! Dasar wanita ib lis, bahkan sejak dulu aku tidak pernah menyukaimu," sentak Ibu mertua dengan nafas memburu. Aku sendiri semakin tidak menyangka Ibu bisa berkata lebih kasar padaku.Aku kembali duduk dan bersilang kaki. Memilih merentangkan kedua tangan di bahu sofa, sambil menatap pasangan wanita ular di depanku ini."Maaf ya, Bu, Mas Frans sudah dewasa dan sudah memiliki anak tiga. Dia punya pikiran sendiri dan tidak mungkin terus-terusan nyempil di ketiak Ibu untuk menuruti semua perintah dan keinginan Ibu," balasku sesantai mungkin.Berbeda dengan tadi yang kesal padanya setelah mendengar titahnya yang tak masuk akal, kini tiba-tiba saja aku merasa lega dan pikiranku tiba-tiba plong. Ibu tidak akan bisa berkutik setelah mendengar ancaman dari suamiku. Lagi pula siapa Sintia, hanya wanita miskin yang kekurangan dana dan b
Bab 20"Halo, Mas? Aku izin makan siang bareng Yanti dan Arfan, ya?"Kuhubungi suami lewat panggilan telepon. Walau bagaimanapun izinnya adalah yang utama. Terlebih aku akan bertemu dengan rivalnya."Hmm, ya udah. Hati-hati di jalan.""Mas tenang aja, aku bareng anak-anak dan diantar sopir kok," balasku agar Mas Frans tenang."Baiklah. Oh ya, siang ini Mas mau ketemu pengacara untuk membereskan masalah Sintia. Kalau dengan berdebat wanita itu masih tidak mau mundur, maka kita harus mencari cara lain agar wanita itu tidak mengganggu keluarga kita lagi. Dan ya, Mas mau minta maaf karena membawamu dalam masalah pelik ini. Mas nggak sangka semuanya akan jadi gini. Dan Ibu, tolong maafkan beliau. Mas merasa nggak enak hati sama kamu." Terdengar helaan nafas di ujung telepon. Aku mencoba mengangguk dan mengerti, tapi lupa kalau pria itu tidak bisa melihatnya. "Itu karena tidak ada ridho dari istri. Tapi Mas sudah mengambil keputusan yang terbaik. Bukan maksud mendukung, tapi Ibu memang be
Bab 21"Mas, kamu marah sama aku?" "Nggak," jawabnya singkat tapi ketus."Tapi, sikapmu kenapa dingin gini sama aku?"Bukan tanpa alasan, setelah bicara dengan Arfan, priaku itu terlihat diam. Bahkan saat kami berkeliling di mall tadi sikapnya tak berubah. Meski suasana sedikit mencair karena keceriaan Devia dan Devan, tapi setelahmya Mas Frans kembali memasang wajah dingin. Berbagai kemeja dan keperluan kantor yang kutawarkan ditolak mentah-mentah, padahal aku berinisiatif membelikannya. Mas Frans, meskipun pria tapi dia seorang shopaholic, yang kalau nge-mall pasti ada saja yang dibelinya; entah itu pakaian, jas, aksesoris, termasuk sepatu baru yang harganya fantastis. Tapi, kali ini nggak begitu. Dia aneh."Kamu masih ngeblokir nomor di Arfan, 'kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Kami dalam perjalanan pulang. Anak-anak sudah tertidur di pangkuan."Iya, Mas. Aku nggak berani buka kalau kamu nggak ridho," ujarku
Bab 22"Kenapa kamu menatap saya seperti itu?"Aku bertanya heran sambil mempersilahkannya untuk duduk di sofa."Eh, ng-nggak."Wanita yang kutaksir berusia di sekitar 25 tahun itu tergagap. Sama sekali tidak ada kaget, justru lebih pada sikap terkejut.Kemudian kuceritakan tentang Ridho dan kutunjukkan kamarnya, dan apa yang harus dia lakukan dalam merawat anakku. wanita itu kebanyakan mengangguk dan tak sekalipun menyela ucapanku."Bapak dan Ibu, tiap hari berangkat ke kantor atau semacamnya?"Wanita itu masih berdiri di depan pintu kamar yang sudah kutunjuk. Aku cukup heran dengan pertanyaannya yang tak masuk akal."Kenapa memangnya, Sus? Apa itu masalah?""Emh, nggak. Saya hanya bertanya, kok. Nggak ada maksud apa-apa," jawabnya dingin tanpa terlihat salah tingkah."Oh. Kalau mbak ingin tahu, saya tiap hari ada di rumah untuk menjaga anak. Saya tidak bekerja dan saya sangat jarang sekali k
Bab 23"Apa pedulimu dengan anakku, sementara saat ini kau terus-terusan memojokkan dan berniat membuangku!!Sintia berteriak. Dia melayangkan tatapan tajam. Tangannya hampir terangkat untuk menampar suamiku, namun segera kutarik kasar."Dasar wanita tidak punya hati nurani. Selama anakmu di rumah sakit kau bahkan tidak pernah menjenguknya sekalipun. Kau sibuk mengejar pria yang sama sekali tidak sudi berbagi raga denganmu. Kau benar-benar perempuan menyedihkan.""Tahan emosi, Bu Cahya." Pak Basuki menengahi."Sudah, Sayang. Ayo pergi."Mas Frans menarik tanganku dengan cepat. Kutinggalkan wanita itu disusul dengan Ibu yang mengikuti dari belakang.Berbeda dengan sebelumnya, Ibu tidak banyak bicara. Dia bahkan ikut masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang."Apa sesuatu yang buruk terjadi pada Hasan?" tanyaku pada Mas Frans. Kendati memasang wajah serius, pria itu mengangguk sementara sebelah tangannya men