Bab 14
"Tumben Papa belum bangun." Devia langsung naik ke atas tempat tidur dan mengguncang lengan papanya. Untung pakaiannya sudah dikarenakan.Akan sangat gawat jika putri kecilku itu melihat papanya tidak memakai baju. Pikirannya akan berkelana mengingat usianya belum sampai ke tahap itu.Berbeda dengan Devia yang mengguncang-guncang lengan Mas Frans, hingga pria itu mengerjap dan duduk, Devan yang sudah berusia 5 tahun berdiri di samping tempat tidur.Anak itu melirik ke atas jam dinding, kemudian menyalakan lampu utama."Kita shalat berjamaah di rumah aja, Pa. Ujan gede di luar. Buruan, jangan sampai waktu subuh kelewat," ujar anak itu mengingatkan.Baik aku, Mbak Titin serta Mas Frans, selalu berusaha untuk membiasakan jadwal anak-anak. Mereka akan tidur di awal waktu dan bangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Apalagi didikan sholat sudah kutanamkan sejak kecil.Saat usia sebelum baligh, aku berjanjiBab 15Lima belas menit kemudian, mobil Mas Frans kembali ke halaman. Pria itu mengantarkan Devia, setelah tadi ikut mengantar kakaknya dan Mbak Titin ke TK.Beruntung Sintia sudah pergi. Wanita itu pasti tidak menduga kalau suamiku akan kembali mengantarkan anak keduaku."Nanti kita ke rumah sakit, ya, Mas," ujarku saat Mas Frans duduk di bangku kemudi."Ok. Aku usahakan pulang kantor lebih cepat atau saat istirahat kita pergi," jawabnya. Mobil pun melaju setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan. Aku masuk ke rumah bersama dengan Devia. Siang harinya Mas Frans menghubungi. Aku sudah siap dengan pakaian serba panjang. Lima menit kemudian suara klakson mobil terdengar di halaman. Devia merengek ingin ikut serta setelah bertengkar dengan kakaknya.Aku mengalah dan mengajaknya juga. Bergegas keluar dari rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Sintia yang duduk di bangku belakang. "Eum, Cahya, Mas akan jelaskan nanti."
Bab 16"Ibu ini yang bagaimana, masa menikahkanku dengan seorang wanita yang masih bersuami!" protes Mas Frans tak terima.…"Tidak. Aku tidak ingin terlibat dalam dosa zina. Walau bagaimanapun semuanya harus berakhir. Lagian Cahya juga sudah berperan untuk menyenangkanku," katanya lagi.…"Sebaiknya kita bicara langsung. Sore ini aku akan mengajak Cahya dan wanita itu ke rumah Ibu. Tunggu saja," ujar Mas Frans sambil menutup sambungan.Aku mendekat setelah memastikan priaku itu selesai. Aku menyentuh bahu suamiku. Pria itu menoleh. Terlihat kekesalan dalam wajahnya yang putih bersih."Siapa yang menghubungi, Mas?""Ibu," jawabnya singkat. Aku berohria. "Cahya, nanti kita ngobrol di rumah Ibu untuk berdiskusi. Aku harus mengakhiri semua kegilaan ini," kata Mas Frans lagi. Aku bingung memikirkan pikiran Ibu yang dalam hal ini kenapa ngotot dan tidak terima. Wanita itu kenapa lebih membela Sintia da
Bab 17"Bagus kalau kamu masih percaya, bahkan setelah pria itu menikah diam-diam." Sindiran Arfan membuatku terdiam. Meskipun ngomongnya asal jeplak dan pecicilan, Arfan benar. Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Apalagi Mas Frans melakukannya karena terpaksa, setelah kebutuhan batinnya tidak terpenuhi."Sudahlah, lupakan itu. Oh ya, aku mau minta tolong padamu, Arf," ujarku agar tidak terlalu lama terlibat obrolan dengannya."Katakan," sahutnya cepat. "Waktu kejadian hari itu, aku tak sengaja menabrak seorang wanita di jalan. Saat itu aku tidak mengingat apapun karena aku langsung dibawa ke rumah sakit," tuturku."Hmm, aku curiga kau membawa misi baru untukku," sela pria itu menebak maksud perkataanku."Ya itulah sebabnya aku minta tolong padamu, Arfan. Tolong aku sekali lagi. Aku ingin tahu siapa orang itu dan keluarganya. Aku sudah bertanya langsung kepada Mas Frans tapi dia tidak mengatak
Bab 18"Apa kau bilang?!" Ibu mertua angkat suara. Kulihat wajahnya yang seperti tumpukan baju-baju kotor tampak tidak sedap dipandang.Aku mendekat ke arah mereka. Mbak Titin berinisiatif mengajak anak-anakku pergi setelah memasukkan bekalnya ke dalam ransel milik Devan."Ayo kita berangkat sekarang, nanti lanjut sarapannya di mobil aja." Mbak Titin membawa piring makan Devan beserta air minumnya."Tapi aku masih ingin makan bareng Papa.""Aku juga!" Devia ikut bicara. Anak itu melirik ke arah Mas Frans yang ikut berdiri. Dia memasang wajah serius."Bu, kita bicara setelah anak-anak berangkat sekolah. Dan Mbak, ajak Devia ke sekolah juga, ya." Mas Frans melirik pada pengasuh anak-anak yang dibalas dengan anggukan cepat."Papa, aku mau berangkat bareng Papa!" Devan dan Devia merajuk."Nggak bisa, Nak. Papa ada urusan sama nenek. Nanti kita makan malam di luar, ya.""Papa janji?" Mata kedua anakku berbinar. Terlihat kegembiraan di wajahnya yang manis."Iya, kita ke mall juga. Udah l
Bab 19 Setelah putranya pergi, tatapan Ibu mertua kini menghunus tajam padaku. "Kau puas, gara-gara keegoisanmu itu, kau sudah memisahkan hubungan Ibu dan anak! Dasar wanita ib lis, bahkan sejak dulu aku tidak pernah menyukaimu," sentak Ibu mertua dengan nafas memburu. Aku sendiri semakin tidak menyangka Ibu bisa berkata lebih kasar padaku.Aku kembali duduk dan bersilang kaki. Memilih merentangkan kedua tangan di bahu sofa, sambil menatap pasangan wanita ular di depanku ini."Maaf ya, Bu, Mas Frans sudah dewasa dan sudah memiliki anak tiga. Dia punya pikiran sendiri dan tidak mungkin terus-terusan nyempil di ketiak Ibu untuk menuruti semua perintah dan keinginan Ibu," balasku sesantai mungkin.Berbeda dengan tadi yang kesal padanya setelah mendengar titahnya yang tak masuk akal, kini tiba-tiba saja aku merasa lega dan pikiranku tiba-tiba plong. Ibu tidak akan bisa berkutik setelah mendengar ancaman dari suamiku. Lagi pula siapa Sintia, hanya wanita miskin yang kekurangan dana dan b
Bab 20"Halo, Mas? Aku izin makan siang bareng Yanti dan Arfan, ya?"Kuhubungi suami lewat panggilan telepon. Walau bagaimanapun izinnya adalah yang utama. Terlebih aku akan bertemu dengan rivalnya."Hmm, ya udah. Hati-hati di jalan.""Mas tenang aja, aku bareng anak-anak dan diantar sopir kok," balasku agar Mas Frans tenang."Baiklah. Oh ya, siang ini Mas mau ketemu pengacara untuk membereskan masalah Sintia. Kalau dengan berdebat wanita itu masih tidak mau mundur, maka kita harus mencari cara lain agar wanita itu tidak mengganggu keluarga kita lagi. Dan ya, Mas mau minta maaf karena membawamu dalam masalah pelik ini. Mas nggak sangka semuanya akan jadi gini. Dan Ibu, tolong maafkan beliau. Mas merasa nggak enak hati sama kamu." Terdengar helaan nafas di ujung telepon. Aku mencoba mengangguk dan mengerti, tapi lupa kalau pria itu tidak bisa melihatnya. "Itu karena tidak ada ridho dari istri. Tapi Mas sudah mengambil keputusan yang terbaik. Bukan maksud mendukung, tapi Ibu memang be
Bab 21"Mas, kamu marah sama aku?" "Nggak," jawabnya singkat tapi ketus."Tapi, sikapmu kenapa dingin gini sama aku?"Bukan tanpa alasan, setelah bicara dengan Arfan, priaku itu terlihat diam. Bahkan saat kami berkeliling di mall tadi sikapnya tak berubah. Meski suasana sedikit mencair karena keceriaan Devia dan Devan, tapi setelahmya Mas Frans kembali memasang wajah dingin. Berbagai kemeja dan keperluan kantor yang kutawarkan ditolak mentah-mentah, padahal aku berinisiatif membelikannya. Mas Frans, meskipun pria tapi dia seorang shopaholic, yang kalau nge-mall pasti ada saja yang dibelinya; entah itu pakaian, jas, aksesoris, termasuk sepatu baru yang harganya fantastis. Tapi, kali ini nggak begitu. Dia aneh."Kamu masih ngeblokir nomor di Arfan, 'kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Kami dalam perjalanan pulang. Anak-anak sudah tertidur di pangkuan."Iya, Mas. Aku nggak berani buka kalau kamu nggak ridho," ujarku
Bab 22"Kenapa kamu menatap saya seperti itu?"Aku bertanya heran sambil mempersilahkannya untuk duduk di sofa."Eh, ng-nggak."Wanita yang kutaksir berusia di sekitar 25 tahun itu tergagap. Sama sekali tidak ada kaget, justru lebih pada sikap terkejut.Kemudian kuceritakan tentang Ridho dan kutunjukkan kamarnya, dan apa yang harus dia lakukan dalam merawat anakku. wanita itu kebanyakan mengangguk dan tak sekalipun menyela ucapanku."Bapak dan Ibu, tiap hari berangkat ke kantor atau semacamnya?"Wanita itu masih berdiri di depan pintu kamar yang sudah kutunjuk. Aku cukup heran dengan pertanyaannya yang tak masuk akal."Kenapa memangnya, Sus? Apa itu masalah?""Emh, nggak. Saya hanya bertanya, kok. Nggak ada maksud apa-apa," jawabnya dingin tanpa terlihat salah tingkah."Oh. Kalau mbak ingin tahu, saya tiap hari ada di rumah untuk menjaga anak. Saya tidak bekerja dan saya sangat jarang sekali k
Egois. Ingin sekali aku meneriakan kata itu di depan wajah Arfan. Tapi semuanya tidak ada gunanya. Arfan benar. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak akan berakhir dengan bahagia. Apalagi jika Arfan melakukan semuanya dengan kepura-puraan, hati Yanti pasti akan jauh lebih sakit kalau dia tidak dicintai sepenuh hati oleh suaminya sendiri.“Makanya, Ya, aku pikir inilah jalan terbaik untuk kami berdua.” Hening setelah perbincangan ini. Arfan pasti sudah memikirkan secara matang-matang. Tapi, meski aku merasa ini tidak adil untuk Yanti, toh mereka berdua sudah memutuskan dan aku berharap Yanti mendapatkan kebahagiaan lain dalam hidupnya. Ya, mungkin dia sengaja pergi untuk melupakan semuanya dan menjalani hidup baru. Aku berharap saat dia kembali nanti, akan ada cahaya cinta di hatinya untuk orang lain yang juga merasakan hal yang sama untuknya.“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah menghancurkan hati sahabatku, hm?”Arfan terkekeh. “Kau sudah tahu apa yang aku inginkan tanpa harus
Kabar tentang hubungan Yanti dan Arfan terhenti begitu saja. Aku terlalu sibuk mengurusi persiapan pernikahan kak Anisa dan Abbas yang akan digelar di kota kembang. Sengaja aku boyong ketiga anakku ke sana, sekalian ingin liburan, juga ingin menenangkan hati dan pikiran. Tentu saja tanpa Pak Bas apalagi Arfan dan Yanti.Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri, tanpa ada campur tanganku. Lagi pula mereka sudah dewasa untuk menentukan pilihan, yang jelas semoga Arfan lebih bijak dalam menyikapi perasaannya pada sahabatku tersebut. Mbak Titin dan Mbak Ros juga Anjas turut serta mendampingiku ke Bandung. Beruntung rumah ayah cukup besar untuk dihuni oleh beberapa orang lagi, hingga tidak perlu berdesakan apalagi berbagi kamar hanya untuk menghabiskan waktu istirahat. Tiap hari aku dan keluarga berkeliling di kota Bandung. Selain mencari hiburan juga menjelajah wisata kuliner sambil hunting beberapa barang untuk keperluan pernikahan. Hingga tiga hari sebelum acara sakral i
Setelah hampir satu jam mengobrol, akhirnya mereka pamit untuk pulang. Aku kembali ke dalam kamar, mengistirahatkan badan yang terasa lelah. Tiga anakku ikut tidur dalam satu kamar, jadinya kami harus berbagai tempat tidur. Untunglah tubuh mereka masih kecil hingga tidak membuat tempat tidur ini sempit karena ukurannya yang cukup besar. Aku hampir memejamkan mata saat mendengar suara ketukan di pintu. Tok tok tok!“Cahya, apa kamu sudah tidur?”‘Yanti?’ Buru-buru ‘ku buka pintu setelah mendengar siapa yang memanggil-manggil namaku. “Ada apa, Yan? Kenapa kamu terlihat cemas sekali?” Kuajak wanita itu masuk ke dalam kamar. Yanti menggeleng segera, “Sejak tadi Arfan belum pulang, Ya. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” jawabnya cemas. ‘Kulirik jam yang bertengger di tembok. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. “Ke mana kira-kira suamimu pergi? Apa ada masalah sebelumnya hingga dia pergi begitu saja?”“Entahlah, aku juga tidak tahu. Dia pergi setelah kedatangan orang tua Pak Bas
“Maksudnya, liburan ke mana, ya, Pak?” Aku terus mengekor di belakang Pak Bas ketika pria itu menyapa anak-anak. Pria yang masih mengabaikanku itu hanya menjawab dengan senyuman, tanpa ada niat untuk bersuara. Anak-anak langsung antusias masuk ke dalam mobil dan memintaku untuk masuk juga dengan gerakan kepalanya. “Udah, masuk aja sana, kita butuh refreshing setelah kamu menghadapi hari-hari yang buruk juga menghadapi kasus tentang suamimu. Kebetulan Ayah juga sudah bosan tinggal di rumah terus dan ingin menghirup udara segar,” timpal Ayah seolah-olah keduanya sudah merencanakannya.Aku tak bersuara dan memilih masuk ke dalam mobil, lalu duduk di samping pria itu. Kendaraan pun meluncur ke arah puncak. Iring-iringan dua kendaraan langsung berhenti di salah satu tempat yang kuduga adalah villa yang entah milik siapa. Sepanjang perjalanan tadi, bahkan kami tidak saling bicara, aku juga tidak ada niat untuk bertanya macam-macam pada pria yang terlihat bahagia, dengan sesekali menimpal
Arfan tampak salah tingkah ketika aku meninggalkan mereka berdua. Bisa dilihat dari auranya, kalau Yanti yang tidak ikhlas dan masih ragu dengan kesungguhan suaminya. Padahal mati-matian sudah kukatakan kalau aku tidak berharap atau memberi harapan apapun pada pria itu. Bahkan ketika aku berjalan ke parkiran dan menunggu taksi, di balik kaca kelihatan keduanya sedang bertengkar. Berulang kali Yanti menunjuk-nunjuk wajah Arfan. Melihatnya keduanya yang emosi, aku hanya bisa mendesah. Mereka bahkan bukan anak kecil yang harus mempermasalahkan kehadiranku diantara hubungan mereka. Haruskah aku menerima perasaan Pak Bas saja, agar Yanti dan Arfan lebih tenang?Kembali ke rumah, aku dikejutkan dengan suara gedoran dari pintu yang tertutup rapat. Telingaku awas mendengar suara seseorang yang berteriak di luar sana. “Buka, Cahya! Buka! Aku tahu kamu ada di dalam!” Mbak Ros memburu ke arah pintu setelah aku mengiyakan. Di sana, Dewi dan Fida langsung melotot sambil memburu masuk ke dala
“Kalau kau bener-bener mengetahui apa yang terjadi dengan suamiku alias iparmu, kenapa kau tidak bicara langsung setelah kecelakaan itu?” Aku bertanya dengan tegas pada Andika, tak peduli seandainya Dewi akan marah kalau aku bicara dengan suaminya malam- malam begini.Andika tidak langsung menyahut. Kuat dugaan dia hanya asal bicara dan menginginkan sesuatu dariku. Uang, ya, dalam otak mereka hanya itu yang penting. Apalagi aku tahu bagaimana Andika selama ini. Pria pemalas itu akan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan uang. “Tenanglah, Cahya. Aku memang sedikit salah. Awalnya aku tidak mau memberitahukan ini padamu karena toh Frans juga sudah mati. Hanya saja, setelah penjelasanmu pada Fida dan Dewi, keduanya jadi sedikit pintar sekarang. Bahkan Dewi tidak mau memberikan sebagian uangnya untukku. Wanita itu keukeuh ingin membuka usaha sesuai dengan apa yang kau sarankan sebelumnya.”Oh, jadi itu alasannya. Bagus juga sih, setidaknya otak Dewi pintar juga. Mungkin Andik
“Yan, kalau kamu ada masalah. Aku siap kok dengerin curhatan kamu, sama seperti selama ini kamu selalu mendengar curhatanku.” Aku menahan tangan wanita itu yang ngeloyor hendak pergi ke ruang tamu. Melihat tingkahnya yang begini, aku hafal benar kalau ada yang tengah dia sembunyikan, atau bisa jadi ini tentang pernikahannya tidak baik-baik saja. Atau jangan-jangan bener yang apa yang aku pikirkan selama ini, kalau Arfan belum bisa menerima istrinya sepenuh hati, dan itu gara-gara perasaannya terhadapku.Tatapan Yanti beralih pada Abbas. “Sekarang aku sadar saat melihat Abbas, kalau ternyata cinta pertama memang tidak semudah itu dibuang,” ujarnya lesu tidak seperti saat datang tadi, Yanti terlihat sumringah. Abbas yang keheranan pun hanya menautkan alisnya bingung.Tak mau bertanya lebih lanjut karena ingin menghargai privasinya, aku memilih menyudahi obrolan. Tapi berharap suatu hari nanti Yanti akan menjelaskan semuanya. Mungkin aku terkesan kepo, tapi itu karena aku sangat pedul
Selesai makan siang bersama, kami bicara serius di ruang tamu. Sesuai kesepakatan, Ibu mendapatkan beberapa bagian peninggalan, berupa deposito, tabungan, serta bidang tanah di satu tempat. Terserah Ibu mau membaginya lagi kepada dua putrinya, aku menyerahkan semuanya pada Ibu. Yang jelas Fida dan Dewi sudah punya bagiannya masing-masing. Hanya saja Pak Bas mengingatkan agar kalau mau membaginya lagi, harus disaksikan oleh orang-orang yang berkumpul ini. Tentunya kami semua tidak mau kalau seandainya Fida dan Dewi malah memanfaatkan harta peninggalan Mas Frans untuk kepentingannya sendiri.Kami semua juga tahu kalau Doni dan Andika adalah orang luar, yang takutnya ingin menggasak harta kekayaan ibu mertua. Sementara keduanya adalah pria pemalas, yang di kantor saja sering mendapatkan SP karena kinerjanya kurang memuaskan. Hal itu juga dijelaskan oleh Pak Agung saat aku berkunjung ke kantornya waktu itu. Kalau bukan karena Mas Frans, keduanya mungkin sudah dipecat sejak beberapa bu
Bab 51"Yang mana?"Aku terkejut bukan main. Lekas kuletakkan sandwich yang baru kugigit separuh. Tatapanku tertuju ke arah pandang Anjas sekarang."Yang itu, yang pakai kemeja biru langit. Kayaknya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?!" Anjas tampak mengingat- ingat sambil menekan- nekan dagunya. Sandwich itu baru satu gigitan dimakan olehnya.Aku kembali memundurkan tubuh ke belakang sambil bersandar. Orang yang dimaksud Anjas bukan salah satu pria yang mengikuti ke kantor polisi."Eh, Bu Cahya sendiri kenal nggak sama orang itu?" Aku menggeleng."Sepertinya beda divisi," jawabku.Anjas mengangguk lemah. Satu jam kemudian, semua orang sudah masuk kantor. Aku berjalan ke dalam sendirian untuk bertemu dengan Pak Agung, mengurus tunjangan yang akan diberikan oleh perusahaan. Sengaja aku datang ke tempat ini mengajak Anjas, dan menolak staf kantor yang akan datang ke rumah. Tapi sepertinya aku