Bab 20"Halo, Mas? Aku izin makan siang bareng Yanti dan Arfan, ya?"Kuhubungi suami lewat panggilan telepon. Walau bagaimanapun izinnya adalah yang utama. Terlebih aku akan bertemu dengan rivalnya."Hmm, ya udah. Hati-hati di jalan.""Mas tenang aja, aku bareng anak-anak dan diantar sopir kok," balasku agar Mas Frans tenang."Baiklah. Oh ya, siang ini Mas mau ketemu pengacara untuk membereskan masalah Sintia. Kalau dengan berdebat wanita itu masih tidak mau mundur, maka kita harus mencari cara lain agar wanita itu tidak mengganggu keluarga kita lagi. Dan ya, Mas mau minta maaf karena membawamu dalam masalah pelik ini. Mas nggak sangka semuanya akan jadi gini. Dan Ibu, tolong maafkan beliau. Mas merasa nggak enak hati sama kamu." Terdengar helaan nafas di ujung telepon. Aku mencoba mengangguk dan mengerti, tapi lupa kalau pria itu tidak bisa melihatnya. "Itu karena tidak ada ridho dari istri. Tapi Mas sudah mengambil keputusan yang terbaik. Bukan maksud mendukung, tapi Ibu memang be
Bab 21"Mas, kamu marah sama aku?" "Nggak," jawabnya singkat tapi ketus."Tapi, sikapmu kenapa dingin gini sama aku?"Bukan tanpa alasan, setelah bicara dengan Arfan, priaku itu terlihat diam. Bahkan saat kami berkeliling di mall tadi sikapnya tak berubah. Meski suasana sedikit mencair karena keceriaan Devia dan Devan, tapi setelahmya Mas Frans kembali memasang wajah dingin. Berbagai kemeja dan keperluan kantor yang kutawarkan ditolak mentah-mentah, padahal aku berinisiatif membelikannya. Mas Frans, meskipun pria tapi dia seorang shopaholic, yang kalau nge-mall pasti ada saja yang dibelinya; entah itu pakaian, jas, aksesoris, termasuk sepatu baru yang harganya fantastis. Tapi, kali ini nggak begitu. Dia aneh."Kamu masih ngeblokir nomor di Arfan, 'kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Kami dalam perjalanan pulang. Anak-anak sudah tertidur di pangkuan."Iya, Mas. Aku nggak berani buka kalau kamu nggak ridho," ujarku
Bab 22"Kenapa kamu menatap saya seperti itu?"Aku bertanya heran sambil mempersilahkannya untuk duduk di sofa."Eh, ng-nggak."Wanita yang kutaksir berusia di sekitar 25 tahun itu tergagap. Sama sekali tidak ada kaget, justru lebih pada sikap terkejut.Kemudian kuceritakan tentang Ridho dan kutunjukkan kamarnya, dan apa yang harus dia lakukan dalam merawat anakku. wanita itu kebanyakan mengangguk dan tak sekalipun menyela ucapanku."Bapak dan Ibu, tiap hari berangkat ke kantor atau semacamnya?"Wanita itu masih berdiri di depan pintu kamar yang sudah kutunjuk. Aku cukup heran dengan pertanyaannya yang tak masuk akal."Kenapa memangnya, Sus? Apa itu masalah?""Emh, nggak. Saya hanya bertanya, kok. Nggak ada maksud apa-apa," jawabnya dingin tanpa terlihat salah tingkah."Oh. Kalau mbak ingin tahu, saya tiap hari ada di rumah untuk menjaga anak. Saya tidak bekerja dan saya sangat jarang sekali k
Bab 23"Apa pedulimu dengan anakku, sementara saat ini kau terus-terusan memojokkan dan berniat membuangku!!Sintia berteriak. Dia melayangkan tatapan tajam. Tangannya hampir terangkat untuk menampar suamiku, namun segera kutarik kasar."Dasar wanita tidak punya hati nurani. Selama anakmu di rumah sakit kau bahkan tidak pernah menjenguknya sekalipun. Kau sibuk mengejar pria yang sama sekali tidak sudi berbagi raga denganmu. Kau benar-benar perempuan menyedihkan.""Tahan emosi, Bu Cahya." Pak Basuki menengahi."Sudah, Sayang. Ayo pergi."Mas Frans menarik tanganku dengan cepat. Kutinggalkan wanita itu disusul dengan Ibu yang mengikuti dari belakang.Berbeda dengan sebelumnya, Ibu tidak banyak bicara. Dia bahkan ikut masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang."Apa sesuatu yang buruk terjadi pada Hasan?" tanyaku pada Mas Frans. Kendati memasang wajah serius, pria itu mengangguk sementara sebelah tangannya men
Bab 24Menjelang malam, keadaan Ridho mulai stabil. Menurut dokter anak itu bisa dibawa pulang setelah beberapa hari, itu pun setelah nanti pihak dokter memastikan keadaannya. Bayi yang lahir prematur memang rentan terkena penyakit. Tapi, kuharap ini bukan ulah wanita bernama Amalia yang baru dipekerjakan oleh Mas Frans beberapa jam sebelumnya.Aku dan Mas Frans tak langsung pulang ke rumah. Tapi melipir ke rumah kontrakan Abbas. Meskipun Hasan pasti sudah dikebumikan, tapi aku belum mengucapkan belasungkawa langsung padanya.Ketika kami sampai, ternyata tahlilan sedang digelar. Pelataran parkir dan halaman kontrakan dipasangi terpal untuk duduk, sementara para jemaah sudah mulai berdatangan dan sedang melafalkan doa-doa untuk almarhum.Mas Frans menunjuk beberapa orang yang dikenalkan sebagai orang tua Sintia dan juga kerabat dari pihaknya. Hebat, betapa pria itu mengenal baik keluarga istri penipunya sebelum menikah. Aku penasaran, ber
Bab 25Aku baru saja sadarkan diri ketika melihat Ibu mertua dan Mas Frans berada tak jauh berdiri dariku. Keduanya menatap cemas."Mas."Rasa perih di perut membuatku meringis."Biar Mas bantu."Mas Frans membantuku untuk bersandar pada bantal."Jangan banyak bergerak. Lukamu baru saja dijahit oleh dokter, beruntung keadaanmu tidak terlalu parah. Hanya terkena goresan kulit bagian samping," paparnya menjelaskan membuatku lega.Aku mengingat kejadian yang menimpaku yang diakibatkan oleh Amalia. Wanita itu, benarkah dia anak seseorang yang tak sengaja kutabrak waktu itu?"Bagaimana dengan Amalia, Mas?" Aku yang tak sabar langsung saja bertanya."Mas sudah membawanya ke kantor polisi, dan sudah membuat laporan. Kamu tenang saja, Basuki sudah mengurus semuanya.""Tapi ini salahku, Mas. Aku yang telah menabrak ibunya. Jadi wajar jika Amalia melakukan hal ini padaku. Tolong Mas bebaskan dia," pintak
Bab 26Tak sampai di sana, sepeninggal Ibu mertua dua wanita yang tidak ingin kutemui keberadaannya malah datang ke sini. Fida dan Dewi menghambur masuk sambil memasang wajah ketus.Apalagi yang mereka inginkan kali ini?"Keadaan Mbak sepertinya baik-baik saja," ujar Dewi tanpa sedikitpun rasa iba. "Ya, terus?" tanyaku.Dasar anak ini. Haruskah kuperlihatkan lukaku agar dia melihat goresan besar di perutku."Jangan gitu, Wi." Fida salah tingkah saat mataku menatap dingin pada mereka."M-maaf, Mbak. Dia sedikit kesal karena ditegur Mas Frans tadi," sahut Fida membela adiknya."Mau apa kalian ke mari? Kalau tak ikhlas menjenguk sebaiknya kalian pulang saja," usirku. Rasanya malas meladeni dua orang tidak penting ini. "Ya ampun. Nggak kamu, nggak suamimu memang bener-bener pasangan yang klop, ya. Sama-sama tukang ngusir orang. Eh, atau Mas Frans ketularan kamu lagi, hingga ikut-ikutan ngusir keluarganya
Bab 27"Apa yang kau lakukan pada istriku?"Mas Frans memburu ke arahku, lalu menyuruhku untuk berdiri.Pandangan priaku itu tidak pernah semarah ini, meskipun kami sering bertengkar. Belakangan setelah kulihat dia menikahi Sintia dan menghadapi kasus tentang tabrak lari yang kulakukan pada ibunya Amalia, dia jadi sering emosi."Mas?""Diamlah," ucapnya singkat. Aku tahu dia kesal karena aku membangkang dan pergi dari rumah. Tapi amarahnya kali ini dia tujukan kepada Amalia langsung.Pria itu melempar kertas di atas meja setelah memastikanku duduk di tempat. Pak Basuki rupanya turut serta dan berdiri di belakangnya.Amalia sendiri langsung mengatupkan bibir, seperti takut menghadapi amarah suamiku."Berani-beraninya kau menghancurkan mental istriku. Apa kau pikir aku akan diam saja, hah? Ratusan juta sudah kukeluarkan untukmu dan keluargamu. Tapi kau rupanya tidak puas juga." "Itu tidak sebanding denga
Egois. Ingin sekali aku meneriakan kata itu di depan wajah Arfan. Tapi semuanya tidak ada gunanya. Arfan benar. Sesuatu yang dipaksakan memang tidak akan berakhir dengan bahagia. Apalagi jika Arfan melakukan semuanya dengan kepura-puraan, hati Yanti pasti akan jauh lebih sakit kalau dia tidak dicintai sepenuh hati oleh suaminya sendiri.“Makanya, Ya, aku pikir inilah jalan terbaik untuk kami berdua.” Hening setelah perbincangan ini. Arfan pasti sudah memikirkan secara matang-matang. Tapi, meski aku merasa ini tidak adil untuk Yanti, toh mereka berdua sudah memutuskan dan aku berharap Yanti mendapatkan kebahagiaan lain dalam hidupnya. Ya, mungkin dia sengaja pergi untuk melupakan semuanya dan menjalani hidup baru. Aku berharap saat dia kembali nanti, akan ada cahaya cinta di hatinya untuk orang lain yang juga merasakan hal yang sama untuknya.“Jadi apa yang akan kau lakukan setelah menghancurkan hati sahabatku, hm?”Arfan terkekeh. “Kau sudah tahu apa yang aku inginkan tanpa harus
Kabar tentang hubungan Yanti dan Arfan terhenti begitu saja. Aku terlalu sibuk mengurusi persiapan pernikahan kak Anisa dan Abbas yang akan digelar di kota kembang. Sengaja aku boyong ketiga anakku ke sana, sekalian ingin liburan, juga ingin menenangkan hati dan pikiran. Tentu saja tanpa Pak Bas apalagi Arfan dan Yanti.Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri, tanpa ada campur tanganku. Lagi pula mereka sudah dewasa untuk menentukan pilihan, yang jelas semoga Arfan lebih bijak dalam menyikapi perasaannya pada sahabatku tersebut. Mbak Titin dan Mbak Ros juga Anjas turut serta mendampingiku ke Bandung. Beruntung rumah ayah cukup besar untuk dihuni oleh beberapa orang lagi, hingga tidak perlu berdesakan apalagi berbagi kamar hanya untuk menghabiskan waktu istirahat. Tiap hari aku dan keluarga berkeliling di kota Bandung. Selain mencari hiburan juga menjelajah wisata kuliner sambil hunting beberapa barang untuk keperluan pernikahan. Hingga tiga hari sebelum acara sakral i
Setelah hampir satu jam mengobrol, akhirnya mereka pamit untuk pulang. Aku kembali ke dalam kamar, mengistirahatkan badan yang terasa lelah. Tiga anakku ikut tidur dalam satu kamar, jadinya kami harus berbagai tempat tidur. Untunglah tubuh mereka masih kecil hingga tidak membuat tempat tidur ini sempit karena ukurannya yang cukup besar. Aku hampir memejamkan mata saat mendengar suara ketukan di pintu. Tok tok tok!“Cahya, apa kamu sudah tidur?”‘Yanti?’ Buru-buru ‘ku buka pintu setelah mendengar siapa yang memanggil-manggil namaku. “Ada apa, Yan? Kenapa kamu terlihat cemas sekali?” Kuajak wanita itu masuk ke dalam kamar. Yanti menggeleng segera, “Sejak tadi Arfan belum pulang, Ya. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” jawabnya cemas. ‘Kulirik jam yang bertengger di tembok. Waktu menunjukkan hampir tengah malam. “Ke mana kira-kira suamimu pergi? Apa ada masalah sebelumnya hingga dia pergi begitu saja?”“Entahlah, aku juga tidak tahu. Dia pergi setelah kedatangan orang tua Pak Bas
“Maksudnya, liburan ke mana, ya, Pak?” Aku terus mengekor di belakang Pak Bas ketika pria itu menyapa anak-anak. Pria yang masih mengabaikanku itu hanya menjawab dengan senyuman, tanpa ada niat untuk bersuara. Anak-anak langsung antusias masuk ke dalam mobil dan memintaku untuk masuk juga dengan gerakan kepalanya. “Udah, masuk aja sana, kita butuh refreshing setelah kamu menghadapi hari-hari yang buruk juga menghadapi kasus tentang suamimu. Kebetulan Ayah juga sudah bosan tinggal di rumah terus dan ingin menghirup udara segar,” timpal Ayah seolah-olah keduanya sudah merencanakannya.Aku tak bersuara dan memilih masuk ke dalam mobil, lalu duduk di samping pria itu. Kendaraan pun meluncur ke arah puncak. Iring-iringan dua kendaraan langsung berhenti di salah satu tempat yang kuduga adalah villa yang entah milik siapa. Sepanjang perjalanan tadi, bahkan kami tidak saling bicara, aku juga tidak ada niat untuk bertanya macam-macam pada pria yang terlihat bahagia, dengan sesekali menimpal
Arfan tampak salah tingkah ketika aku meninggalkan mereka berdua. Bisa dilihat dari auranya, kalau Yanti yang tidak ikhlas dan masih ragu dengan kesungguhan suaminya. Padahal mati-matian sudah kukatakan kalau aku tidak berharap atau memberi harapan apapun pada pria itu. Bahkan ketika aku berjalan ke parkiran dan menunggu taksi, di balik kaca kelihatan keduanya sedang bertengkar. Berulang kali Yanti menunjuk-nunjuk wajah Arfan. Melihatnya keduanya yang emosi, aku hanya bisa mendesah. Mereka bahkan bukan anak kecil yang harus mempermasalahkan kehadiranku diantara hubungan mereka. Haruskah aku menerima perasaan Pak Bas saja, agar Yanti dan Arfan lebih tenang?Kembali ke rumah, aku dikejutkan dengan suara gedoran dari pintu yang tertutup rapat. Telingaku awas mendengar suara seseorang yang berteriak di luar sana. “Buka, Cahya! Buka! Aku tahu kamu ada di dalam!” Mbak Ros memburu ke arah pintu setelah aku mengiyakan. Di sana, Dewi dan Fida langsung melotot sambil memburu masuk ke dala
“Kalau kau bener-bener mengetahui apa yang terjadi dengan suamiku alias iparmu, kenapa kau tidak bicara langsung setelah kecelakaan itu?” Aku bertanya dengan tegas pada Andika, tak peduli seandainya Dewi akan marah kalau aku bicara dengan suaminya malam- malam begini.Andika tidak langsung menyahut. Kuat dugaan dia hanya asal bicara dan menginginkan sesuatu dariku. Uang, ya, dalam otak mereka hanya itu yang penting. Apalagi aku tahu bagaimana Andika selama ini. Pria pemalas itu akan menghalalkan segala macam cara untuk mendapatkan uang. “Tenanglah, Cahya. Aku memang sedikit salah. Awalnya aku tidak mau memberitahukan ini padamu karena toh Frans juga sudah mati. Hanya saja, setelah penjelasanmu pada Fida dan Dewi, keduanya jadi sedikit pintar sekarang. Bahkan Dewi tidak mau memberikan sebagian uangnya untukku. Wanita itu keukeuh ingin membuka usaha sesuai dengan apa yang kau sarankan sebelumnya.”Oh, jadi itu alasannya. Bagus juga sih, setidaknya otak Dewi pintar juga. Mungkin Andik
“Yan, kalau kamu ada masalah. Aku siap kok dengerin curhatan kamu, sama seperti selama ini kamu selalu mendengar curhatanku.” Aku menahan tangan wanita itu yang ngeloyor hendak pergi ke ruang tamu. Melihat tingkahnya yang begini, aku hafal benar kalau ada yang tengah dia sembunyikan, atau bisa jadi ini tentang pernikahannya tidak baik-baik saja. Atau jangan-jangan bener yang apa yang aku pikirkan selama ini, kalau Arfan belum bisa menerima istrinya sepenuh hati, dan itu gara-gara perasaannya terhadapku.Tatapan Yanti beralih pada Abbas. “Sekarang aku sadar saat melihat Abbas, kalau ternyata cinta pertama memang tidak semudah itu dibuang,” ujarnya lesu tidak seperti saat datang tadi, Yanti terlihat sumringah. Abbas yang keheranan pun hanya menautkan alisnya bingung.Tak mau bertanya lebih lanjut karena ingin menghargai privasinya, aku memilih menyudahi obrolan. Tapi berharap suatu hari nanti Yanti akan menjelaskan semuanya. Mungkin aku terkesan kepo, tapi itu karena aku sangat pedul
Selesai makan siang bersama, kami bicara serius di ruang tamu. Sesuai kesepakatan, Ibu mendapatkan beberapa bagian peninggalan, berupa deposito, tabungan, serta bidang tanah di satu tempat. Terserah Ibu mau membaginya lagi kepada dua putrinya, aku menyerahkan semuanya pada Ibu. Yang jelas Fida dan Dewi sudah punya bagiannya masing-masing. Hanya saja Pak Bas mengingatkan agar kalau mau membaginya lagi, harus disaksikan oleh orang-orang yang berkumpul ini. Tentunya kami semua tidak mau kalau seandainya Fida dan Dewi malah memanfaatkan harta peninggalan Mas Frans untuk kepentingannya sendiri.Kami semua juga tahu kalau Doni dan Andika adalah orang luar, yang takutnya ingin menggasak harta kekayaan ibu mertua. Sementara keduanya adalah pria pemalas, yang di kantor saja sering mendapatkan SP karena kinerjanya kurang memuaskan. Hal itu juga dijelaskan oleh Pak Agung saat aku berkunjung ke kantornya waktu itu. Kalau bukan karena Mas Frans, keduanya mungkin sudah dipecat sejak beberapa bu
Bab 51"Yang mana?"Aku terkejut bukan main. Lekas kuletakkan sandwich yang baru kugigit separuh. Tatapanku tertuju ke arah pandang Anjas sekarang."Yang itu, yang pakai kemeja biru langit. Kayaknya aku pernah melihatnya, tapi di mana, ya?!" Anjas tampak mengingat- ingat sambil menekan- nekan dagunya. Sandwich itu baru satu gigitan dimakan olehnya.Aku kembali memundurkan tubuh ke belakang sambil bersandar. Orang yang dimaksud Anjas bukan salah satu pria yang mengikuti ke kantor polisi."Eh, Bu Cahya sendiri kenal nggak sama orang itu?" Aku menggeleng."Sepertinya beda divisi," jawabku.Anjas mengangguk lemah. Satu jam kemudian, semua orang sudah masuk kantor. Aku berjalan ke dalam sendirian untuk bertemu dengan Pak Agung, mengurus tunjangan yang akan diberikan oleh perusahaan. Sengaja aku datang ke tempat ini mengajak Anjas, dan menolak staf kantor yang akan datang ke rumah. Tapi sepertinya aku