Bab 21"Mas, kamu marah sama aku?" "Nggak," jawabnya singkat tapi ketus."Tapi, sikapmu kenapa dingin gini sama aku?"Bukan tanpa alasan, setelah bicara dengan Arfan, priaku itu terlihat diam. Bahkan saat kami berkeliling di mall tadi sikapnya tak berubah. Meski suasana sedikit mencair karena keceriaan Devia dan Devan, tapi setelahmya Mas Frans kembali memasang wajah dingin. Berbagai kemeja dan keperluan kantor yang kutawarkan ditolak mentah-mentah, padahal aku berinisiatif membelikannya. Mas Frans, meskipun pria tapi dia seorang shopaholic, yang kalau nge-mall pasti ada saja yang dibelinya; entah itu pakaian, jas, aksesoris, termasuk sepatu baru yang harganya fantastis. Tapi, kali ini nggak begitu. Dia aneh."Kamu masih ngeblokir nomor di Arfan, 'kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Kami dalam perjalanan pulang. Anak-anak sudah tertidur di pangkuan."Iya, Mas. Aku nggak berani buka kalau kamu nggak ridho," ujarku
Bab 22"Kenapa kamu menatap saya seperti itu?"Aku bertanya heran sambil mempersilahkannya untuk duduk di sofa."Eh, ng-nggak."Wanita yang kutaksir berusia di sekitar 25 tahun itu tergagap. Sama sekali tidak ada kaget, justru lebih pada sikap terkejut.Kemudian kuceritakan tentang Ridho dan kutunjukkan kamarnya, dan apa yang harus dia lakukan dalam merawat anakku. wanita itu kebanyakan mengangguk dan tak sekalipun menyela ucapanku."Bapak dan Ibu, tiap hari berangkat ke kantor atau semacamnya?"Wanita itu masih berdiri di depan pintu kamar yang sudah kutunjuk. Aku cukup heran dengan pertanyaannya yang tak masuk akal."Kenapa memangnya, Sus? Apa itu masalah?""Emh, nggak. Saya hanya bertanya, kok. Nggak ada maksud apa-apa," jawabnya dingin tanpa terlihat salah tingkah."Oh. Kalau mbak ingin tahu, saya tiap hari ada di rumah untuk menjaga anak. Saya tidak bekerja dan saya sangat jarang sekali k
Bab 23"Apa pedulimu dengan anakku, sementara saat ini kau terus-terusan memojokkan dan berniat membuangku!!Sintia berteriak. Dia melayangkan tatapan tajam. Tangannya hampir terangkat untuk menampar suamiku, namun segera kutarik kasar."Dasar wanita tidak punya hati nurani. Selama anakmu di rumah sakit kau bahkan tidak pernah menjenguknya sekalipun. Kau sibuk mengejar pria yang sama sekali tidak sudi berbagi raga denganmu. Kau benar-benar perempuan menyedihkan.""Tahan emosi, Bu Cahya." Pak Basuki menengahi."Sudah, Sayang. Ayo pergi."Mas Frans menarik tanganku dengan cepat. Kutinggalkan wanita itu disusul dengan Ibu yang mengikuti dari belakang.Berbeda dengan sebelumnya, Ibu tidak banyak bicara. Dia bahkan ikut masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang."Apa sesuatu yang buruk terjadi pada Hasan?" tanyaku pada Mas Frans. Kendati memasang wajah serius, pria itu mengangguk sementara sebelah tangannya men
Bab 24Menjelang malam, keadaan Ridho mulai stabil. Menurut dokter anak itu bisa dibawa pulang setelah beberapa hari, itu pun setelah nanti pihak dokter memastikan keadaannya. Bayi yang lahir prematur memang rentan terkena penyakit. Tapi, kuharap ini bukan ulah wanita bernama Amalia yang baru dipekerjakan oleh Mas Frans beberapa jam sebelumnya.Aku dan Mas Frans tak langsung pulang ke rumah. Tapi melipir ke rumah kontrakan Abbas. Meskipun Hasan pasti sudah dikebumikan, tapi aku belum mengucapkan belasungkawa langsung padanya.Ketika kami sampai, ternyata tahlilan sedang digelar. Pelataran parkir dan halaman kontrakan dipasangi terpal untuk duduk, sementara para jemaah sudah mulai berdatangan dan sedang melafalkan doa-doa untuk almarhum.Mas Frans menunjuk beberapa orang yang dikenalkan sebagai orang tua Sintia dan juga kerabat dari pihaknya. Hebat, betapa pria itu mengenal baik keluarga istri penipunya sebelum menikah. Aku penasaran, ber
Bab 25Aku baru saja sadarkan diri ketika melihat Ibu mertua dan Mas Frans berada tak jauh berdiri dariku. Keduanya menatap cemas."Mas."Rasa perih di perut membuatku meringis."Biar Mas bantu."Mas Frans membantuku untuk bersandar pada bantal."Jangan banyak bergerak. Lukamu baru saja dijahit oleh dokter, beruntung keadaanmu tidak terlalu parah. Hanya terkena goresan kulit bagian samping," paparnya menjelaskan membuatku lega.Aku mengingat kejadian yang menimpaku yang diakibatkan oleh Amalia. Wanita itu, benarkah dia anak seseorang yang tak sengaja kutabrak waktu itu?"Bagaimana dengan Amalia, Mas?" Aku yang tak sabar langsung saja bertanya."Mas sudah membawanya ke kantor polisi, dan sudah membuat laporan. Kamu tenang saja, Basuki sudah mengurus semuanya.""Tapi ini salahku, Mas. Aku yang telah menabrak ibunya. Jadi wajar jika Amalia melakukan hal ini padaku. Tolong Mas bebaskan dia," pintak
Bab 26Tak sampai di sana, sepeninggal Ibu mertua dua wanita yang tidak ingin kutemui keberadaannya malah datang ke sini. Fida dan Dewi menghambur masuk sambil memasang wajah ketus.Apalagi yang mereka inginkan kali ini?"Keadaan Mbak sepertinya baik-baik saja," ujar Dewi tanpa sedikitpun rasa iba. "Ya, terus?" tanyaku.Dasar anak ini. Haruskah kuperlihatkan lukaku agar dia melihat goresan besar di perutku."Jangan gitu, Wi." Fida salah tingkah saat mataku menatap dingin pada mereka."M-maaf, Mbak. Dia sedikit kesal karena ditegur Mas Frans tadi," sahut Fida membela adiknya."Mau apa kalian ke mari? Kalau tak ikhlas menjenguk sebaiknya kalian pulang saja," usirku. Rasanya malas meladeni dua orang tidak penting ini. "Ya ampun. Nggak kamu, nggak suamimu memang bener-bener pasangan yang klop, ya. Sama-sama tukang ngusir orang. Eh, atau Mas Frans ketularan kamu lagi, hingga ikut-ikutan ngusir keluarganya
Bab 27"Apa yang kau lakukan pada istriku?"Mas Frans memburu ke arahku, lalu menyuruhku untuk berdiri.Pandangan priaku itu tidak pernah semarah ini, meskipun kami sering bertengkar. Belakangan setelah kulihat dia menikahi Sintia dan menghadapi kasus tentang tabrak lari yang kulakukan pada ibunya Amalia, dia jadi sering emosi."Mas?""Diamlah," ucapnya singkat. Aku tahu dia kesal karena aku membangkang dan pergi dari rumah. Tapi amarahnya kali ini dia tujukan kepada Amalia langsung.Pria itu melempar kertas di atas meja setelah memastikanku duduk di tempat. Pak Basuki rupanya turut serta dan berdiri di belakangnya.Amalia sendiri langsung mengatupkan bibir, seperti takut menghadapi amarah suamiku."Berani-beraninya kau menghancurkan mental istriku. Apa kau pikir aku akan diam saja, hah? Ratusan juta sudah kukeluarkan untukmu dan keluargamu. Tapi kau rupanya tidak puas juga." "Itu tidak sebanding denga
Bab 28"Emh, kita tidak bisa bicara di telepon. Aku akan datang ke rumah Mbak besok," ucapnya tanpa rasa malu."Baiklah, terserah apa maumu," balasku sambil menutup panggilan telepon."Apa yang ingin dibicarakan oleh Dewi?" Mas Frans bertanya setelah aku mengembalikan ponsel miliknya. Aku pun menceritakan permintaan wanita itu tentang kesepakatan, tanpa dilebih-lebihkan atau dikurangi. Setidaknya kakaknya harus tahu apa yang diinginkan oleh adiknya yang tidak tahu terima kasih itu.Mas Frans berdecak kesal sebelum menjawab."Apa yang diinginkan Dewi sebenarnya?" gumamnya sambil membuang nafas berat. "Aku tak tahu, Mas. Tapi kupikir ini ada hubungannya dengan biaya kontrol yang kita hentikan. Atau bisa jadi dia akan membujukku tentang masalah keuangan Ibu. Siapa yang tahu." "Cahya, Frans, ayo makan siang. Semuanya udah siap. Ajak anak-anak juga."Cepat aku beranjak saat Yanti memanggil dari arah