Bab 13
Aku duduk di balkon, menikmati teh manis sambil menunggu Mas Frans yang pasti akan segera pulang. Kalau beruntung dia akan bersama Sintia untuk melabrakku, tapi kalau dugaanku tidak meleset, pria itu akan datang sendirian.Tiitt …!Suara klakson ditekan kencang. Mobil hitam memasuki parkiran. Tak lama kemudian, taksi berwarna biru juga berhenti di bahu jalan. Sintia muncul dengan amarahnya. Apa mereka kejar-kejaran di jalan?"Cahya!""Cahya, keluar kau dan hadapi aku!""Buka gerbangnya, buka!"Wanita itu berteriak-teriak seperti orang gila. Kakiku bersilang menatap puas dari lantai atas. Dia tak sadar aku sedang memperhatikannya. Beruntung kamar anak-anakku ada di bagian belakang lantai dua. Mereka tak akan tahu apalagi terganggu.Dari arah pintu, Mas Frans ikut memburu. Nafasnya terlihat tersengal-sengal karena kelelahan dan bercampur amarah. Kasihan kamu, Mas, mau unboxing malah zonk.Bab 14"Tumben Papa belum bangun." Devia langsung naik ke atas tempat tidur dan mengguncang lengan papanya. Untung pakaiannya sudah dikarenakan.Akan sangat gawat jika putri kecilku itu melihat papanya tidak memakai baju. Pikirannya akan berkelana mengingat usianya belum sampai ke tahap itu.Berbeda dengan Devia yang mengguncang-guncang lengan Mas Frans, hingga pria itu mengerjap dan duduk, Devan yang sudah berusia 5 tahun berdiri di samping tempat tidur.Anak itu melirik ke atas jam dinding, kemudian menyalakan lampu utama."Kita shalat berjamaah di rumah aja, Pa. Ujan gede di luar. Buruan, jangan sampai waktu subuh kelewat," ujar anak itu mengingatkan.Baik aku, Mbak Titin serta Mas Frans, selalu berusaha untuk membiasakan jadwal anak-anak. Mereka akan tidur di awal waktu dan bangun tepat saat adzan subuh berkumandang. Apalagi didikan sholat sudah kutanamkan sejak kecil.Saat usia sebelum baligh, aku berjanji
Bab 15Lima belas menit kemudian, mobil Mas Frans kembali ke halaman. Pria itu mengantarkan Devia, setelah tadi ikut mengantar kakaknya dan Mbak Titin ke TK.Beruntung Sintia sudah pergi. Wanita itu pasti tidak menduga kalau suamiku akan kembali mengantarkan anak keduaku."Nanti kita ke rumah sakit, ya, Mas," ujarku saat Mas Frans duduk di bangku kemudi."Ok. Aku usahakan pulang kantor lebih cepat atau saat istirahat kita pergi," jawabnya. Mobil pun melaju setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan. Aku masuk ke rumah bersama dengan Devia. Siang harinya Mas Frans menghubungi. Aku sudah siap dengan pakaian serba panjang. Lima menit kemudian suara klakson mobil terdengar di halaman. Devia merengek ingin ikut serta setelah bertengkar dengan kakaknya.Aku mengalah dan mengajaknya juga. Bergegas keluar dari rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Sintia yang duduk di bangku belakang. "Eum, Cahya, Mas akan jelaskan nanti."
Bab 16"Ibu ini yang bagaimana, masa menikahkanku dengan seorang wanita yang masih bersuami!" protes Mas Frans tak terima.…"Tidak. Aku tidak ingin terlibat dalam dosa zina. Walau bagaimanapun semuanya harus berakhir. Lagian Cahya juga sudah berperan untuk menyenangkanku," katanya lagi.…"Sebaiknya kita bicara langsung. Sore ini aku akan mengajak Cahya dan wanita itu ke rumah Ibu. Tunggu saja," ujar Mas Frans sambil menutup sambungan.Aku mendekat setelah memastikan priaku itu selesai. Aku menyentuh bahu suamiku. Pria itu menoleh. Terlihat kekesalan dalam wajahnya yang putih bersih."Siapa yang menghubungi, Mas?""Ibu," jawabnya singkat. Aku berohria. "Cahya, nanti kita ngobrol di rumah Ibu untuk berdiskusi. Aku harus mengakhiri semua kegilaan ini," kata Mas Frans lagi. Aku bingung memikirkan pikiran Ibu yang dalam hal ini kenapa ngotot dan tidak terima. Wanita itu kenapa lebih membela Sintia da
Bab 17"Bagus kalau kamu masih percaya, bahkan setelah pria itu menikah diam-diam." Sindiran Arfan membuatku terdiam. Meskipun ngomongnya asal jeplak dan pecicilan, Arfan benar. Tapi bukankah tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Apalagi Mas Frans melakukannya karena terpaksa, setelah kebutuhan batinnya tidak terpenuhi."Sudahlah, lupakan itu. Oh ya, aku mau minta tolong padamu, Arf," ujarku agar tidak terlalu lama terlibat obrolan dengannya."Katakan," sahutnya cepat. "Waktu kejadian hari itu, aku tak sengaja menabrak seorang wanita di jalan. Saat itu aku tidak mengingat apapun karena aku langsung dibawa ke rumah sakit," tuturku."Hmm, aku curiga kau membawa misi baru untukku," sela pria itu menebak maksud perkataanku."Ya itulah sebabnya aku minta tolong padamu, Arfan. Tolong aku sekali lagi. Aku ingin tahu siapa orang itu dan keluarganya. Aku sudah bertanya langsung kepada Mas Frans tapi dia tidak mengatak
Bab 18"Apa kau bilang?!" Ibu mertua angkat suara. Kulihat wajahnya yang seperti tumpukan baju-baju kotor tampak tidak sedap dipandang.Aku mendekat ke arah mereka. Mbak Titin berinisiatif mengajak anak-anakku pergi setelah memasukkan bekalnya ke dalam ransel milik Devan."Ayo kita berangkat sekarang, nanti lanjut sarapannya di mobil aja." Mbak Titin membawa piring makan Devan beserta air minumnya."Tapi aku masih ingin makan bareng Papa.""Aku juga!" Devia ikut bicara. Anak itu melirik ke arah Mas Frans yang ikut berdiri. Dia memasang wajah serius."Bu, kita bicara setelah anak-anak berangkat sekolah. Dan Mbak, ajak Devia ke sekolah juga, ya." Mas Frans melirik pada pengasuh anak-anak yang dibalas dengan anggukan cepat."Papa, aku mau berangkat bareng Papa!" Devan dan Devia merajuk."Nggak bisa, Nak. Papa ada urusan sama nenek. Nanti kita makan malam di luar, ya.""Papa janji?" Mata kedua anakku berbinar. Terlihat kegembiraan di wajahnya yang manis."Iya, kita ke mall juga. Udah l
Bab 19 Setelah putranya pergi, tatapan Ibu mertua kini menghunus tajam padaku. "Kau puas, gara-gara keegoisanmu itu, kau sudah memisahkan hubungan Ibu dan anak! Dasar wanita ib lis, bahkan sejak dulu aku tidak pernah menyukaimu," sentak Ibu mertua dengan nafas memburu. Aku sendiri semakin tidak menyangka Ibu bisa berkata lebih kasar padaku.Aku kembali duduk dan bersilang kaki. Memilih merentangkan kedua tangan di bahu sofa, sambil menatap pasangan wanita ular di depanku ini."Maaf ya, Bu, Mas Frans sudah dewasa dan sudah memiliki anak tiga. Dia punya pikiran sendiri dan tidak mungkin terus-terusan nyempil di ketiak Ibu untuk menuruti semua perintah dan keinginan Ibu," balasku sesantai mungkin.Berbeda dengan tadi yang kesal padanya setelah mendengar titahnya yang tak masuk akal, kini tiba-tiba saja aku merasa lega dan pikiranku tiba-tiba plong. Ibu tidak akan bisa berkutik setelah mendengar ancaman dari suamiku. Lagi pula siapa Sintia, hanya wanita miskin yang kekurangan dana dan b
Bab 20"Halo, Mas? Aku izin makan siang bareng Yanti dan Arfan, ya?"Kuhubungi suami lewat panggilan telepon. Walau bagaimanapun izinnya adalah yang utama. Terlebih aku akan bertemu dengan rivalnya."Hmm, ya udah. Hati-hati di jalan.""Mas tenang aja, aku bareng anak-anak dan diantar sopir kok," balasku agar Mas Frans tenang."Baiklah. Oh ya, siang ini Mas mau ketemu pengacara untuk membereskan masalah Sintia. Kalau dengan berdebat wanita itu masih tidak mau mundur, maka kita harus mencari cara lain agar wanita itu tidak mengganggu keluarga kita lagi. Dan ya, Mas mau minta maaf karena membawamu dalam masalah pelik ini. Mas nggak sangka semuanya akan jadi gini. Dan Ibu, tolong maafkan beliau. Mas merasa nggak enak hati sama kamu." Terdengar helaan nafas di ujung telepon. Aku mencoba mengangguk dan mengerti, tapi lupa kalau pria itu tidak bisa melihatnya. "Itu karena tidak ada ridho dari istri. Tapi Mas sudah mengambil keputusan yang terbaik. Bukan maksud mendukung, tapi Ibu memang be
Bab 21"Mas, kamu marah sama aku?" "Nggak," jawabnya singkat tapi ketus."Tapi, sikapmu kenapa dingin gini sama aku?"Bukan tanpa alasan, setelah bicara dengan Arfan, priaku itu terlihat diam. Bahkan saat kami berkeliling di mall tadi sikapnya tak berubah. Meski suasana sedikit mencair karena keceriaan Devia dan Devan, tapi setelahmya Mas Frans kembali memasang wajah dingin. Berbagai kemeja dan keperluan kantor yang kutawarkan ditolak mentah-mentah, padahal aku berinisiatif membelikannya. Mas Frans, meskipun pria tapi dia seorang shopaholic, yang kalau nge-mall pasti ada saja yang dibelinya; entah itu pakaian, jas, aksesoris, termasuk sepatu baru yang harganya fantastis. Tapi, kali ini nggak begitu. Dia aneh."Kamu masih ngeblokir nomor di Arfan, 'kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Kami dalam perjalanan pulang. Anak-anak sudah tertidur di pangkuan."Iya, Mas. Aku nggak berani buka kalau kamu nggak ridho," ujarku