Lama tidak menyapa kalian, Happy Reading 😍
Pagi itu, cahaya matahari memancar melalui jendela klinik, menerangi ruangan yang tenang. Luna duduk di depan dokter ginekologi, Dr. Wahyuningsih, dengan wajah yang pucat dan cemas. Ia memegang perutnya merasakan kecemasan yang mendalam."Dok, saya tidak siap untuk memiliki anak," kata Luna, suaranya teredam. "Saya ingin melakukan aborsi."Dokter wanita yang nampak begitu cantik itu menatap Luna dengan mata yang hangat dan penuh empati. "Luna, saya paham kecemasan Anda. Tapi, aborsi bukanlah solusi yang tepat. Bayi itu sudah berusia empat minggu. Apakah Anda yakin ingin melakukan hal ini?"Luna menunduk, tidak berani menatap dokter. "Saya tidak tahu, Dok. Saya hanya tahu saya tidak siap."Dokter itu mengambil napas dalam-dalam. "Luna, saya tidak bisa membantu Anda melakukan aborsi. Saya harus mempertimbangkan kesehatan Anda dan bayi tersebut. Selain itu, ada risiko komplikasi yang serius."Luna merasa kecewa dan putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Tapi, Dok saya tidak ingin
Saras berjalan santai di dalam mall, menikmati suasana yang ceria dan penuh warna. Ia berencana membeli perlengkapan bayi untuk persiapan kelahiran anaknya. Sopir Liam, Pak Tono, menunggu di parkiran, siap mengantar Saras kembali ke rumah. sebenarnya Liam kurang setuju, karena ia ingin menemani Saras. tapi, karena pekerjaan kantor yang begitu menumpuk membuat Liam harus mengalah dan memberikan izin pada Saras pergi sendiri.Saras memasuki toko perlengkapan bayi, matahari yang masuk melalui kaca patri membuat suasana toko semakin hangat. Ia mulai memilih-milih perlengkapan bayi, dari baju hingga mainan.Saat memilih baju bayi yang lucu, matanya tidak sengaja melihat siluet tubuh seseorang yang ia kenali sedang berjalan beriringan melewati toko. Saras merasa terkejut ketika melihat Luna dan Ricard berjalan bersama, berdampingan seperti pasangan.Raut wajah Luna terlihat tertekan, berbeda dengan Ricard yang nampak begitu santai. Mereka berdua berjalan pelan, Ricard mengobrol dengan Luna
Liam dan Saras memasuki rumah, mencari ketenangan setelah hari yang melelahkan. Mereka berjalan pelan, menuju ruang tamu. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Suara tembakan bergemuruh di halaman rumah, membuat mereka berdua terkejut. Liam langsung melindungi Saras, memeluknya erat. "Jangan khawatir, aku ada disini," katanya. Anak buah Liam bergegas keluar, menghadapi penyerang. Tembak-tembakan berlangsung beberapa menit, membuat suasana semakin tegang. Saras memejamkan mata, berdoa agar keadaan segera mereda. Tiba-tiba, suara tembakan berhenti. Hening. Liam melepaskan pelukannya, menatap Saras. "Aku akan memeriksa keadaan," katanya. Saras mengangguk, masih terlihat ketakutan. Liam berjalan keluar, menuju halaman. Anak buahnya sudah mengamankan area. "Siapa yang menyerang kita?" Liam bertanya. Salah satu anak buahnya, Riko, menjawab, "orang itu mengenakan topeng, Pak. Kami tidak bisa mengenali wajahnya." Liam menggigit gigi. "Cari informasi tentang penyerang ini. Aku in
Kamar Luna terasa sunyi dan gelap, hanya cahaya remang dari lampu meja menerangi wajahnya yang penuh kesedihan. Ia duduk di atas tempat tidur, memandang kekosongan dengan mata yang terlihat lelah dan penuh air mata.Ingatannya kembali pada saat Richard membawanya ke mall dengan janji belanja apa pun yang diinginkan. Luna terlihat bahagia, memilih gaun dan perhiasan dengan senyum ceria. Tapi, semuanya berubah ketika Richard membawanya ke sebuah klinik terpencil di luar kota.Luna mengingat ekspresi Richard yang berubah, dari senyum menjadi serius dan dingin. "Kita harus melakukan ini, Luna," katanya, suaranya tidak bisa diganggu gugat.Luna merasa cemas, tetapi Richard tidak memberinya pilihan. Ia dipaksa untuk melakukan tindakan aborsi, meninggalkan kesedihan dan trauma yang mendalam.Luna berbaring di meja operasi klinik yang terpencil, dikelilingi oleh dokter-dokter bayaran Richard yang terlihat dingin dan tidak berperasaan. Cahaya lampu operasi memancarkan cahaya terang, membuatnya
Klinik yang didatangi oleh Liam dan Saras terletak di jantung kota, dengan penampilan arsitektur bangunan yang modern dan elegan. Liam dan Saras tiba di klinik pada pagi hari, dengan senyum hangat dan harapan baru. Mereka berjalan melalui koridor yang bersih dan tenang, menuju ruang penerimaan pasien.Saras mengenakan gaun sederhana namun elegan, menonjolkan kehamilannya yang masih dini. Liam memegang tangannya, memberikan dukungan dan kasih sayang. "Semuanya akan baik-baik saja," katanya, dengan senyum tenang.Di ruang penerimaan, perawat cantik menyambut mereka dengan ramah. "Selamat pagi, Nyonya Saras. Silakan mengisi formulir pendaftaran."Saras mengisi formulir dengan hati-hati, sementara Liam memperhatikan sekeliling ruangan. Dekorasi yang hangat dan nyaman membuatnya merasa tenang.Setelah mengisi formulir, mereka dipanggil ke ruang USG. Dokter spesialis kehamilan, Dr. Amelia, menyambut mereka dengan senyum. "Selamat pagi, Nyonya Saras. Mari kita lihat perkembangan janin Anda."
Liam dan Saras berdiri di luar ruang ICU, memandang melalui jendela kaca yang besar. Mereka bisa melihat Rosa terbaring lemah di atas tempat tidur, dikelilingi peralatan medis canggih yang berderak-derak. Suasana di luar ruangan terasa tegang dan khawatir. Di dalam ruangan ICU, dokter dan tim medis bekerja cepat dan terkoordinasi. Dokter Amir, seorang dokter spesialis jantung, memimpin tim untuk menyelamatkan Rosa. Dia memerintahkan perawat untuk memeriksa tekanan darah dan denyut jantung Rosa. Perawat yang berpengalaman, segera memeriksa tekanan darah Rosa dengan alat monitor. "Tekanan darahnya 80/60 mmHg, dokter!" katanya dengan cepat. Dokter Amir mengangguk. "Berikan dia transfusi darah dan oksigen sekarang juga! Kita harus meningkatkan tekanan darahnya." Perawat yang bertugas mengatur peralatan medis, segera mengaktifkan mesin transfusi darah. Suara mesin tersebut berderak-derak, menunjukkan proses transfusi sedang berlangsung. Dokter Amir memeriksa monitor jantung Rosa. "Deny
Saras berjalan menyusuri koridor rumah sakit, mencari kantin untuk mengisi perut yang kosong. Namun, dia urungkan niatnya dan memutuskan mencari alternatif di luar.ia keluar dari rumah sakit dan menatap jalan raya yang sibuk. Rumah makan kecil di seberang jalan menarik perhatiannya. Saras mengambil napas dalam-dalam dan menyeberang jalan, memperhatikan lampu lalu lintas yang masih merah. walaupun dalam keadaan seperti ini, ia harus memikirkan tentang Liam dan ayah mertuanya, mereka harus tetap menjaga kesehatan dengan tidak melupakan makan. Saat ia menginjakkan kaki di tengah jalan, sebuah mobil melaju cepat dari arah kiri, mengabaikan lampu merah. Saras terkejut dan berhenti sejenak, tidak bisa bergerak.Seorang pria yang berjalan di belakangnya bereaksi cepat. ia menarik Saras ke belakang, menyelamatkannya dari tabrakan maut. Mobil tersebut melaju terus, tanpa meminta maaf.Saras terengah-engah, jantungnya berdebar kencang. "Terima kasih... saya hampir saja..." katanya pada pria i
Ricard dan Luna berdiri di tangga darurat rumah sakit, suasana sunyi dan tersembunyi dari pandangan orang lain. Cahaya lampu darurat memancarkan sinar merah, membuat wajah mereka terlihat tegang.Ricard menatap Luna dengan mata tajam. "Kau tahu ibu sudah sadar, kan? itulah alasanmu datang kemari…karena kau takut ibu akan mengungkapkan semuanya.”Luna mengangguk pelan, bibirnya bergetar. "Ya...aku takut Tante Rosa memberitahu ini semua pada Liam dan hal itu bisa menghancurkan rencanaku untuk memisahkan Liam dan Saras."Ricard mendekati Luna, suaranya pelan. "Kita harus menjaga rahasia kita, Luna. Tidak ada yang boleh tahu."Tiba-tiba, Luna berbicara dengan suara rendah. "Lalu,kita harus berbuat apa Ricard? Bagaimana jika Tante Rosa mengatakan semuanya?”Ricard diam, namun sorot matanya mengisyaratkan sesuatu.Luna menunduk, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku bingung, entah apa yang harus aku lakukan."Ricard tidak siap menghadapi konsekuensi ini.namun,hubungan mereka yang terlarang
Danuarta berjalan menuju ke mobilnya yang terparkir di depan rumahnya, dengan langkah yang terlihat mantap dan percaya diri. Cahaya matahari sore yang memancar dari langit membuat bayangan Danuarta terlihat panjang dan gagah. Vinso, yang berdiri di sampingnya, mencoba untuk menghalangi keinginan Danuarta."Pak,saya mohon jangan lakukan ini," Vinso berkata, dengan suara yang terdengar khawatir. "anda tidak tahu apa yang akan terjadi jika anda mendatangi rumah Liam. Mungkin ada bahaya yang mengintai di sana."Namun, Danuarta tidak menghiraukan peringatan Vinso. ia sudah bersiap untuk ke rumah Liam, dan tidak ada yang bisa menghalangi keinginannya. ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, dengan gerakan yang cepat dan percaya diri."Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," Danuarta berkata, dengan suara yang mantap dan percaya diri."Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu. aku harus tahu kebenaran tentang Liam dan apa yang dia lakukan pada putriku. Karena surat perjanjian yang k
Mobil yang ditumpangi Saras dan Liam sudah sampai rumah, dan Viktor tidak ikut turun. ia hanya memandang ke arah Saras dan Liam dengan mata yang terlihat sedikit khawatir, sebelum memutuskan untuk tidak ikut turun. Viktor memutuskan untuk kembali ke Perusahaan.Saras dan Liam keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah. Mereka tidak berbicara apa-apa, dan hanya memandang ke arah depan dengan mata yang terlihat sedikit marah dan kecewa.Saat mereka memasuki rumah, Saras langsung memandang ke arah Liam dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Liam, kau telah berbohong padaku," Saras berkata, dengan suara yang terdengar sedikit keras. Ia tidak peduli jika anak buah Liam yang berjaga diluar mendengar percakapan mereka. "Saras, aku tidak tahu apa maksud ucapanmu," sahut Liam mencoba untuk tetap tenang.Saras memandang ke arah Liam dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Kau telah berbohong padaku tentang ayah," Saras berkata, dengan suara yang terdengar lebih keras. "Tuduhan Ricard b
Ricard memandang ke arah Saras dan Liam dengan tatapan mata penuh semangat. Jujur saja ia suka melihat ekspresi panik keduanya. "Aku menculik Vinso karena aku ingin membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya," Ricard berkata, dengan suara yang terdengar meremehkan lawan bicaranya.Saras dan Liam terkejut dengan pengakuan Ricard. Mereka tidak bisa mempercayai bahwa Ricard telah menculik Vinso hanya untuk membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya. darimana ia tahu, jika Danuarta masih hidup?"Apa yang kau maksud, Ricard?" Saras bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit tidak percaya. "Aku telah menculik Vinso karena aku ingin membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya," Ricard berkata, dengan suara yang terdengar sedikit lebih keras. "Aku telah memiliki insting bahwa Danuarta masih hidup, dan aku ingin membuktikannya.apakah penjelasanku ini masih kurang?”Liam memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Ricard, apa yang kau pikirkan?" Liam bertanya,
Saras terkejut mendengar perkataan Ricard yang mengatakan bahwa ayahnya, Danuarta, ternyata masih hidup. ia merasa dadanya sesak dan seperti ada batu besar yang tengah menindihnya."Apa... apa yang kau katakan?" Saras bertanya, dengan suara yang bergetar, menahan rasa sesak yang ia rasakan.Ricard memandang ke arah Saras dengan tatapan mata yang begitu tajam. "Aku mengatakan bahwa ayahmu, Danuarta, masih hidup," ulang Ricard ,dengan suara yang terdengar sedikit lebih keras.Saras merasa seperti telah kehilangan kesadaran. Ia tidak bisa berbicara apa-apa, dan hanya bisa memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit kosong.Liam, yang duduk di sebelah Saras, memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit tidak percaya. "Apa yang kau katakan, Ricard?" Liam bertanya, dengan suara yang terdengar yang lebih keras lagi, membuat suasana semakin tegang.Ricard memandang ke arah Liam, kali ini tatapan mata meremehkan itu terlihat begitu jelas. "Aku mengatakan bahwa mert
Liam berdiri dari tempat duduknya, dengan mata yang terlihat begitu marah. ia bersiap untuk menghajar Ricard, karena tidak bisa menolerir tatapan mata Ricard yang terlihat begitu intens terhadap Saras.Baru beberapa langkah, Liam sudah siap untuk menyerang Ricard. Tapi, tiba-tiba saja Saras memeluknya erat dari belakang. Saras tidak ingin ada pertengkaran, dan ia ingin melindungi Liam dari kemarahan yang sedang memuncak."Liam, jangan!" Saras berkata, dengan suara yang terdengar sedikit tidak nyaman. "Jangan lakukan hal itu, Liam. aku tidak ingin ada pertengkaran."Liam merasa tidak nyaman, karena Saras memeluknya erat dari belakang. ia tidak bisa bergerak, karena Saras memeluknya dengan begitu erat."Aku tidak bisa mentolerir hal itu, Saras," Liam berkata, dengan suara yang terdengar sedikit marah. "Aku tidak bisa menolerir Ricard yang memandangmu dengan tatapan seperti itu.”Saras memeluk Liam dengan lebih erat, dan ia memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit tidak
Danuarta terkejut setelah mengetahui bahwa Saras telah hamil. ia merasa seperti telah dipukul oleh petir, dan tidak bisa berbicara apa-apa. Vinso, yang duduk di sebelahnya, memandang ke arah Danuarta dengan mata yang terlihat khawatir."Maaf pak, saya harus mengatakan hal ini. tapi, saya juga tidak dapat terus menutupi hal ini terus menerus, karena suatu saat nanti anda pun akan mendengarnya.”" Vinso bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit khawatir.Danuarta tidak bisa berbicara apa-apa. ia hanya bisa memandang ke luar jendela, dengan mata yang terlihat sedikit kosong. ia merasa sangat sedih, karena dirinya telah mendorong Saras ke dalam lingkaran dendam antar keluarga.Danuarta memejamkan matanya, dengan wajah yang ia tundukan."Ya, aku telah mendorong Saras ke dalam lingkaran dendam antar dua keluarga," Danuarta berkata, dengan suara yang terdengar sedikit terharu. "Aku merasa sangat bersalah, karena aku telah membuat Saras hamil dalam keadaan seperti ini."Vinso memandang ke
Vinso duduk di atas tempat tidur rumah sakit, memandang ke luar jendela dengan mata yang terlihat sedikit lelah. ia baru saja selesai melakukan pemeriksaan dengan dokter, dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter mengatakan bahwa keadaannya sudah mulai membaik, dan ia bisa pulang hari ini.Vinso merasa sangat lega mendengar kabar itu. ia sudah bosan berada di rumah sakit selama beberapa hari terakhir. ia ingin segera pulang dan kembali ke rutinitas normalnya. terutama memberikan kabar pada Saras tentang keadaannya.Danuarta, yang duduk di sebelah Vinso, ikut senang mendengar kabar itu. ia memandang ke arah Vinso dengan mata yang terlihat sedikit gembira."Senang sekali, Vinso," Danuarta berkata, dengan suara yang terdengar sedikit hangat. "Kau sudah bisa pulang hari ini."Vinso mengangguk, dan terlihat sedikit lega. "Ya, aku sudah bosan berada di sini," sahut Vinso dengan menampilkan senyum pada wajahnya.Danuarta mengangguk, dan segera mengambil ponselnya. "Aku akan menghubungi anak buah
Mobil Liam yang dikendarai oleh Viktor sudah sampai di rumah sakit. Viktor memandang ke sekelilingnya, mencari tempat parkir yang tersedia. Setelah beberapa detik, ia menemukan tempat parkir yang kosong dan memarkirkan mobil di sana.Liam memandang ke luar jendela, melihat rumah sakit yang terlihat sangat besar dan megah. ia merasa sedikit khawatir, tidak tahu apa yang akan terjadi ketika ibunya akan kembali pada setelan awal, yaitu kembali tidak menyukai Saras.Viktor memandang ke arah Liam, melihat bahwa bosnya terlihat sedikit khawatir. "Jangan khawatir, Tuan Liam," Viktor berkata, dengan suara yang terdengar sedikit menenangkan. "Semuanya akan baik-baik saja."Liam mengangguk, memandang ke luar jendela lagi. ia melihat bahwa Anjaswara dan Rosa sudah menunggunya di depan rumah sakit.Anjaswara dan Rosa berjalan menuju mobil, dan Viktor membuka pintu mobil untuk mereka. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan Viktor menutup pintu mobil lagi.Liam memandang ke arah Rosa,melihat bahwa
Mobil Taksi yang ditumpangi Luna kehilangan jejak mobil yang saat ini membawa Liam. Luna begitu kesal, tapi tidak dapat berbuat banyak dan pasrah. ia memandang ke luar jendela, melihat mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan, tapi tidak ada tanda-tanda mobil yang membawa Liam.Luna menghela napas, merasa frustrasi karena tidak dapat menemukan Liam. ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia tahu bahwa dia tidak dapat menyerah. ia harus terus mencari Liam, tidak peduli apa pun yang terjadi.Sementara itu, Viktor yang sedang mengendarai mobil hanya duduk tenang menyetir. ia tidak terganggu oleh kejadian yang baru saja terjadi, dan ia terus memandang ke jalan, memastikan bahwa tidak melakukan kesalahan.Liam, yang duduk di sebelah Viktor, terlihat sedang menerima telepon dari seseorang."Ayah, apa yang terjadi?" Liam bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit khawatir."Hari ini, ibumu, sudah diperbolehkan pulang ke rumah," Anjaswara berkata, dengan suara yang terdengar sedikit