“Untuk apa kau mencari suamiku?”Dzurriya berbalik dengan begitu terkejut mendapati Alexa telah berdiri di belakangnya. ‘Sejak kapan wanita itu berdiri disana?’ pikirnya terkesiap kaget.“Malah bengong, jawab kurang ajar,” bentak Alexa, membuat Dzurriya tersentak kaget. Keringatnya mulai bermunculan dari sisi dahinya.Wanita itu kini berjalan ke arahnya dengan begitu tenang. Decak heelsnya menggetarkan nyali Dzurriya. Entah apa yang akan dilakukan wanita itu padanya. Apalagi matanya terlihat begitu tajam menatap Dzurriya.“Ada apa ini?” tanya Eshan yang baru masuk ke ruangan itu dengan begitu tenangnya. Dia telah berganti pakaian.Dzurriya balik menatap suaminya yang juga sedang menatapnya itu.Berbeda dengan Alexa yang bukannya berbalik atau menjawab pertanyaan Eshan, tapi malah berkata lirih pada Dzurriya sambil melotot, “jangan pernah berpikir untuk menyukainya apalagi merebutnya dariku, atau aku akan membuat hidupmu sengsara,”Seketika Dzurriya mengalihkan pandangan ke arah Alexa
Dzurriya mendongak jauh ke angkasa sambil memayungi sebagian wajahnya yang silau oleh sinar mentari dengan punggung tangannya.‘Ternyata memaksa menatap sesuatu yang jauh dari kemampuan kita itu menyakitkan’Desah Dzurriya kemudian menatap jendela-jendela di atasnya.‘Mas, makasih buburnya kemarin, enak’Gumam Dzurriya dalam hati. Karena marah, ia belum sempat berterima kasih pada suaminya kemarin malam.“Ternyata kau ada di sini?” Dzurriya menoleh ke arah Ryan yang kini tengah berjalan ke arahnya sambil menenteng kresek hitam di tangan kanannya.“Ini, untukmu,” ujar Ryan sambil menyerahkan bungkusan itu padanya.“Apa ini?” Ucapnya penasaran.“Lihatlah sendi..” Belum selesai Ryan berkata, kresek itu sudah dibuka. Seketika wajah Dzurriya berubah begitu senang.“Kelengkeng,” ujar Dzurriya sambil menatap Ryan yang mengangguk ikut senang.“Makasih ya,” seru Dzurriya sambil menaruh plastik itu di sebelahnya. Ia mulai mengupas buah itu dan memakannya. Saking sukanya, ia mengulum buah itu
“Kau dokter, harusnya kau tahu kalau ia harus beristirahat dengan baik,” ujar Dzurriya menirukan kalimat dan gaya bicara Eshan yang berat di depan cermin, sambil menyampirkan jaket hitam pemberian suaminya itu di punggungnya. Ia berlagak gagah seperti Eshan, kemudian mengakhiri kalimatnya tadi dengan tersenyum malu sambil menutup mulut dengan telapak tangannya. Setelah itu, ia lepas jaket itu dan menjembengnya di depan cermin. Kemudian bersiap mengubah suara dengan batuk-batuk. “Memangnya, Bapak Eshan tau cara merawat istrimu ini dengan baik?” ujarnya lembut dan manja sambil mengibas-kibas bagian bawah kerah jaket itu dengan telapak tangan kanannya.Ucapannya itu membuatnya begitu senang dan tersipu malu sendiri. Ia tutup sekarang seluruh wajahnya dengan telapak tangannya. Lalu mengintip sedikit ke arah cermin, melihat wajahnya sendiri. Sedikit demi sedikit, ia mulai menurunkan tangannya dari mukanya dan mulai beraksi kembali.Ia sampirkan kembali jaket itu di punggungnya dan ber
Pagi ini, suasana hati Dzurriya sangat baik.‘Bismillah’Ia membuka pintu kamarnya, hendak beranjak ke taman belakang. Dia ingin menyapa suaminya lewat jendela-jendela belakang yang membisu itu, berharap suaminya ada di balik salah satu jendela itu dan memperhatikannya.Ia menyapa setiap pelayan yang lewat di sana dengan ramah, bahkan menghampiri dua pelayan di dapur yang dulu membantunya memasak. Mereka sekali lagi terlihat sedang menyiapkan makan untuk keluarga itu.“Apa Nyonya butuh sesuatu?” tanya salah satu pelayan itu. “Tidak, sebaliknya apa aku boleh membantu kalian memasak?” tanya balik Dzurriya, sebenarnya ia tau ia tak boleh memasak di sana.“Mohon Nyonya tidak menyulitkan kami.”Dzurriya menghela napas panjang mendengarnya. “Benar, Nyonya jangan menyulitkan mereka.”Dzurriya berbalik mendengar suara Tikno dari arah belakang itu, kalau sudah begitu, sepertinya kesempatannya untuk memasak tidak akan ada.“Tuan meminta saya mengajak Nyonya untuk belanja bulanan. Mari Nyonya!
Dzurriya terkesiap menatap suaminya. Bagaimana lelaki itu bisa berada di sana, Bukannya dia tadi berangkat bekerja“Saya undur, Tuan” ujar Tikno“Ya, silahkan!” ujar Dzurriya sangat antusias tanpa sadar, padahal Tikno sedang bertanya kepada Eshan.Alhasil baik Eshan atau Tikno menahan tawa.Sedang Dzurriya yang baru saja sadar telah salah ucap, langsung menggigit bibirnya dan membuang muka ke arah lain.‘Memalukan sekali kamu Dzurriya’“Kalau begitu Saya pergi dulu, Tuan. Saya mau lanjut belanja,” tanya Tikno kembali.“Ya Pergilah, Tikno,” jawab Eshan singkat.Tikno meninggalkan keduanya dan mulai berjalan naik ke atas elevator. Sebentar saja dia sudah hilang dalam kerumunan.“Jadi kita mau ke mana?” bisik Eshan dari belakang, membuat Dzurriya terkesiap dan sontak menoleh ke belakang.Ia segera menahan emosinya dan berjalan ke samping suaminya, karena khawatir diperhatikan orang lain di tempat itu, malu.“Terserah, Mas Eshan,” jawab Dzurriya, merona pipinya.“Oke, bagaimana kalau maka
Perjalanan yang terasa mengecewakan, Karena perjalanan ini membuatnya berpisah dengan suaminya.‘Kalau saja Paman Braha tidak muncul…..’Dzurriya menghela nafas panjang sambil memandang kosong keluar jendela.Ia mulai bertanya-tanya mengapa suaminya itu sekarang begitu baik padanya, tapi kemudian ia tidak ingin berpikir terlalu jauh dan terlena. Sebelum-sebelumnya, rasa penasarannya berubah menjadi sangat menyakitkan. Sekarang ia berusaha sadar diri bahwa ia hanyalah istri kedua.‘Diperlakukan dengan sangat baik itu sudah sebuah anugerah. Jangan berharap macam-macam, Dzurriya!’“Nyonya, silakan turun! Kita sudah sampai,” ucap Tikno yang sudah membukakan pintu mobil untuknya.Dzurriya menghela napas panjang dan turun.Ia memandang rumah besar itu.“Tikno, Apa kau nyaman berada di rumah sebesar ini?”“Saya bersyukur bisa bersama dengan Tuan Eshan di sini.”‘Kau benar, Tikno’ jawab Dzurriya di dalam hati sambil memandang Tikno.Keduanya kemudian masuk. Tampak Alexa yang masih berjas pu
Hari pertama tanpa suami…Zahra mengukir tulisan itu di atas kaca jendela kamarnya dengan telunjuknya sambil menerawang jauh ke luar. Ia mengakhiri tulisan itu dengan tanda titik-titik panjang, seperti hendak menanyakan di mana ujungnya.Tok tok tok“Nyonya, ada tuan Ryan mencari Nyonya. Apa Nyonya sudah bangun?” tanya seorang pelayan dari luar kamar.“Ya,” jawab Zahra malas.Ia kemudian keluar dari kamarnya dengan setengah menyeret kakinya.“Apa kamu baik-baik saja,” tanya Ryan yang ternyata sudah ada di luar kamarnya.Lelaki itu terlihat cemas, mungkin karena melihat raut wajah murung Dzurriya.“Hu um,” jawab Dzurriya sambil mengangguk tersenyum.“Kamu sudah makan? aku makan lengkeng dan nasi padang kesukaanmu.”Lelaki itu mengakhiri kalimatnya dengan membelalakkan mata.‘Kesukaanku?’Tatap Dzurriya heran.“Maksudku, kesukaanku, Iya kesukaanku,” jawab Ryan terbata-bata“Tapi kok nasinya cuma sebungkus? Dan kamu tawarin aku. Dokter nggak makan?” tanya Dzurriya heran.“Sudah tadi, ini
Peristiwa tadi siang sungguh membuat syok Dzurriya.Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana bisa suaminya bersenang-senang dengan istri pertamanya, sedang dia di rumah terus memikirkannya.Memang benar ia hanya istri kedua, tapi apakah itu momen yang tepat untuk mereka liburan, sementara lelaki itu baru saja menanamkan benih dalam rahimnya. Meski benih itu belum tentu berhasil, tapi setidaknya….Kalimat-kalimat itu terus memenuhi pikirannya.Karena saking tertekannya, nasi padang dan lengkeng yang di bawah Ryan tadi bahkan hanya disentuhnya sedikit.Dzurriya terus mengurung diri di dalam kamarnya setelah Ryan pamit berangkat bekerja.Ia memeluk jaket hitam penuh kenangan itu di dadanya, sambil berbaring di atas kasur sampai tertidur.Bangun-bangun perutnya terasa sangat keroncongan.“Kenapa di saat begini kamu kelaparan, sih?” ujar Dzurriya sambil menangis sesenggukan.Ia mengusap air matanya dan beranjak bangkit keluar.“Masa iya aku sedih-sedih gini makan?” gumam Dzurriya lirih sa