Hari sudah sore, ketika Kahinda baru saja menampakan kakinya di pelataran halaman Kerajaan Marpala. Dia melihat begitu banyak prajurit Kerajaan tertidur di tanah. Kahinda juga melihat banyak darah yang mengalir di tubuh semua prajurit dan pasukan Kerajaan. Kahinda juga memeriksa beberapa tubuh mereka yang yang masih bernafas dan menanyakan apa yang sebenarnya sudah terjadi.
"Raja Marpala..Putri Kahayu...dan.." Ucap seorang prajurit Kerajaan mencoba untuk memberitahu sesuatu pada Kahinda. Tapi, sayang nyawa prajurit yang sempat diperiksa Kahinda sekarang sudah menghembuskan nafas terakhir. Kahinda masih mencoba untuk melihat beberapa orang yang mungkin saja masih hidup. Tapi, dia tetap tidak menemukan satupun dari mereka yang bisa bertahan. "Ayah, Ibu.." Ucap Kahinda yang langsung berlari menuju ke dalam istana. Dia juga melihat banyak orang yang bersimpuh darah. Tapi saat dia sudah berada di dalam istana Kerajaan, Mata Kahinda langsung terbelalak ketika melihat tubuh ibunya juga sudah tergeletak tak berdaya di lantai istana. Dengan Rasa sedih yang mendalam, Kahinda mencoba untuk membangunkan tubuh ibunya yang sudah tidak lagi bernyawa. Dia berbicara sambil terus meneteskan air mata kesedihan. "Ibu, Ibu..." Kahinda melihat wajah ibunya yang juga penuh memar seperti terkenal pukulan seseorang. Bahkan dia juga memeriksa bagian tubuh ibunya yang tertusuk pedang dengan darah yang masih mengalir. "Kahayu, Apa yang sebenarnya kau inginkan, Kau bahkan tega membunuh ibu mu sendiri!?" lirih Kahinda yang kemudian menggendong tubuh ibunya dan membawanya ke arah dalam kamarnya. Kahinda meletakkan tubuh ibunya di Ranjang sambil mencoba untuk kembali memeriksa keadaan sekitar. Dia juga tidak menemukan keberadaan ayahnya yang sakit lumpuh karena Racun yang diberikan Marya Leksula padanya. Dia juga memeriksa kamar Kahayu adiknya, tapi Kahinda juga tidak menemukannya. Dan saat ini Kahinda mendengar banyak suara langkah kaki besar sedang menuju ke dalam istana. Dia segera berlari untuk menemui rombongan yang datang ke istana. "Periksa yang disana, temukan siapa saja yang masih hidup." ucap seorang pria yang terlambat datang ketika mendengar istana Kerajaan Marpala di serang oleh sebuah pasukan Pemberontak yang dikabarkan telah kembali. Ketika pria itu sampai, dia mengira bahwa pasukan pemberontak tidak akan berani masuk ke istana. Dan bagaimana pun, didalam istana sendiri juga banyak orang sakti yang terus mengawasi kegiatan di Kerajaan. Tapi dia tak melihat satupun diantara mereka. "Ini jelas, aneh" ucapnya mendengar namanya dipanggil seseorang dari belakang ketika dirinya sedang mencari petunjuk. "Paman Ram Wenang, Ibuku.." ucap Kahinda sembari menangis ketika melihat ke arah seorang pria yang merupakan pamannya sendiri. "Kahinda" panggil Ram Wenang begitu terkejut ketika melihat Kahinda sudah ada disini sebelum dirinya. Sampai beberapa pembicaraan berlangsung, Kahinda sedang memperlihatkan tubuh ibunya yang sudah tidak lagi bernyawa. Kahinda terus mencoba menjelaskan semua yang dia ketahui pada Pamannya, terkait Rencana pembunuhan yang akan dilakukan Marya Leksula dan adiknya Kahayu Rahma Dewi. Tapi setelah mendengar cerita Kahinda, Sosok Ram Wenang masih merasa Ragu. Dia kemudian meminta Kahinda untuk tetap berada disisinya sambil mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia juga memerintahkan beberapa orang untuk mempersiapkan pamakaman untuk Ibunya Kahinda, dan juga pemakaman untuk semua prajurit yang tewas. Dan di malam hari, ketika Bulan sudah naik. Baik Kahinda dan Ram Wenang bersama semua pasukannya sekarang sedang merasakan masa berkabung. Kahinda saat ini melihat banyak tumpukan mayat prajurit yang tertata rapi di kayu bakar. Dan dia juga sedang Melihat tubuh Ibunya yang sedang digotong beberapa orang untuk diletakkan di kayu bakar paling depan. Ada beberapa orang termasuk Kahinda sendiri sedang membawa obor api ditangannya. Setelah lantunan do'a yang dilayangkan Ram Wenang, Baik Kahinda dan beberapa orang langsung melemparkan obor api ke tumpukan kayu bakar. Perlahan, api yang kecil sekarang sudah semakin membesar. Upacara pemakaman terus berlanjut sampai semua api padam dan tak menyisakan apapun selain abu sisa pembakaran. Kahinda terus menangis tak henti-hentinya menyaksikan tubuh ibunya yang termakan kobaran api. Sedangkan Ram Wenang sendiri hanya terdiam sambil mencoba untuk membuat Kahinda tenang. *** Beberapa hari kemudian, setelah kejadian pemberontak dan menghilangnya Raja Marpala. Kahinda dan Ram Wenang ditemani beberapa pasukannya sedang mencoba untuk mencari tahu. Apa tujuan musuh menyerang dan menculik Raja Marpala. Walaupun kahinda sempat mengatakan bahwa hal tersebut ada kaitannya dengan Marya Leksula dan adiknya Kahayu. Ram Wenang belum bisa memastikan bahwa Kahayu sendiri yang melakukan itu. Terlebih, Ram Wenang mendengar bahwa Kahinda sudah membunuh Marya Leksula dengan tangannya sendiri. "Kahinda, Aku hanya menebak bahwa Raja Marpala saat ini mungkin diculik oleh Pasukan pemberontak yang dulu pernah sempat dibersihkan oleh ayahmu. Hanya saja, Aku sendiri masih bingung. Raja Marpala memiliki 4 orang sakti yang biasa menjaganya. Tapi aku tak menemukan salah satu diantara mereka..." Ungkap Ram Wenang sembari memikirkan langkah selanjutnya. "Tapi aku mendengar sendiri Paman, Kahayu dan Marya Leksula memiliki Rencana untuk melenyapkan Ayahku" Ucap Kahinda teringat cerita Marya Leksula sebelumnya. Dimana kemudian Kahinda mencoba untuk kembali menceritakan apa yang dia dengar sendiri dari Marya Leksula. Dia terus menceritakan awal mula dirinya bertemu dengan Marya Leksula dan Akhir dari hubungannya. "Kamu bilang, Dia anak dari salah satu Pemberontak?" tanya Ram Wenang. "Tapi, Dia juga bilang padaku Bahwa Ayahku salah menghukum ayahnya. Aku sendiri tidak tahu pasti apakah dia berbicara jujur saat itu. Dia juga sempat menyebutkan Ibunya yang tidak Terima akan kematian suaminya. Dan dia pergi dari Kerajaan Bersama Marya Leksula." Jelas Kahinda melihat Ram Wenang sedang mencoba untuk mengingat beberapa kejadian yang sudah lama. "Mungkinkah?" Tiba-tiba Ram Wenang seperti mengingat kembali seseorang perempuan dengan seorang anak lelaki melewati perbatasan wilayah kerajaan dimasalalu. "Jika memang bukan Suaminya, Mungkin kah Ibu Marya Leksula sendiri yang merupakan seorang pemberontak?" Sekarang Ram Wenang mencoba untuk menyuruh seseorang untuk memanggilkan Mantan pemberontak dimasa lalu. Hingga beberapa jam kemudian, Setelah Ram Wenang dan Kahinda menunggu lama. Seseorang mantan pemberontak di minta untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan dilontarkan Ram Wenang padanya. "Katakan, Apa dulu pernah ada seorang perempuan yang menjadi salah satu pimpinan pemberontak Kerajaan?" tanya Ram Wenang langsung. Saat ini seorang mantan pemberontak duduk bersimpuh sambil memohon ampun pada Ram Wenang. Dia sadar dulu pernah salah jalan dan dirinya juga sudah bertaubat menjadi rakyat biasa. "Ampun Tuan Ram Wenang. Hamba hanya pion kecil yang tidak tahu apapun. Aku hanya dipaksa mereka untuk bergabung." "Tapi hanya kamu seorang yang tersisa, dan anehnya Kanapa Raja Marpala tidak ikut mengeksekusi mu?. Jadi katakanlah dengan jujur, Apakah ada diantara kalian seorang perempuan yang memimpin pasukan pemberontak?" Ram Wenang bertanya kembali dengan nada Pakasaan. Dan terlebih kenapa Raja Marpala hanya menyisakan satu orang untuk diampuni. "Baiklah tuan, Aku akan katakan dengan jujur. Aku Winggih Mayana sebenarnya adalah utusan Raja Marpala yang ditugaskan untuk menyelidiki siapa saja yang menjadi pemberontak dan aku bergabung dengan mereka hanya untuk tujuan mencari siapa saja diantara beberapa orang penduduk desa yang di curigai. Lalu, saat itu..." Winggih Mayana menceritakan secara detail beberapa orang yang memiliki tanda seorang pimpinan pemberontak. "...Ya ada tanda tato dibagian tengkuk lehernya.." "Dan Pimpinan tertinggi para Pemberontak bernama Rangsabala, Dia adalah pendekar Sakti" Winggih mengakhiri ceritanya, dan dia menjadi saksi kunci dalam kasus pembasmian Para pemberontak Kerajaan. Sekarang Kahinda mencoba untuk mengingat tentang tanda tato dibagian tengkuk leher seseorang. Dia memang sempat melihat bahwa adiknya juga memiliki tanda tato berbetuk Dua pedang bersilang di tengkuk lehernya ketika dia mendapati perselingkuhan Marya Leksula dan adiknya.Sekarang Ram Wenang Sendiri jadi sedikit percaya dengan cerita Kahinda yang menceritakan bahwa Kahayu ada sangkut pautnya dengan penculikan Raja Marpala. Tapi, dirinya masih harus membenahi beberapa hal sebelum membuat tindakan. Dia sekarang meminta pada Kahinda untuk menjadi Raja sementara sampai ayahnya benar-benar bisa ditemukan. Tapi, Kahinda menolak hal tersebut dan dia langsung memilih Ram Wenang untuk menjadi Raja sementara Kerajaan Marpala. Dan itu dia katakan sebagai titah langsung dihadapkan semua pasukan Kerajaan Yang tersisa. "Tapi Kahinda, Kamu akan lebih aman disini. Dan tidak mungkin bagiku untuk membiarkan mu berkeliaran bebas" Ucap Ram Wenang jelas tidak ingin sampai keponakannya mendapatkan masalah. Kahinda tetap menolak apa yang diinginkan Ram Wenang, dan dia sendiri juga ingin pergi untuk menemui seseorang yang merupakan gurunya. Namun, Ram Wenang tetap menolak permintaan Kahinda dan dia sekarang meminta beberapa orang untuk menjaga kediaman Kahinda yang berada
Kahinda sendiri sekarang sudah berada di dalam Gua besar dibawah Air terjun. Walaupun dia sudah beberapa kali ke tempat itu, Rasa kagum Kahinda sekarang jadi semakin besar. Bahkan ketika Gurunya memperlihatkan jurus-jurus Baru untuk sekedar pamer padanya. "Nah, Bagaimana dengan jurus Tongkat Pemukul airku?" tanya Pria tua itu memperlihatkan pusaka miliknya yang lain. Dan Kahinda hanya membalas dengan tersenyum. Kahinda sendiri juga baru pertama melihat pusaka berbetuk tongkat itu di pamerkan oleh Gurunya. Ya, dia sudah tidak lagi terkejut melihat Gurunya yang memang suka pamer didepannya. Terlebih ketika Kahinda masih Remaja. Gurunya sering memperlihatkan kemampuan aneh yang membuat dirinya begitu kagum dan menarik dirinya untuk mempelajari hal tersebut. Kahinda juga tahu, jika pamer yang ditunjuk oleh gurunya hanya untuk membuat dirinya senang. Seolah sekarang dia tahu, Kalau Kahinda masih cengeng seperti dulu. Dan tahu kalau Kahinda sedang menyimpan rasa kesedihan paling dalam d
Sudra Karma terus menjelaskan banyak hal yang dia ketahui dari pengalaman berkelananya pada Kahinda. Dan sembari menjelaskan, Sudra Karma juga terus mengingatkan bahwa kemampuan yang dia ajarkan tidak boleh di salah gunakan. Dia juga berpesan agar Kahinda bersungguh-sungguh dalam melatih diri sampai batas waktu yang ditentukan. "Kahinda, mengenai efek samping dari Rangka Rangkup itu kamu pikirkan masak-masak sebelum menggunakannya." Jelas Sudra Karma sembari memberikan beberapa petunjuk dalam penggunaan Kemampuan Rangka Rangkup, yang mana kemampuan itu sendiri memang akan mengikis ingatan seseorang penggunanya. Sudra Karma sendiri juga menceritakan bahwa dirinya pernah menggunakan Rangka Rangkup dan hal itulah yang membuat dirinya menyesal. Dia kehilangan ingatan tentang dari mana dirinya berasal. Walaupun tidak semua ingatan hilang, Sudra Karma sendiri jadi tidak tahu jalan pulang. Kahinda sendiri terus mendengarkan penjelasan Gurunya dan dia yakin bahwa kemampuan Rangka Rangkup
Kemampuan Rangka Rangkup yang Kahinda pelajari merupakan ilmu kesaktian untuk menghasilkan Aura Pelindung. Di dalam pertarungan, pengguna Rangka Rangkup itu mampu menyerap jenis serangan apapun. Hanya saja, Kesaktian Rangka Rangkup memiliki batas dalam penggunaannya. Jika penguna terlalu lama menggunakan Rangka Rangkup, pengguna akan menerima efek samping seperti yang dikatakan sebelumnya dan itu sangat beresiko. Setelah proses penyaluran inti kesaktian Rangka Rangkup, Sudra Karma kemudian meminta Kahinda untuk mempelajari setiap Gerakan yang akan dia tunjukkan. "Ingat Kahinda, Rangka Rangkup punya batas pemakaian. Jika terlalu lama, Besar kemungkinan seluruh ingatanmu akan benar-benar hilang walaupun kamu berusaha menyerap ingatan di bandul kalung itu." Jelas Sudra Karma memainkan beberapa gerakan menyapu kaki dan menyapu tangan. Sudra Karma juga menjelaskan kembali terkait Bandul kalung itu, yang akan memberitahu Kahinda jika batasnya sudah tercapai. Bandul kalung akan bersinar te
Kahinda sekarang hanya bisa menatap dari kejauhan wilayah aliran sungai, Gua air terjun. Dengan menunggangi kuda yang dirawat Gurunya. Kahinda merasa bahwa masih ada sesuatu yang disembunyikan gurunya. Walaupun dia tidak tahu pasti, alasan kenapa Gurunya ingin menutup diri. Kahinda yakin gurunya melakukan itu untuk sebuah tujuan. "Guru, Aku berjanji setelah urusan ku selesai. Aku pasti akan mencari keberadaan anakmu." Ucap Kahinda di dalam hatinya. Kahinda kemudian melihat kembali benda pusaka titipan gurunya. Dia sendiri tidak mengerti kenapa Pusaka pedang Rantai tidak bisa dia simpan di dalam tubuhnya. Bahkan kahinda juga sudah menanyakan pada gurunya, kenapa hal itu bisa terjadi. Kahinda kembali memperhatikan pusaka pedang Rantai itu. Dia kemudian mencoba untuk menarik bilah pedang dari sarungnya, tapi setelah beberapa upaya bilah pedang itu tidak bisa dia keluarkan. Hal itu tentunya kembali membuat Kahinda bertanya-tanya, apakah dirinya memang tidak bisa menggunakannya. "Kurasa,
"Namaku Malani Warangka" Ucap Kahinda memperkenalkan dirinya dengan nama samaran. Tentunya Kahinda tidak ingin jati dirinya terungkap sekarang. Dengan rasa penasaran yang tinggi, Kahinda merasa bahwa dia sudah melakukan tindakan yang benar. Ranji Solaka terkekeh kecil, ketika mendengar nama Kahinda. "Nama yang Bagus untuk seorang perempuan pengembara." Ujar Ranji Solaka yang terus memperhatikan wajah Cantik Kahinda dengan kemolekan tubuh yang menjadi idaman dan dambaan hati setiap pria yang melihatnya. Ranji Solaka tidak pernah salah memasang matanya, dengan sikap sedikit cueknya. Dia berharap bisa lebih mengenal perempuan yang sekarang berada didepannya. Dan dia tidak pernah gagal dalam upayanya. "Terimakasih, maaf jika nanti merepotkan" tutur Kahinda yang kemudian berjalan ke arah kudanya dan melepaskan tali pengikatnya. Setelah beberapa menit berjalan, Kahinda yang sekarang berada di belakang rombongan bersama Ranji Solaka. Keduanya saat ini saling berbagi informasi, terlebih
Kahinda terus mendengar tawa Ranji Saloka dan beberapa orang anak buahnya. Ada sekitar 6 orang berpakaian serba hitam dan pakaian itu berbeda dari sebelumnya. Walaupun sebenarnya Kahinda bisa lari atau kabur, Dia tetap masih penasaran dengan sosok Ranji Saloka. Bukan karena dia naksir atau terpikat dengannya. Akan tetapi, Kahinda yakin bahwa Ranji Saloka memang menyembunyikan sesuatu di Gerobak tandu yang diaraknya. Kembali tatapan keduanya bertemu, Kahinda juga terus memperhatikan sekitar. Dia tidak ingin membuat gerakan apapun selain mundur kesamping. Bagaimana pun, Kahinda saat ini sudah terkepung dan jika sampai dia membuat langkah yang salah. Tentunya hal itu akan membuat dirinya tak memperoleh penjelasan dari Ranji Saloka. "Sudah aku katakan, Aku cuma pengantar. Lagi pula, apa yang bisa kamu lakukan jika mengetahui siapa aku sebenarnya?." Tutur Ranji Saloka terdiam beberapa saat sambil memberikan intruksi pada bawahannya. Dia sekarang memberikan kode khusus yang hanya bisa dim
Gerobak Rombongan dagang kembali melaju, semua orang masih berada di posisinya masing-masing. Diketahui, setiap Gerobak dagang menyimpan banyak barang dan di masing-masing gerobak ada sekitar 2 orang yang disembunyikan. Rombongan dagang itu sendiri memiliki 15 Gerobak dan satu Gerobak tandu yang memimpin perjalanan mereka. Masing-masing Gerobak ditarik dua ekor kuda yang berjalan mengantri dan mengikuti Barisan. Tiga puluh orang prajurit juga dilengkapi persenjataan lengkap. Ada yang berjalan dan ada pula yang menunggang kuda. Ada yang bertugas mengawasi sisi kanan dan kiri, dan ada pula yang mengawasi bagian belakang. Walaupun jumlah mereka sedikit, tapi mereka sudah terlatih. Kuda Kahinda sendiri berada di barisan paling belakang, dimana ada seseorang prajurit yang menariknya dan tidak menunggangi kudanya. Dan saat ini, Kahinda terus melihat ke arah depan dalam keadaan terduduk dan terikat tubuhnya. Dia tetap diam sembari memperhatikan wanita muda yang duduk di kursinya. Walaupun
Kahinda sesaat hendak melihat apakah sosok Ular besar itu masih bisa bergerak atau sudah mati. Dia dan Wan Bin kemudian mencoba untuk memeriksanya seraya memastikannya. Keduanya berjalan pelan sambil terus memperhatikan tubuh ular besar itu. Keduanya melangkah dengan hati-hati. "Apakah Ular besar ini juga jelmaan?" tanya Kahinda melihat kepala ular besar itu sudah terpisah dari bagian tubuhnya. Banyak darah muncrat ke tanah dan itu terus mengalir seperti aliran dana korupsi. "Sepertinya bukan kak, Jika dia jelmaan seharusnya dia kembali menjadi manusia ketika mati." Ucap Wan Bin yang sekarang sedang menginjak kepala ular besar itu beberapa kali. "Hey, jangan lakukan itu!. Dia sudah mati, jadi perlakuan dengan baik. Lagi pula, kita belum tahu tentang ular ini" ucap Kahinda menggeleng kepala melihat tindakan Wan Bin yang suka sembarangan. "Maaf kak, Tapi sepertinya daging ular ini enak untuk dimasak." Kahinda langsung kaget ketika Wan Bin mengatakan hal itu. Diapun berkata, "A
Wan Bin membuat anggukan, tapi dia tidak langsung menjawab pertanyaan Kahinda. Dia kemudian menatap lencana keluarganya, lencana berbentuk bulat dengan ujung sedikit mengerucut seperti bentuk tameng. Ada gambar terukir di lencana keluarganya. Sebuah gambar berbetuk kepala Burung hantu yang sedang menatap tajam. "Aku ingat wajah mereka tapi aku tidak ingat namanya." Wan Bin kemudian memperlihatkan tulisan aneh dibelakang Lencana keluarganya. Dia kemudian membacakan di depan Kahinda. "Keluarga Wan Bin" itulah tulisan dari huruf aneh yang terbaca. Saat ini Kahinda memperhatikan tulisan tersebut. "Hem, hurufnya seperti paku yang tersusun, Apakah Nyi Salema menamai mu seperti huruf ini?." Kahinda penasaran jika Nyi Salema memang bisa membaca tulisan yang tidak dimengerti olehnya. Mungkin Wan Bin bukanlah nama sebenarnya dari anak berusia 9 tahun tersebut. "Haha, Kak Kahinda salah mengerti. Nama asli ku sebenarnya.." Wan Bin ingin mengatakan namanya ketika suara auman kembali m
Kahinda sedang menggunakan penglihatan Rawang Sanggah. Dia Ingin menemukan tanda kehidupan lain selain kunang-kunang itu. Tapi sayang, pandangan Rawang sanggah terbatas beberapa meter. Dia tak menemukan apapun selain serangga yang sedang hinggap di beberapa pepohonan. "Suaranya dari sebelah sana. Tapi aku tak yakin" ucap Kahinda mendengar suara gema aneh itu kembali. Dia merasakan suara itu dekat tapi dia tidak menemukan apapun di dekatnya. "Kak, kata Nenek jika suara terdengar dekat itu tandanya suara itu jauh." Ucap Wan Bin mengatakan beberapa perkataan neneknya yang dia ingat. "Benarkah?, Apa Nyi Salema mengatakan hal seperti itu?." Kahinda hanya tidak yakin dengan ucapan Wan Bin. Karena dia merasa suara itu begitu dekat dengan mereka. "Benar Kak, Walaupun itu sekedar cerita nenek. Tapi nenek pernah mengatakan itu padaku. Kalau tidak salah saat nenek menceritakan tentang dongeng hantu perempuan yang bernyanyi." Lanjut Wan Bin yang kemudian menceritakan sebuah cerita horor d
Kahinda baru saja masuk, dan dia baru sampai di bagian dalam dekat pintu masuk hutan. Dia dan Wan Bin Mulai melangkah perlahan dengan kudanya. Mereka berdua melihat ke sekeliling dan melihat begitu banyak pohon besar yang menjulang tinggi. Dan yang mereka tak sangka, ternyata pohon itu adalah pohon singkong. Yang memang tumbuh besar di hutan tersebut, mungkin karena tidak terurus atau memang tumbuh liar. Pohon singkong itu tampak seperti pohon biasa pada umumnya. Hanya saja, pohon singkong itu memiliki banyak batang dan rantingnya sendiri. Akar-akar besarnya sendiri terlihat besar seperti umbi yang menjalar. Dedaunan terlihat berjari dan terus bergoyang tertiup angin. "Ternyata ini penampakan Hutan Terlarang, Sungguh aneh untuk dikatakan sebuah hutan. Ini bahkan seperti kebun besar yang ditanami singkong." Ucap Kahinda yang sudah memastikan bagian batangnya. "Kak, Kalau dicabut bisa?" tanya Wan Bin merasa penasaran. "Kalau sanggup bisa saja, tapi siapa yang mau mencabut pohon se
Kahinda sudah memutuskan, dia ingin pergi melewati Jalur hutan larangan. Dia tidak ingin berlarut-larut dan berlama-lama. "Hutan ini begitu luas, aku sama sekali tidak pernah menginjakkan kakiku disini. Wan Bin, Apakah kamu takut?." Kahinda bertanya hal itu, ketika melihat Wan Bin seperti enggan masuk ke hutan larangan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa sampai ke Kerajaan Marpala baru tanpa ketahuan. Kahinda juga tidak mungkin berputar balik dan itu akan lebih memakan waktu. Jika dia memaksa untuk melewati jalur utama, dia tentunya akan menemui masalah. Dia seorang perempuan dan tidak mungkin sanggup menghadapi semua pendekar sakti kerajaan Marpala baru. Kahinda sebenarnya merasakan takut, tapi dia ingin segera menuntaskan urusannya. Dia ingin membalas perlakuan Marya Leksula padanya dan Keluarganya. Saat ini, Wan bin tetap menolak ajakan Kahinda. Dia seakan tahu hutan itu bukan hutan biasa. Dan tidak sembarangan orang bisa masuk atau melewatinya. Dia sekarang sedang membac
Kahinda sekarang melewati jalan memutar dan tidak ingin lagi melewati jalur sungai. Dia juga sudah diberitahu Nyi Salema bahwa jalur sungai sekarang menjadi jalur pasukan khusus. Yang mana Kahinda sedikit kagum dengan pemerintahan Marya Leksula. Tapi hal itu tetap tidak membuat Kahinda melupakan rasa bencinya. Dia kemudian berhenti ketika melihat jalan setapak menuju ke desa Marabuna. Sebuah desa maju disisi paling jauh dari Kerajaan Marpala baru dan tempat dimana keberadaan hulu sungai berada. Sudah tidak ada lagi pasukan Gatuk Maringgih, tapi Kahinda masih bisa melihat beberapa bangunan yang sudah hangus terbakar beberapa hari yang lalu. "Desa ini benar-benar kacau" ucap Kahinda turun dari kudanya dan bersama Wan Bin berjalan untuk melihat desa itu. Keduanya berhenti di sebuah kedai dan melihat beberapa orang yang sedang menggerutu setelah diserang oleh Gatuk Maringgih. "Tuan, apa yang terjadi disini?" tanya Kahinda pada seorang penjaga Kedai. Saat ini Penjaga kedai tersebut l
Kahinda tentu saja tidak bisa mengungkapkan perihal pusaka Pedang Rantai yang dibawanya. Dan siapa orang yang memilikinya, tapi dia juga sudah mendengar bahwa Nyi Salema pernah bertarung dengan orang yang sangat dia kenal. "Kahinda, kau tak bisa membohongi ku. Siapa Gurumu?" tanya Nyi Salema yakin bahwa Kahinda memiliki hubungan khusus dengan seseorang yang memiliki pedang itu. Walaupun Nyi Salema tidak terlalu jelas penglihatannya, dia masih mampu untuk mengetahui hal tersebut. Dia menunggu Kahinda mengatakan bahwa dirinya tahu siapa orang yang sedang di tanyakan. "Pedang ini, aku tidak bisa mengungkapkan siapa pemiliknya" ucap Kahinda melihat Nyi Salema tersenyum. "Baiklah, aku mengerti. Guru hebat pasti akan meminta hal itu pada muridnya. Padahal dulu aku sempat jatuh hati padanya karena bisa mengalahkan ku." Tutur Nyi Salema yang kemudian meminta Wan Bin untuk memeriksa peti kecil yang disimpan di meja Harta. Kahinda tetap diam dan memperhatikan Nyi Salema, dia merasa bahwa
Kahinda sudah kembali ke dalam Gubuk Nyi Salema, tapi dia melihat Nyi Salema sendiri tertidur di dipan kayunya. Entah apa yang terjadi, Kahinda pun menanyakannya pada Wan Bin. Dari jawaban Wan Bin, dia berkata bahwa Neneknya hanya kelelahan. "Lalu apa yang harus kita lakukan dengan Burung Elang ini?" tanya Kahinda merasa kedinginan sekarang. Pakaiannya basah, dan dia tidak memiliki salin. Dia juga sudah mengikat Burung Elang dengan tali dan menggantungnya. "Kak, Kemarilah" ajak Wan Bin meminta Kahinda untuk ikut dengannya. Wan Bin sudah diberitahu sebelumnya oleh Nyi Salema bahwa di dalam gubuk itu ada pintu tersembunyi Rahasia. Wan Bin hanya ingin memastikan kenapa Nyi Salema baru mengatakan semua itu padanya. Dia kemudian memeriksa tanah dapurnya. Kahinda yang melihat hal itu pun penasaran, dia melihat Wan Bin sedang menggetok lantai tanah beberapa kali. Hingga ketika Kahinda mendengar suara aneh muncul, dia melihat Wan Bin tersenyum sambil meminta dirinya membantu. "Memang a
Kahinda benar-benar tak paham, atas apa yang dikatakan Wan Bin padanya. Dia terus memandang Nyi Salema dan terus memperhatikan keadaannya. Kahinda langsung menarik tangan Wan Bin, dan membisikkan sesuatu pada–nya. Kahinda mengutarakan beberapa pertanyaan. Tentang Apakah keributan itu dilakukan salah satu Pegawai Kerajaan atau seseorang pendekar. Wan Bin langsung memberikan beberapa anggukan setelah dia mendengar apa saja yang ingin Kahinda tanyakan. Kahinda lalu menunggu Wan Bin menyelesaikan pembicaraannya dengan Nyi Salema. Dia juga memperhatikan setiap gerakan jari Wan Bin. Kahinda sebenarnya penasaran dari mana Nyi Salema bisa tahu informasi tersebut sedangkan dia memiliki kekurangan, dari penglihatannya dan pendengarannya. Yang lebih membuat Kahinda heran adalah Wan Bin itu sendiri. Kahinda berpikir, kenapa Wan Bin tidak selalu bersama Nyi Salema dan membiarkan neneknya keluyuran sendiri tanpa pengawasan. Kahinda melihat Wan Bin menatap dirinya, dia memperhatikan ekspresi ane