"Malani!, Percuma kamu kabur!" teriak Ranji masih ingin memastikan bahwa tali tersebut masih terhubung dengan Kahinda. Dan saat tarikan terakhir, dia merasakan ikatan tali terasa kencang. Penasaran dengan itu, Ranji yang sudah beberapa kali memanggil Kahinda, akhirnya memutuskan untuk berjalan ke arah dimana Kahinda berada. Dan benar saja, Tali itu sudah terikat kuat di pohon kecil dekat semak belukar. Dia juga tidak melihat tanda tanah bekas membuang hajat , tanda bahwa Kahinda berbohong kalau dirinya memang kebelet. Dia juga melihat jejak Kaki Kahinda yang mengarah ke sebuah tempat. "Cih, Mau lari dari ku!, Jangan harap kamu bisa melakukannya" ucap Ranji sembari melemparkan tali yang sudah dia gulung ke arah semak belukar. Dan dengan kecepatan dia langsung membuat lompatan besar ke arah jejak kaki di depannya. Hujan semakin deras, dan membuat jejak kaki semakin tampak. Ranji terus mengikuti arah kemana jejak kaki Kahinda pergi. Dia tentunya paham betul bagaimana mengidentifikasi
Kahinda masih bersembunyi di dalam rumah, dan mendengar suara pintu dibuka dua orang bawahan Ranji. Dia sudah menduga bahwa Ranji tidak akan berani masuk. Tetap pada rencana awalnya, Kahinda terus memperhatikan dua orang yang sedang berjalan sembari memperhatikan setiap sudut ruangan. Ruangan rumah yang gelap dan terang ketika ada Guntur menggelegar, menciptakan suasana mencekam. Itu bisa dilihat ketika bayangan mereka terlihat. Kahinda terus bergerak secara pelan sambil ingin memainkan dua orang bawahan Ranji. Dan saat salah satunya terpisah, Kahinda dengan cepat langsung memberikan tebasan di lehernya. Seorang bawahan pun seketika mati merenggangkan nyawa, tanpa mampu berteriak dan hanya bisa merasakan alur tebasan pelan di lehernya. Tebasan belati membuat jalur melingkar di lehernya. "Belati Seblat ku, ternyata begitu tajam" lirih Kahinda yang sekarang sedang memegang sebuah buah belati berbentuk setengah lingkaran. Belati Seblat itu sendiri memang memiliki bentuk setengah bulat
Kahinda kembali tertegun ketika dia melihat Ranji bersiap untuk menggunakan ilmu kesaktiannya kembali. Dia ingin kembali memperhatikan, Bagaimana cara Ranji melakukan hal itu. "Padahal Cakram belati Seblat ku begitu tajam. Gerakannya seperti ayam jago milik Paman Ram Wenang." Kahinda melihat Ranji melakukan gerakan seperti Ayam Jantan yang siap berkokok. Tampak kembali terlihat Ranji membusungkan dadanya. "Cakram belati ku saja sampai mental, Baiklah. Bagaimana pun, aku menunggu dia melakukan serangan seperti sebelumnya." Kahinda kemudian berjalan mundur dan meraih tanah liat. Dia dengan cepat langsung membuat sumpal kuping dan langsung dipasangkan di lubang telinganya. "Beres, tinggal tunggu dia berkokok." Kahinda juga sudah memegang kembali Belati Seblatnya. Dia juga sudah bersiap membuat lompatan besar ketika Ranji masih berdiam diri. Kahinda kemudian memainkan beberapa tebasan belati Seblat ke arah dada Ranji yang membusung. Dia terus membuat tebasan berkali-kali. Tapi saya
Sehari kemudian, Kahinda tersadar sudah berada di sebuah ruangan seperti kamar. Dia memperhatikan ruangan tersebut tertata rapi dan dia tertidur di atas dipan anyaman tikar jerami. Tangannya juga terikat dan begitu juga kakinya. Dia merasa sekarang dirinya sedang diculik seseorang yang tidak diketahui. "Siapapun lepaskan aku!" teriak Kahinda merasakan tali yang mengikat dirinya bukan seperti tali biasa. "Tali ini seperti besi tapi lentur" lirih Kahinda yang sudah berteriak tapi tidak ada seorang pun datang untuk memeriksanya. Di dalam kamarnya, Kahinda sempat memperhatikan lambang tergambar jelas di kain bendera. Dia melihat gambar itu seperti Tiga kelopak Api dengan dua daun melengkung kebawah. Dia tidak tahu siapa dan tujuan orang itu menculik dirinya. "Baru lepas dari Ranji, sekarang aku diculik orang. Nasib" lirih Kahinda yang akhirnya memutuskan untuk tidak banyak gerak dan menatap langit-langit kamarnya. Dia kembali melirik ke arah Bendera yang dipajang di dalam kamar. Dia
Beberapa hari kemudian, Kahinda sedang diajak Rangga berkeliling desa Wiris. Desa buatan yang menampung sebagian kecil rakyat Marpala dan beberapa orang budak dari Wilayah lain. Kahinda sedang menceritakan semua hal yang dia ketahui dari Kelompok dagang Ranji. "Aku bisa mengantarkan mu, ke bekas mayat Ranji" tutur Kahinda yang kemudian bertanya balik ke arah Rangga. Kahinda menanyakan soal seorang wanita bercadar jaring yang merupakan pimpinan utama kelompok dagang itu. Tapi Rangga menanggapi pertanyaan Kahinda hanya dengan gelengan kepala. Pertanda bahwa Rangga gagal mendapatkan atau tidak berhasil menangkapnya. Tapi dia juga tidak percaya dengan cerita Kahinda yang berkata sudah melenyapkan seseorang dengan tangannya sendiri. Saat ini Rangga berhenti sejenak, di dekat pinggir jalan utama desa. Dia memang sempat bertarung dengan wanita bernama Dyang Yawine. "Sayangnya dia berhasil lolos dari kejaran ku dan Entah ilmu apa yang dia gunakan. Tapi dia membuat ku membeku sampai kamu
Disisi lain, Halaman luas di dekat danau desa Wiris. Terdapat beberapa lapangan yang memiliki sekat bambu. Masing-masing sekat memisahkan tempat pelatihan yang digunakan untuk melatih prajurit Rangga Wiris. Kahinda merasa bangga pada saudara lelakinya yang mampu membuat kelompok besar itu. Dia sekarang tersenyum sendiri sambil merencanakan sesuatu. "Mungkin memang ada baiknya kalau tahta kerajaan di pegang langsung oleh Rangga, Mungkin dia akan menjadi Raja yang lebih baik." Pikir Kahinda sambil berjalan ke arah kelompok yang baru memulai pelatihan. Dia menemui seorang Guru yang sedang mengajarkan beberapa gerakan. "Putri Kahinda" ucap seorang Guru bernama Marang Melang langsung memberikan rasa hormat padanya. Mereka sudah saling mengenal sebelumya dan Marang Melang sendiri adalah seorang Guru yang melatih pasukan di Kerajaan Marpala sebelumnya. Kahinda membuat sapaan langsung dan menyuruhnya untuk bangkit kembali. Kahinda datang hanya untuk melihat proses pelatihan para prajurit
Tapi sayang, sudah sampai dua jam berlalu. Rangga hanya bisa mendapatkan 10 ekor ikan. Dan dia sangat menyesalinya, "H–uh, sekarang bagaimana?." Tanya Rangga melihat Kahinda yang kemudian berjalan ke pinggir sungai. "Hey, apa yang kamu lakukan!, Hati-hati" Rangga sekarang terkejut melihat apa yang dilakukan Kahinda. Dia tidak mengerti kenapa Kahinda mampu berjalan diatas air. Dia pun terkejut sekarang. "Hey, Rangga lihat baik-baik" ucap Kahinda ingin menunjukkan sesuatu pada Rangga. Kahinda sebenarnya tidak ingin memamerkan kemampuan miliknya, tapi dia merasa begitu kecewa melihat Rangga. Dia melihat Rangga melakukan beberapa kesalahan dalam penggunaan Rawang Sanggah. Karena bagaimana pun, Kahinda memiliki kemampuan penglihatan itu. Rangga tidak mengerti sekarang, dia hanya diam dan terus memperhatikan Kahinda. Dia tidak percaya Kahinda mampu menggunakan titian air yang dia pelajari secara autodidak selama dua tahun mengikuti seseorang. "Teknik ini sama seperti yang ku pelajar
Kahinda segera membalas serangan Rangga dengan sebuah tangkisan tangan dan dia pun ikut melompat ke arah lapangan di dalam hutan. Keduanya sekarang saling menatap satu sama lain. Rangga tidak menduga jika Reflek Kahinda begitu baik, sampai pukulan telapak tangannya mampu di tangkisnya. Rangga sekarang tidak ragu, dan dia mengambil pusaka utamanya yang di bawa di pinggangnya. Sebuah pedang panjang yang memiliki dua bilah dalam satu tangkai pedang. Pedang itu bernama Pedang Gading Gajah, sama seperti namanya pedang itu memang menyerupai dua Gading gajah. Ada ukiran kepala Gajah tergambar jelas di pegangannya dan gagangnya sendiri cukup panjang dan muat dua tangan. Dan saat ini, Rangga melihat Kahinda dibalik celah dua pedang itu. Kahinda tidak diam saja, dia tidak pernah melihat pedang berbetuk seperti itu. "Padahal aku bukan musuh, tapi kamu sudah menarik senjata utama mu" Cibir Kahinda melihat senyum kecil Rangga. "Bukankah kamu terlalu sombong, aku bahkan hanya memerlukan sekali p
Kahinda sesaat hendak melihat apakah sosok Ular besar itu masih bisa bergerak atau sudah mati. Dia dan Wan Bin kemudian mencoba untuk memeriksanya seraya memastikannya. Keduanya berjalan pelan sambil terus memperhatikan tubuh ular besar itu. Keduanya melangkah dengan hati-hati. "Apakah Ular besar ini juga jelmaan?" tanya Kahinda melihat kepala ular besar itu sudah terpisah dari bagian tubuhnya. Banyak darah muncrat ke tanah dan itu terus mengalir seperti aliran dana korupsi. "Sepertinya bukan kak, Jika dia jelmaan seharusnya dia kembali menjadi manusia ketika mati." Ucap Wan Bin yang sekarang sedang menginjak kepala ular besar itu beberapa kali. "Hey, jangan lakukan itu!. Dia sudah mati, jadi perlakuan dengan baik. Lagi pula, kita belum tahu tentang ular ini" ucap Kahinda menggeleng kepala melihat tindakan Wan Bin yang suka sembarangan. "Maaf kak, Tapi sepertinya daging ular ini enak untuk dimasak." Kahinda langsung kaget ketika Wan Bin mengatakan hal itu. Diapun berkata, "A
Wan Bin membuat anggukan, tapi dia tidak langsung menjawab pertanyaan Kahinda. Dia kemudian menatap lencana keluarganya, lencana berbentuk bulat dengan ujung sedikit mengerucut seperti bentuk tameng. Ada gambar terukir di lencana keluarganya. Sebuah gambar berbetuk kepala Burung hantu yang sedang menatap tajam. "Aku ingat wajah mereka tapi aku tidak ingat namanya." Wan Bin kemudian memperlihatkan tulisan aneh dibelakang Lencana keluarganya. Dia kemudian membacakan di depan Kahinda. "Keluarga Wan Bin" itulah tulisan dari huruf aneh yang terbaca. Saat ini Kahinda memperhatikan tulisan tersebut. "Hem, hurufnya seperti paku yang tersusun, Apakah Nyi Salema menamai mu seperti huruf ini?." Kahinda penasaran jika Nyi Salema memang bisa membaca tulisan yang tidak dimengerti olehnya. Mungkin Wan Bin bukanlah nama sebenarnya dari anak berusia 9 tahun tersebut. "Haha, Kak Kahinda salah mengerti. Nama asli ku sebenarnya.." Wan Bin ingin mengatakan namanya ketika suara auman kembali m
Kahinda sedang menggunakan penglihatan Rawang Sanggah. Dia Ingin menemukan tanda kehidupan lain selain kunang-kunang itu. Tapi sayang, pandangan Rawang sanggah terbatas beberapa meter. Dia tak menemukan apapun selain serangga yang sedang hinggap di beberapa pepohonan. "Suaranya dari sebelah sana. Tapi aku tak yakin" ucap Kahinda mendengar suara gema aneh itu kembali. Dia merasakan suara itu dekat tapi dia tidak menemukan apapun di dekatnya. "Kak, kata Nenek jika suara terdengar dekat itu tandanya suara itu jauh." Ucap Wan Bin mengatakan beberapa perkataan neneknya yang dia ingat. "Benarkah?, Apa Nyi Salema mengatakan hal seperti itu?." Kahinda hanya tidak yakin dengan ucapan Wan Bin. Karena dia merasa suara itu begitu dekat dengan mereka. "Benar Kak, Walaupun itu sekedar cerita nenek. Tapi nenek pernah mengatakan itu padaku. Kalau tidak salah saat nenek menceritakan tentang dongeng hantu perempuan yang bernyanyi." Lanjut Wan Bin yang kemudian menceritakan sebuah cerita horor d
Kahinda baru saja masuk, dan dia baru sampai di bagian dalam dekat pintu masuk hutan. Dia dan Wan Bin Mulai melangkah perlahan dengan kudanya. Mereka berdua melihat ke sekeliling dan melihat begitu banyak pohon besar yang menjulang tinggi. Dan yang mereka tak sangka, ternyata pohon itu adalah pohon singkong. Yang memang tumbuh besar di hutan tersebut, mungkin karena tidak terurus atau memang tumbuh liar. Pohon singkong itu tampak seperti pohon biasa pada umumnya. Hanya saja, pohon singkong itu memiliki banyak batang dan rantingnya sendiri. Akar-akar besarnya sendiri terlihat besar seperti umbi yang menjalar. Dedaunan terlihat berjari dan terus bergoyang tertiup angin. "Ternyata ini penampakan Hutan Terlarang, Sungguh aneh untuk dikatakan sebuah hutan. Ini bahkan seperti kebun besar yang ditanami singkong." Ucap Kahinda yang sudah memastikan bagian batangnya. "Kak, Kalau dicabut bisa?" tanya Wan Bin merasa penasaran. "Kalau sanggup bisa saja, tapi siapa yang mau mencabut pohon se
Kahinda sudah memutuskan, dia ingin pergi melewati Jalur hutan larangan. Dia tidak ingin berlarut-larut dan berlama-lama. "Hutan ini begitu luas, aku sama sekali tidak pernah menginjakkan kakiku disini. Wan Bin, Apakah kamu takut?." Kahinda bertanya hal itu, ketika melihat Wan Bin seperti enggan masuk ke hutan larangan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk bisa sampai ke Kerajaan Marpala baru tanpa ketahuan. Kahinda juga tidak mungkin berputar balik dan itu akan lebih memakan waktu. Jika dia memaksa untuk melewati jalur utama, dia tentunya akan menemui masalah. Dia seorang perempuan dan tidak mungkin sanggup menghadapi semua pendekar sakti kerajaan Marpala baru. Kahinda sebenarnya merasakan takut, tapi dia ingin segera menuntaskan urusannya. Dia ingin membalas perlakuan Marya Leksula padanya dan Keluarganya. Saat ini, Wan bin tetap menolak ajakan Kahinda. Dia seakan tahu hutan itu bukan hutan biasa. Dan tidak sembarangan orang bisa masuk atau melewatinya. Dia sekarang sedang membac
Kahinda sekarang melewati jalan memutar dan tidak ingin lagi melewati jalur sungai. Dia juga sudah diberitahu Nyi Salema bahwa jalur sungai sekarang menjadi jalur pasukan khusus. Yang mana Kahinda sedikit kagum dengan pemerintahan Marya Leksula. Tapi hal itu tetap tidak membuat Kahinda melupakan rasa bencinya. Dia kemudian berhenti ketika melihat jalan setapak menuju ke desa Marabuna. Sebuah desa maju disisi paling jauh dari Kerajaan Marpala baru dan tempat dimana keberadaan hulu sungai berada. Sudah tidak ada lagi pasukan Gatuk Maringgih, tapi Kahinda masih bisa melihat beberapa bangunan yang sudah hangus terbakar beberapa hari yang lalu. "Desa ini benar-benar kacau" ucap Kahinda turun dari kudanya dan bersama Wan Bin berjalan untuk melihat desa itu. Keduanya berhenti di sebuah kedai dan melihat beberapa orang yang sedang menggerutu setelah diserang oleh Gatuk Maringgih. "Tuan, apa yang terjadi disini?" tanya Kahinda pada seorang penjaga Kedai. Saat ini Penjaga kedai tersebut l
Kahinda tentu saja tidak bisa mengungkapkan perihal pusaka Pedang Rantai yang dibawanya. Dan siapa orang yang memilikinya, tapi dia juga sudah mendengar bahwa Nyi Salema pernah bertarung dengan orang yang sangat dia kenal. "Kahinda, kau tak bisa membohongi ku. Siapa Gurumu?" tanya Nyi Salema yakin bahwa Kahinda memiliki hubungan khusus dengan seseorang yang memiliki pedang itu. Walaupun Nyi Salema tidak terlalu jelas penglihatannya, dia masih mampu untuk mengetahui hal tersebut. Dia menunggu Kahinda mengatakan bahwa dirinya tahu siapa orang yang sedang di tanyakan. "Pedang ini, aku tidak bisa mengungkapkan siapa pemiliknya" ucap Kahinda melihat Nyi Salema tersenyum. "Baiklah, aku mengerti. Guru hebat pasti akan meminta hal itu pada muridnya. Padahal dulu aku sempat jatuh hati padanya karena bisa mengalahkan ku." Tutur Nyi Salema yang kemudian meminta Wan Bin untuk memeriksa peti kecil yang disimpan di meja Harta. Kahinda tetap diam dan memperhatikan Nyi Salema, dia merasa bahwa
Kahinda sudah kembali ke dalam Gubuk Nyi Salema, tapi dia melihat Nyi Salema sendiri tertidur di dipan kayunya. Entah apa yang terjadi, Kahinda pun menanyakannya pada Wan Bin. Dari jawaban Wan Bin, dia berkata bahwa Neneknya hanya kelelahan. "Lalu apa yang harus kita lakukan dengan Burung Elang ini?" tanya Kahinda merasa kedinginan sekarang. Pakaiannya basah, dan dia tidak memiliki salin. Dia juga sudah mengikat Burung Elang dengan tali dan menggantungnya. "Kak, Kemarilah" ajak Wan Bin meminta Kahinda untuk ikut dengannya. Wan Bin sudah diberitahu sebelumnya oleh Nyi Salema bahwa di dalam gubuk itu ada pintu tersembunyi Rahasia. Wan Bin hanya ingin memastikan kenapa Nyi Salema baru mengatakan semua itu padanya. Dia kemudian memeriksa tanah dapurnya. Kahinda yang melihat hal itu pun penasaran, dia melihat Wan Bin sedang menggetok lantai tanah beberapa kali. Hingga ketika Kahinda mendengar suara aneh muncul, dia melihat Wan Bin tersenyum sambil meminta dirinya membantu. "Memang a
Kahinda benar-benar tak paham, atas apa yang dikatakan Wan Bin padanya. Dia terus memandang Nyi Salema dan terus memperhatikan keadaannya. Kahinda langsung menarik tangan Wan Bin, dan membisikkan sesuatu pada–nya. Kahinda mengutarakan beberapa pertanyaan. Tentang Apakah keributan itu dilakukan salah satu Pegawai Kerajaan atau seseorang pendekar. Wan Bin langsung memberikan beberapa anggukan setelah dia mendengar apa saja yang ingin Kahinda tanyakan. Kahinda lalu menunggu Wan Bin menyelesaikan pembicaraannya dengan Nyi Salema. Dia juga memperhatikan setiap gerakan jari Wan Bin. Kahinda sebenarnya penasaran dari mana Nyi Salema bisa tahu informasi tersebut sedangkan dia memiliki kekurangan, dari penglihatannya dan pendengarannya. Yang lebih membuat Kahinda heran adalah Wan Bin itu sendiri. Kahinda berpikir, kenapa Wan Bin tidak selalu bersama Nyi Salema dan membiarkan neneknya keluyuran sendiri tanpa pengawasan. Kahinda melihat Wan Bin menatap dirinya, dia memperhatikan ekspresi ane