Gerobak Rombongan dagang kembali melaju, semua orang masih berada di posisinya masing-masing. Diketahui, setiap Gerobak dagang menyimpan banyak barang dan di masing-masing gerobak ada sekitar 2 orang yang disembunyikan. Rombongan dagang itu sendiri memiliki 15 Gerobak dan satu Gerobak tandu yang memimpin perjalanan mereka. Masing-masing Gerobak ditarik dua ekor kuda yang berjalan mengantri dan mengikuti Barisan. Tiga puluh orang prajurit juga dilengkapi persenjataan lengkap. Ada yang berjalan dan ada pula yang menunggang kuda. Ada yang bertugas mengawasi sisi kanan dan kiri, dan ada pula yang mengawasi bagian belakang. Walaupun jumlah mereka sedikit, tapi mereka sudah terlatih. Kuda Kahinda sendiri berada di barisan paling belakang, dimana ada seseorang prajurit yang menariknya dan tidak menunggangi kudanya. Dan saat ini, Kahinda terus melihat ke arah depan dalam keadaan terduduk dan terikat tubuhnya. Dia tetap diam sembari memperhatikan wanita muda yang duduk di kursinya. Walaupun
"Malani!, Percuma kamu kabur!" teriak Ranji masih ingin memastikan bahwa tali tersebut masih terhubung dengan Kahinda. Dan saat tarikan terakhir, dia merasakan ikatan tali terasa kencang. Penasaran dengan itu, Ranji yang sudah beberapa kali memanggil Kahinda, akhirnya memutuskan untuk berjalan ke arah dimana Kahinda berada. Dan benar saja, Tali itu sudah terikat kuat di pohon kecil dekat semak belukar. Dia juga tidak melihat tanda tanah bekas membuang hajat , tanda bahwa Kahinda berbohong kalau dirinya memang kebelet. Dia juga melihat jejak Kaki Kahinda yang mengarah ke sebuah tempat. "Cih, Mau lari dari ku!, Jangan harap kamu bisa melakukannya" ucap Ranji sembari melemparkan tali yang sudah dia gulung ke arah semak belukar. Dan dengan kecepatan dia langsung membuat lompatan besar ke arah jejak kaki di depannya. Hujan semakin deras, dan membuat jejak kaki semakin tampak. Ranji terus mengikuti arah kemana jejak kaki Kahinda pergi. Dia tentunya paham betul bagaimana mengidentifikasi
Kahinda masih bersembunyi di dalam rumah, dan mendengar suara pintu dibuka dua orang bawahan Ranji. Dia sudah menduga bahwa Ranji tidak akan berani masuk. Tetap pada rencana awalnya, Kahinda terus memperhatikan dua orang yang sedang berjalan sembari memperhatikan setiap sudut ruangan. Ruangan rumah yang gelap dan terang ketika ada Guntur menggelegar, menciptakan suasana mencekam. Itu bisa dilihat ketika bayangan mereka terlihat. Kahinda terus bergerak secara pelan sambil ingin memainkan dua orang bawahan Ranji. Dan saat salah satunya terpisah, Kahinda dengan cepat langsung memberikan tebasan di lehernya. Seorang bawahan pun seketika mati merenggangkan nyawa, tanpa mampu berteriak dan hanya bisa merasakan alur tebasan pelan di lehernya. Tebasan belati membuat jalur melingkar di lehernya. "Belati Seblat ku, ternyata begitu tajam" lirih Kahinda yang sekarang sedang memegang sebuah buah belati berbentuk setengah lingkaran. Belati Seblat itu sendiri memang memiliki bentuk setengah bulat
Kahinda kembali tertegun ketika dia melihat Ranji bersiap untuk menggunakan ilmu kesaktiannya kembali. Dia ingin kembali memperhatikan, Bagaimana cara Ranji melakukan hal itu. "Padahal Cakram belati Seblat ku begitu tajam. Gerakannya seperti ayam jago milik Paman Ram Wenang." Kahinda melihat Ranji melakukan gerakan seperti Ayam Jantan yang siap berkokok. Tampak kembali terlihat Ranji membusungkan dadanya. "Cakram belati ku saja sampai mental, Baiklah. Bagaimana pun, aku menunggu dia melakukan serangan seperti sebelumnya." Kahinda kemudian berjalan mundur dan meraih tanah liat. Dia dengan cepat langsung membuat sumpal kuping dan langsung dipasangkan di lubang telinganya. "Beres, tinggal tunggu dia berkokok." Kahinda juga sudah memegang kembali Belati Seblatnya. Dia juga sudah bersiap membuat lompatan besar ketika Ranji masih berdiam diri. Kahinda kemudian memainkan beberapa tebasan belati Seblat ke arah dada Ranji yang membusung. Dia terus membuat tebasan berkali-kali. Tapi saya
Sehari kemudian, Kahinda tersadar sudah berada di sebuah ruangan seperti kamar. Dia memperhatikan ruangan tersebut tertata rapi dan dia tertidur di atas dipan anyaman tikar jerami. Tangannya juga terikat dan begitu juga kakinya. Dia merasa sekarang dirinya sedang diculik seseorang yang tidak diketahui. "Siapapun lepaskan aku!" teriak Kahinda merasakan tali yang mengikat dirinya bukan seperti tali biasa. "Tali ini seperti besi tapi lentur" lirih Kahinda yang sudah berteriak tapi tidak ada seorang pun datang untuk memeriksanya. Di dalam kamarnya, Kahinda sempat memperhatikan lambang tergambar jelas di kain bendera. Dia melihat gambar itu seperti Tiga kelopak Api dengan dua daun melengkung kebawah. Dia tidak tahu siapa dan tujuan orang itu menculik dirinya. "Baru lepas dari Ranji, sekarang aku diculik orang. Nasib" lirih Kahinda yang akhirnya memutuskan untuk tidak banyak gerak dan menatap langit-langit kamarnya. Dia kembali melirik ke arah Bendera yang dipajang di dalam kamar. Dia
Beberapa hari kemudian, Kahinda sedang diajak Rangga berkeliling desa Wiris. Desa buatan yang menampung sebagian kecil rakyat Marpala dan beberapa orang budak dari Wilayah lain. Kahinda sedang menceritakan semua hal yang dia ketahui dari Kelompok dagang Ranji. "Aku bisa mengantarkan mu, ke bekas mayat Ranji" tutur Kahinda yang kemudian bertanya balik ke arah Rangga. Kahinda menanyakan soal seorang wanita bercadar jaring yang merupakan pimpinan utama kelompok dagang itu. Tapi Rangga menanggapi pertanyaan Kahinda hanya dengan gelengan kepala. Pertanda bahwa Rangga gagal mendapatkan atau tidak berhasil menangkapnya. Tapi dia juga tidak percaya dengan cerita Kahinda yang berkata sudah melenyapkan seseorang dengan tangannya sendiri. Saat ini Rangga berhenti sejenak, di dekat pinggir jalan utama desa. Dia memang sempat bertarung dengan wanita bernama Dyang Yawine. "Sayangnya dia berhasil lolos dari kejaran ku dan Entah ilmu apa yang dia gunakan. Tapi dia membuat ku membeku sampai kamu
Disisi lain, Halaman luas di dekat danau desa Wiris. Terdapat beberapa lapangan yang memiliki sekat bambu. Masing-masing sekat memisahkan tempat pelatihan yang digunakan untuk melatih prajurit Rangga Wiris. Kahinda merasa bangga pada saudara lelakinya yang mampu membuat kelompok besar itu. Dia sekarang tersenyum sendiri sambil merencanakan sesuatu. "Mungkin memang ada baiknya kalau tahta kerajaan di pegang langsung oleh Rangga, Mungkin dia akan menjadi Raja yang lebih baik." Pikir Kahinda sambil berjalan ke arah kelompok yang baru memulai pelatihan. Dia menemui seorang Guru yang sedang mengajarkan beberapa gerakan. "Putri Kahinda" ucap seorang Guru bernama Marang Melang langsung memberikan rasa hormat padanya. Mereka sudah saling mengenal sebelumya dan Marang Melang sendiri adalah seorang Guru yang melatih pasukan di Kerajaan Marpala sebelumnya. Kahinda membuat sapaan langsung dan menyuruhnya untuk bangkit kembali. Kahinda datang hanya untuk melihat proses pelatihan para prajurit
Tapi sayang, sudah sampai dua jam berlalu. Rangga hanya bisa mendapatkan 10 ekor ikan. Dan dia sangat menyesalinya, "H–uh, sekarang bagaimana?." Tanya Rangga melihat Kahinda yang kemudian berjalan ke pinggir sungai. "Hey, apa yang kamu lakukan!, Hati-hati" Rangga sekarang terkejut melihat apa yang dilakukan Kahinda. Dia tidak mengerti kenapa Kahinda mampu berjalan diatas air. Dia pun terkejut sekarang. "Hey, Rangga lihat baik-baik" ucap Kahinda ingin menunjukkan sesuatu pada Rangga. Kahinda sebenarnya tidak ingin memamerkan kemampuan miliknya, tapi dia merasa begitu kecewa melihat Rangga. Dia melihat Rangga melakukan beberapa kesalahan dalam penggunaan Rawang Sanggah. Karena bagaimana pun, Kahinda memiliki kemampuan penglihatan itu. Rangga tidak mengerti sekarang, dia hanya diam dan terus memperhatikan Kahinda. Dia tidak percaya Kahinda mampu menggunakan titian air yang dia pelajari secara autodidak selama dua tahun mengikuti seseorang. "Teknik ini sama seperti yang ku pelajar
Di belakang Mayapena bersaudara, kaliwu membuka mulutnya lebar-lebar ketika dia melihat ke arah keduanya. Dia melata pelan tanpa bersuara, tampak tubuhnya begitu elastis dengan Kepala mendongak ke bawah. Dia bukan ular kobra atau semacamnya, tapi dia mendirikan kepalanya seolah seperti tiang listrik. Dia memperlihatkan taringnya yang tajam sambil melirik ke arah Ragul. Dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk melakukan serangan. Bahkan kedua Mayapena bersaudara pun tak sadar jika dibelakang mereka muncul sosok Ular besar. "Kak, Dia begitu mulus. Sebelum kita menggunakannya. Aku ingin mandi kembang terlebih dulu." Ucapan itu keluar dari mulut Ragul yang sedang meremas kain baunya. "Haha, Itu lebih baik." Balas Ragil yang sedang mengikat Kahinda dengan tali yang belum terikat kuat dan mengencangkan–nya. "Aku sudah tak butuh ini" Ragil melemparkan kain bau ke belakang dan itu tepat masuk ke dalam mulut Kaliwu. Kahinda yang saat ini belum memberikan aba-aba, begitu terkejut ket
Ragul pun ikut melompat ke arah Kahinda. Dia sudah mempersiapkan dirinya untuk dijadikan pengalihan. Dia bersama Kakaknya, akan melakukan segala cara hanya untuk menangkap Kahinda, walaupun harus mempermalukan dirinya. Bagaimana pun, keduanya sudah sangat tergoda dengan kemolekan dan kecantikan Kahinda. Terlebih bagi Ragil sendiri, Kahinda adalah tipe wanita yang sempurna untuk dijadikan istrinya. Ragul hanya mengikuti keinginan Kakaknya, dia sekarang tertawa lebar ketika melihat Kahinda memperhatikan dirinya. Dia berdiri dengan begitu tegap dan berani. "Hey, Cantik lihat aku." Ucapnya sembari tertawa lepas, ketika dia memperlihatkan bulu ketiaknya. "Kalian berdua memang menjijikkan!" Bentak Kahinda seketika menerima tendangan Ragil di perutnya. Dia langsung terpental mundur ke belakang dan terjatuh ke sisi pinggir danau. Ragil dan Ragul kembali tertawa, ketika tahu Kahinda bisa dengan semudah itu dikalahkan. Ragul kemudian mengenakan pakaiannya kembali dan dia hanya ingin mempe
Ragil dan Ragul tak menyangka, Wanita didepannya begitu ahli dalam pertarungan. Keduanya pun mundur kebelakang ketika merasa pukulan palu mereka tidak membuat Kahinda menyerah. Bahkan keduanya sekarang begitu terkejut melihat Kahinda kembali membuat ejekan. "Dua lawan satu, Ayo kalian maju?!" tantang Kahinda membuat senyum cantik di depan mereka. Tampak bibir dan giginya telihat manis saat membuat senyum itu. Ragil kemudian meminta Adiknya untuk mundur dan berbisik beberapa hal. Dia ingin tahu apakah Kahinda memang sehebat itu, dan mampu membuat mereka mundur kebelakang. "Kau mengerti kan" tutur Ragil yang meminta Adiknya untuk melakukan sesuatu. "Malulah, Masa aku buka pakaian?" Ragul langsung dijitak Kakaknya yang memiliki Rencana dan siasat aneh. Kahinda terbengong beberapa saat, ketika dia melihat Ragil maju dan Ragul melangkah ke arah samping. Dia terus memperhatikan keduanya, "Apa yang kalian Rencana kan?" tanya Kahinda. Ragil hanya tersenyum sebelum dia pada akhirnya
"Haha, Aku sudah cukup lega sekarang. Wanita ini begitu mulus dan terasa Enak untuk digunakan." Tutur Sosok Botak berjanggut. Dia adalah Ragil Mayapena yang sedang mengikat seorang wanita cantik hasil tangkapannya. "Lain kali aku mau duluan Kakak, Aku juga mau merasakan Wanita yang masih Perawan." Ucap Ragul Mayapena sembari duduk dan memperhatikan Kakaknya yang sedang membenarkan celananya. "Tapi sayang, dia tak terlalu banyak menjerit. Padahal aku lebih suka Wanita yang melawan." Ucap Ragil Mayapena berjalan ke arah kudanya. Dan saat dirinya berbalik arah, dia langsung mendengar suara Ragul Mayapena yang terjatuh. "B–wah!" Ragul Mayapena tersungkur ke tanah ketika dirinya mendapatkan sebuah tendangan keras dari Kahinda. "Ragul!" teriak Ragil melihat ke arah seseorang Wanita yang berdiri di belakang Ragil. Ragul langsung bangkit, dan memperhatikan wanita di belakangnya. Dia langsung tersenyum melihat sosok Kahinda, "Kak, Bukankah dia Wanita di kedai." Ucap Ragul bangkit dan
Dua hari kemudian, Kahinda dan Wan Bin tengah mempersiapkan diri mereka untuk kembali memutar jalan. Mereka sedang menunggu Kaliwu menunjukkan kehebatannya. Di bantu Kahinda selaku majikannya, Kaliwu sedang memusatkan tenaga magisnya. Dari telapak tangan Kahinda, anting Kaliwu berkedip dan melata di tanah seperti ular kecil mainan. Ukurannya seperti sebatang rokok dan itu sangat kecil. Jika, di ibaratkan tubuh Kaliwu itu seperti tiga kecoa berjajar dan berbaris. Kahinda mencoba kembali pemanggilan bentuk besar ular Kaliwu. Dia berkonsentrasi penuh saat ini, dan ketika dua jarinya berada dan menempel di keningnya. Kahinda langsung menyalurkan tenaga Magis yang sudah dipelajari dari Kaliwu. Terlihat benang merah bersinar seperti cahaya laser langsung masuk ke dalam tubuh Kaliwu. Hanya sesaat, Kahinda melihat tubuh Kaliwu semakin membesar dan dia langsung mundur bersama Wan Bin. "W–argh!" Teriak Kaliwu menggema, sisik merahnya terlihat seperti lava berpijar ketika dirinya kembali k
Kahinda pun langsung menutup matanya, dan perlahan dia merasakan sensasi dingin di wajahnya. Dia benar-benar ketakutan ketika melihat taring tajam dan juga panjang hendak menusuk dirinya. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Wan Bin yang langsung di lilit ekor kaliwu. Dia tidak mampu bergerak ketika merasakan lilitan itu terus meremas tubuhnya. "Haha, Bagaimana ya rasanya daging manusia??" tanya Kaliwu mengarahkan ekor ke wajahnya sendiri. Dia ingin melihat tatapan ketakutan Wan Bin saat ini. "Apa kamu suka makan daging ular?." Saat ini Kaliwu hanya ingin membalikkan perkataan Wan Bin yang beberapa menit yang lalu tergiur dengan dagingnya. "Kaliwu, lepaskan Wan Bin!." Ucap Kahinda merasakan dan melihat ingatan kaliwu di dalam pikirannya. Kahinda tidak takut, hanya saja dia sedikit merasa pening ketika dirinya terhubung dengan Kaliwu. Walaupun hanya sesaat, Kahinda melihat gambaran wajah seseorang perempuan cantik yang merupakan Ratu ular. Sampai beberapa menit kemudian, Kaliwu lang
Kahinda sesaat hendak melihat apakah sosok Ular besar itu masih bisa bergerak atau sudah mati. Dia dan Wan Bin kemudian mencoba untuk memeriksanya seraya memastikannya. Keduanya berjalan pelan sambil terus memperhatikan tubuh ular besar itu. Keduanya melangkah dengan hati-hati. "Apakah Ular besar ini juga jelmaan?" tanya Kahinda melihat kepala ular besar itu sudah terpisah dari bagian tubuhnya. Banyak darah muncrat ke tanah dan itu terus mengalir seperti aliran dana korupsi. "Sepertinya bukan kak, Jika dia jelmaan seharusnya dia kembali menjadi manusia ketika mati." Ucap Wan Bin yang sekarang sedang menginjak kepala ular besar itu beberapa kali. "Hey, jangan lakukan itu!. Dia sudah mati, jadi perlakuan dengan baik. Lagi pula, kita belum tahu tentang ular ini" ucap Kahinda menggeleng kepala melihat tindakan Wan Bin yang suka sembarangan. "Maaf kak, Tapi sepertinya daging ular ini enak untuk dimasak." Kahinda langsung kaget ketika Wan Bin mengatakan hal itu. Diapun berkata, "A
Wan Bin membuat anggukan, tapi dia tidak langsung menjawab pertanyaan Kahinda. Dia kemudian menatap lencana keluarganya, lencana berbentuk bulat dengan ujung sedikit mengerucut seperti bentuk tameng. Ada gambar terukir di lencana keluarganya. Sebuah gambar berbetuk kepala Burung hantu yang sedang menatap tajam. "Aku ingat wajah mereka tapi aku tidak ingat namanya." Wan Bin kemudian memperlihatkan tulisan aneh dibelakang Lencana keluarganya. Dia kemudian membacakan di depan Kahinda. "Keluarga Wan Bin" itulah tulisan dari huruf aneh yang terbaca. Saat ini Kahinda memperhatikan tulisan tersebut. "Hem, hurufnya seperti paku yang tersusun, Apakah Nyi Salema menamai mu seperti huruf ini?." Kahinda penasaran jika Nyi Salema memang bisa membaca tulisan yang tidak dimengerti olehnya. Mungkin Wan Bin bukanlah nama sebenarnya dari anak berusia 9 tahun tersebut. "Haha, Kak Kahinda salah mengerti. Nama asli ku sebenarnya.." Wan Bin ingin mengatakan namanya ketika suara auman kembali m
Kahinda sedang menggunakan penglihatan Rawang Sanggah. Dia Ingin menemukan tanda kehidupan lain selain kunang-kunang itu. Tapi sayang, pandangan Rawang sanggah terbatas beberapa meter. Dia tak menemukan apapun selain serangga yang sedang hinggap di beberapa pepohonan. "Suaranya dari sebelah sana. Tapi aku tak yakin" ucap Kahinda mendengar suara gema aneh itu kembali. Dia merasakan suara itu dekat tapi dia tidak menemukan apapun di dekatnya. "Kak, kata Nenek jika suara terdengar dekat itu tandanya suara itu jauh." Ucap Wan Bin mengatakan beberapa perkataan neneknya yang dia ingat. "Benarkah?, Apa Nyi Salema mengatakan hal seperti itu?." Kahinda hanya tidak yakin dengan ucapan Wan Bin. Karena dia merasa suara itu begitu dekat dengan mereka. "Benar Kak, Walaupun itu sekedar cerita nenek. Tapi nenek pernah mengatakan itu padaku. Kalau tidak salah saat nenek menceritakan tentang dongeng hantu perempuan yang bernyanyi." Lanjut Wan Bin yang kemudian menceritakan sebuah cerita horor d