Di bawah derasnya guyuran hujan, Surya Yudha mengibaskan pedangnya ke sana kemari, membuat para bandit yang kini sudah mengepungnya tak bisa mendekat lebih jauh. Bintang, kuda hitam yang ditunggangi Surya Yudha seperti sudah mengerti jalan pikiran majikannya. Dengan ganas kuda tersebut berputar untuk mencari celah agar bisa keluar.Seorang bandit melompat dari kudanya, bersiap membelah Surya Yudha dengan golok jagalnya. Melihat hal itu, Surya Yudha berbalik dan menangkis serangan sang bandit menggunakan pedangnya.Tang!Sial!Surya Yudha mengumpat dalam hati karena serangan tersebut memang berhasil dia tangkis tapi tangannya bergetar hebat setelahnya. Bandit-bandit tersebut tertawa ketika melihat Surya Yudha mengerutkan kening setelah menangkis serangan kawannya.Bertempur di atas kuda apalagi ketika kondisi hujan deras memang menyulitkan siapa saja. Kedua belah pihak sepakat untuk bertarung di atas tanah. Surya Yudha melompat dari kudanya dan dengan gagah berjalan ke tengah jala
Sarwo berusaha bangkit walau kakinya masih gemetaran. Dengan segala pertimbangan, Sarwo menjatuhkan harga dirinya dan memohon pada Surya Yudha untuk melepaskannya."Aku mohon, Tuan. Ampuni nyawa saya dan kawan-kawan saya, kami berjanji tidak akan menjadi bandit lagi!" Surya Yudha tersenyum mengejek ketika mendengar ucapan Sarwo. "Apa kalian tidak malu?"Surya Yudha yang awalnya tersenyum kini mengubah senyumannya menjadi sebuah tawa yang terdengar aneh. Jika diperhatikan lebih dekat, dari manik hitam Surya Yudha terlihat kilatan-kilatan listrik setiap beberapa saat."Bagaimana mungkin aku bisa melepaskan kalian begitu saja?" ucap Surya Yudha."Kami bersumpah, tidak akan membunuh orang lagi. Jika kami melanggar sumpah, maka dewa bisa menghukum kami," ucap Sarwo yang terlihat ketakutan.Lagi-lagi tawa Surya Yudha meledak ketika mendengar ucapan Sarwo. Baginya, hal ini begitu menggelikan karena sudah berulangkali dia mendengar sumpah seperti itu dari penjahat-penjahat yang dia tangkap se
Terdengar suara lenguhan yang keluar dari mulut Sarwo ketika pedang di tangan Surya Yudha menembus perut hingga punggungnya. Surya Yudha menendang perut Sarwo hingga tersungkur di tanah. Tanah yang semula berwarna coklat itu mulai tergenang oleh darah yang keluar dari tubuh Sarwo. Sarwo mengerang kesakitan, tangan kirinya menyentuh bagian yang terluka dan menekannya seraya menyalurkan tenaga dalam untuk menghentikan pendarahan. Di sisi lain, Surya Yudha terus mengayunkan pedangnya ke arah para bandit. Satu persatu bandit-bandit tersebut mulai berjatuhan. Ada yang kehilangan tangan, kaki bahkan kepala mereka.Sarwo melihat bagaimana kejamnya Surya Yudha membantai kawan-kawannya. Dalam hati kecilnya, ada sedikit penyesalan dan rasa bersalah mengingat kelakuannya selama ini.Jadi begini rasanya ketika melihat keluargamu dihabisi.Sarwo yang sadar jika hidupnya akan segera berakhir, tak lagi merasa takut karena kepergiannya ke alam baka tidak sendirian."Kau tidak berusaha untuk memo
Ketika semburat jingga keluar dari langit timur, Surya Yudha sudah membuka matanya dan pergi ke sumur untuk mandi. Dinginnya air menghilangkan sisa-sisa kantuk dalam matanya, tubuhnya terasa begitu segar, rambutnya yang panjang sebahu juga tak lupa dia cuci.Ketika Surya Yudha baru kembali ke kamarnya, Gendon menemuinya dan mengatakan jika Ki Arya Saloka sudah menunggunya di ruang makan. Surya Yudha mengangguk pelan dan merapikan penampilannya sebelum keluar menemui Ki Arya Saloka. Di sisi lain, Ki Arya Saloka duduk sembari memegang lintingan (rokok) di tangan kanannya. Sesekali Ki Arya Saloka menghisap lintingan tersebut dan mengembuskan napas yang bercampur asap putih. Ruangan tersebut lama kelamaan beraroma khas tembakau seperti lintingan yang dihisap Ki Arya Saloka. Surya Yudha muncul dengan pakaian serba hitam serta sendal pelat yang juga berwarna hitam."Eyang ..." ucap Surya Yudha seraya duduk tak jauh dari Ki Arya Saloka."Kita sarapan dulu. Setelah ini perjalanan kita jauh
Surya Yudha memulai perjalanannya hari itu ditemani oleh Gendon, orang kepercayaan Ki Arya Saloka. Setelah memberikan sejumlah kekayaan pada cucunya, Ki Arya Saloka memutuskan untuk tetap tinggal di rumah dan memerintahkan Gendon untuk menemani Surya Yudha hingga perguruan Raga Geni.Dengan bekal sebuah surat yang ditulis oleh Ki Arya Saloka, Surya Yudha meninggalkan desa Pengadegan menuju ke timur, tempat kerajaan Jalu pangguruh berada. Hari-hari yang harus dilewati oleh Surya Yudha cukup berat karena Ki Arya Saloka tidak memberinya bekal makanan dan menyarankan untuk berburu hewan sembari melatih ketrampilan mereka berdua. Dengan berat hati Surya Yudha menjalankan saran dari eyangnya tersebut.Ketika malam mulai menjelang, Surya Yudha beristirahat di bawah pohon rindang yang terletak di tepi sungai. Gendon membuat api unggun sementara Surya Yudha mencoba menangkap ikan.Dengan kemampuan berenangnya yang mengagumkan, Surya Yudha berhasil menangkap lima ekor ikan mas yang berukuran
Surya Yudha melangkah dengan gusar menuju tempat Gendon duduk. Surya Yudha tak pernah semarah ini sebelumnya apalagi jika tentang makanan, tetapi entah apa yang terjadi pada tubuhnya membuat Surya Yudha begitu cepat marah. Surya Yudha sudah sampai di hadapan Gendon, pemuda itu bertolak pinggang dengan satu tangannya, matanya melotot seperti ingin keluar, "Kenapa kau habiskan semua?" "Anu ... Tuan Muda, Gendon lapar jadi Gendon makan."Surya Yudha mengernyit, "Siapa yang suruh kamu makan?" Gendon menggeleng pelan, tangannya meletakan sesuatu ke tanah yang tak lain adalah duri dan kepala ikan yang terlihat bersih tanpa daging. Terlihat juga beberapa duri lainnya yang berserakan di tanah. "Ngga ada yang nyuruh, Tuan Muda.""Lalu kenapa kamu makan?" teriak Surya Yudha emosi.Gendon tersenyum malu, "Kan Tuan Muda juga ngga bilang kalau ikannya ngga boleh dimakan,""Kau!"Surya Yudha tak melanjutkan kalimatnya karena Gendon tak sepenuhnya salah. Dari awal dia memang tak pernah melarang G
Ikan sudah habis, apalagi ubi bakar yang mereka makan sebagai hidangan pembuka. Gendon sudah memetik beberapa lembar daun talas yang cukup lebar sebagai alas tidurnya dan Surya Yudha.Di sisi lain, Surya Yudha juga sudah kelelahan karena perjalanannya hari ini yang cukup panjang. Pemuda itu merebahkan diri di atas daun talas yang sudah digelar oleh Gendon.Suara jangkrik dan burung hantu tampaknya menjadi musik pengantar tidur mereka untuk malam itu. Surya Yudha baru saja memejamkan matanya ketika mendengar suara gemerisik dari arah semak-semak.Surya Yudha mengambil pedangnya dari cincin penyimpanan, rasa kantuk yang sebelumnya sudah menguasai separuh jiwanya kini benar-benar sirna. Dengan mengendap-endap Surya Yudha mendekati semak-semak. Tangannya selalu berada di gagang pedang, bersiap jika sewaktu-waktu dia harus menarik pedangnya. Srak!Nguik!Ketika Surya Yudha menyibak ilalang yang setinggi pinggang, telinganya mendengar suara babi menguik kencang diikuti dengan ilalang di d
Gendon yang biasanya santai kini benar-benar panik karena melihat seekor ular tergeletak tak jauh dari tempat Surya Yudha berdiri."Den bagus kenapa?" Surya Yudha menunjuk ke arah ular yang tergeletak di dekat batu besar. Sebuah ular berwarna abu-abu gelap dengan panjang setombak. Walau ukurannya tak terlalu besar, nyatanya ular itu membuat Gendon semakin panik."Ya Dewa. Den bagus digigit ular? Bagian mana yang digigit? Bukan ular gigit ular kan?" tanya Gendon panik sambil meraba-raba tubuh Surya Yudha.Dengan gemetar, Surya Yudha mengulurkan tangan kanannya yang membiru."Welahdalah ... racunnya masuk banyak ini mah!" teriak Gendon ketika melihat bagian tangan Surya Yudha. Surya Yudha meringis kesakitan, "Lalu bagaimana?""Potong aja gimana?"Plak! Sebuah pukulan mendarat di kepala Gendon. Surya Yudha dengan tangan kirinya yang melakukannya. "Gila!""Lha terus gimana? Ki Arya ngga kasih Gendon obat untuk bisa ular."Surya Yudha mendesah panjang, pemuda itu membuka mulutnya bern
Bab 92Ketika matahari mulai terbenam, Surya Yudha bersama dengan Banyulingga dan Gendon pergi ke markas Harimau Besi. Persis seperti kabar yang beredar, malam itu markas harimau besi begitu ramai. Ada banyak sekali orang yang datang ke tempat tersebut.“Den Bagus, kita mau gimana?” tanya Gendon. Surya Yudha tidak mengatakan apa pun sebelum pergi ke tempat ini.Surya Yudha meletakkan jari telunjuknya di bibir. “Jangan berisik.”Pemuda itu lantas menunjuk sebuah tembok yang berada di sisi timur. “Itu adalah tempat paling dekat dengan tempat para budak itu disekap.”Gendon mengangguk mengerti. “Den Bagus jaga di sini saja, biar Gendon yang masuk dan bawa para budak keluar.”Surya Yudha menggeleng. Dia sudah punya rencana sendiri. “Kau membawa arak, kan?”Gendon menggaruk lehernya yang tidak gatal. Ingin rasanya dia menggali lubang dan bersembunyi di dalamnya.“Keluarkan beberapa guci arak terbaik, juga beberapa harta benda.”“Tapi Den …” Wajah Gendon menunjukkan ekspresi keberatan. “Di
Bab 91Setelah diskusi panjang nan alot, akhirnya Surya Yudha berhasil meyakinkan Mahasura dan lainnya. Ketika dirinya terdesak karena tiga orang itu, suara Baiji tiba-tiba beresonansi di kepalanya.[Asal menggunakan tombak yang kau dapatkan kemarin, tubuhmu akan baik-baik saja. Kau kelelahan karena tidak bisa mengeluarkan sumber energi dengan baik sehingga menyerang dirimu sendiri. Aku akan melatihmu mengendalikannya.]Mereka berempat kembali ke penginapan dan mendapati Candrika yang menyambut mereka dengan kemarahan. “Apa tidak cukup kalian membuatku gelisah semalam?”“Waduh … Gendon ngga ikut-ikut kalau begini.” Gendon segera berbalik dan melarikan diri. Musuh sekuat apa pun bisa dia hadapi, tetapi jika makhluk dengan jenis wanita, dia tidak pernah yakin bisa menghadapi mereka.Banyulingga yang tidak ingin mendapat masalah juga pergi. “Aku lupa meninggalkan arak yang sudah aku beli. Akan akan segera kembali.”Tersisa Surya Yudha dan Mahasura yang berdiri dengan gugup. Meski usianya
Bab 90Surya Yudha merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi dengan rasa sakit. Pemuda itu membuka matanya perlahan, untuk saat ini penglihatannya sedikit buram. Namun, setelah mengerjapkan mata beberapa kali, akhirnya dia bisa melihat dengan jelas. Ingatan terakhirnya adalah pertarungannya melawan beruang jambul api yang dia menangkan sebelum jatuh pingsan.“Tuan Muda….”Suara lembut yang familier di telinga Surya Yudha menyiratkan kekhawatiran. Surya Yudha menoleh dan melihat Candrika yang duduk di sampingnya dengan wajah cemas. “Candrika? Ini … apa aku sudah di penginapan?”Ekspresi Candrika berubah begitu cepat. Gadis itu terlihat tak senang dengan Surya Yudha. Dengan marah dia berkata, “Kau berjanji akan baik-baik saja, tapi baru pergi dua hari malah pulang seperti ini.”Surya Yudha menghela napas pelan. Akhirnya dia mengerti dengan kecemasan gadis itu. “Aku baik-baik saja,” Pemuda itu mengedarkan pandangannya, mencari rekan-rekannya. “ Di mana Gendon dan Lingga?”Pemuda itu menyadar
Bab 89Ketika matahari mulai tinggi, Surya Yudha meninggalkan lembah sunyi bersama Gendon dan Banyulingga. Seperti yang Banyulingga katakan sebelumnya, melakukan perjalanan di lembah sunyi pada siang hari sedikit lebih mudah dibandingkan jika melakukannya pada malam hari. Tak butuh waktu lama hingga mereka bisa meninggalkan lembah Sunyi.Perjalanan terus dilakukan, beberapa kali mereka harus berhenti untuk istirahat dan memberi makan kuda.“Kita langsung ke sarang macan atau mau ketemu paman Mahasura dulu, Den?”“Kita pulang ke penginapan dulu. Besok malam baru beraksi.”Gendon mengangguk paham. Pemuda bertubuh gempal itu sedang membakar ayam hutan buruannya beberapa waktu lalu. Aroma harum yang menyebar ke segala arah menarik perhatian, tidak hanya manusia tetapi juga hewan lainnya.“Kita kedatangan tamu.” Tanpa menoleh sedikit pun, Surya Yudha sudah menyadari kedatangan mereka. Pemuda itu menghela napas panjang sebelum bangkit dan menatap ke sebuah arah. Semak-semak mulai bergetar
Pendekar Tombak Matahari bab 88[Tunjukkan padanya jika kau memiliki sesuatu yang istimewa!]Suara Bai Ji kembali menggea di pikiran Surya Yudha. Dia mengerutkan kening untuk sesaat, dan kembali seperti semula ketika menyadari jika Rangga Geni mungkin akan mencurigai perubahan ekspresinya.Istimewa apanya? Aku hanya pemuda yang kehilangan tenaga dalam. Selain latar belakang keluargaku, tidak ada lagi yang istimewa.Suara dengusan muncul dalam pikiran Surya Yudha.Apakah kepingan jiwa dari alam lain yang mendiami pikirannya juga bisa mendengus? [surya, aku bisa mendengar semua yang ada dalam pikiranmu dengan jelas. SEMUANYA!]Surya Yudha berdehem. Dia lantas membatin.Lalu bagaimana aku menunjukkan keistimewaan? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku miliki sehingga membuatku menjadi istimewa.[Buatlah tungku energi dari sumber energi yang kau miliki.]Sebelumnya Surya Yudha sudah pernah mendengar tentang tungku pembakaran yang dipakai oleh para pande besi. Namun, selama hidupnya, dia tida
Di dalam ruangan luas yang tampak sederhana itu, Surya Yudha duduk bersama Gendon sementara Banyulingga menyiapkan minum untuk para kawannya. Di ruangan itu pula, Sosok pria yang tampak dingin mengamati Surya Yudha dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tatapan tajamnya terasa mengintimidasi. Dia adalah Rangga Geni, guru Banyulingga sekaligus pande besi terbaik di Jalu Pangguruh.Surya Yudha yang ditatap sedemikian juga merasa sedang ditelanjangi oleh pria tua yang memiliki perawakan kekar itu. Namun, sebagai seseorang yang terbiasa dengan tekanan dari berbagai pihak, Surya Yudha bisa terlihat tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Pada saat keheningan menenggelamkan mereka semua, tiba-tiba suara Baiji yang beberapa hari ini jarang muncul kembali bergema di kepala Surya Yudha. [Jadikan dia gurumu. Aku merasakan aura istimewa dari dalam tubuhnya. Bisa jadi dia telah menemukan sesuatu dari alamku.]Surya Yudha mengerutkan keningnya. Bagaimana mungkin dia bisa menjadikan seseo
Sore harinya, di penginapan tempat Surya Yudha menginap, pemuda itu berkumpul bersama rekan-rekannya. Mereka duduk mengelilingi sebuah meja. Wajah mereka terlihat serius. "Candrika dan Paman Mahasura tetap di sini. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon selama beberapa hari." "Apa yang ingin kau lakukan, Surya?" Candrika bertanya dengan penasaran."Aku harus pergi ke suatu tempat. Kalian berdua jangan khawatir.""Kalian ingin melakukan penyerangan?" tanya Mahasura. Surya Yudha menggeleng. "Tidak. Aku akan pergi bersama Banyulingga dan Gendon untuk mengambil sesuatu. Kalian jangan khawatir, aku akan baik-baik saja." Tatapan Mahasura beralih pada Banyulingga. "Ke mana kalian akan pergi? Jawab aku!"Banyulingga menelan ludahnya. Dia tidak menyangka pria yang pagi ini masih terlihat lemah saat ini tampak mengerikan."Ka-kami ...." Banyulingga tergagap, tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Surya Yudha yang melihat Banyulingga ketakutan tertawa. Dia lantas berkata lada Mahasur
Ada beberapa kedai arak di pasar budak. Namun, hanya ada satu yang selalu buka sementara yang lainnya hanya buka ketika senja datang. Surya Yudha memasuki kedai arak bersama Gendon dan Banyulingga. Kedatangan mereka menarik perhatian terutama Gendon yang mengeluarkan aroma obat dari tubuhnya, ciri khas para tabib. Surya Yudha mengajak mereka ke lantai dua kedai tersebut dan memilih tempat duduk di dekat jendela. Di lantai tersebut, hanya ada kelompok Surya Yudha. Suasana kedai tersebut juga sangat tenang tidak seperti kedai arak di malam hari.Seorang pelayan pria datang menghampiri meja mereka. "Tuan-tuan ingin pesan apa?" "Dua guci arak beras, daging dan kacang rebus." Surya Yudha menjawab dengan cepat. Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanan. "Den bagus, kita mau cari informasi gimana? Ini masih sepi, lagipula kita datang kepagian." Gendon berkata dan diangguki Banyulingga. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan."Mata Surya Yudha menerawang ke luar, memandang
Surya Yudha mendapat informasi tambahan mengenai pasar budak. Ternyata pasar budak dikuasai oleh sebuah organisasi yang bernama kelompok Harimau Besi. Pemuda itu juga mengetahui markas besar Harimau Besi."Bagus. Kita bisa melakukan penyerangan malam ini juga." Mahasura berdehem. Seolah menujukkan ketidaksetujuannya. Meski dia seorang budak, tetapi setelah mendapat nasihat bertubi-tubi dari Gendon, akhirnya Mahasura mau menerima identitasnya dulu, sebagai Paman dari Surya Yudha. "Paman, ada apa? Kau tidak setuju?" tanya Surya Yudha. "Surya, menyerang Markas Harimau Besi saat malam hari adalah ide paling buruk yang kita miliki." Mahasura berkata dengan tenang. Dia mengambil sebuah kendi dan meletakannya di atas meja. "Mereka sangat aktif pada malam hari. Kekuatan mereka berkumpul saat malam tiba. Menyerang saat tengah hari adalah pilihan terbaik." Mahasura mengambil sebuah cangkir dan meletakannya di bagian utara kendi."Ini adalah pintu utama yang dijaga oleh Harimau utara. Aku t