Ardo Kenconowoto menggebah kudanya untuk pergi melaksanakan ujian ketiga dari Iblis Satu Kaki, setelah si pemuda tampan itu berhasil menyelesaikan ujian keduanya dalam memahat batu.Sebelumnya, Ardo membutuhkan waktu satu pekan lamanya untuk menuntaskan ujian keduanya. Pasalnya, seumur hidup dia tidak pernah belajar memahat. Meski dia dibekali pahat dan palu, tetap Ardo harus belajar memahat dulu. Beberapa kali dia harus memartil tangannya sendiri.Awalnya, Ardo hendak meniru membuat patung ayam jago versi kecil, sekitar seukuran orang saja. Pilihan itu karena dia bisa dengan mudah mencontek patung raksasa di atas.Agar bisa menyelesaikan ujian kedua lebih cepat, Ardo sangat bersemangat dalam memahat. Malam pun dia tetap memahat sampai kenal lelah. Maksudnya, setelah lelah, barulah dia istirahat.Namun, untuk membuat paruh ayam saja, Ardo butuh waktu tiga hari. Itu baru paruh ayam, belum kepalanya, belum lehernya, belum badan dan sayapnya, apalagi cekernya yang lebih rumit.Pada suatu
Arjunaweda Geruso Tonglu melangkah mendekati tubuh Cabur Sekti yang tengkurap dan tidak kuasa untuk bangkit lagi.Dak!“Akk!” jeritSaat tinggal beberapa langkah lagi, tiba-tiba Geruso Tonglu berlari dan melakukan free kick (tendangan bebas) terhadap kepala Cabur Sekti. Gaya tendangan itu sangat mirip dengan tendangan free kick anak mantan pejabat pajak di negeri masa depan. Sepertinya Geruso Tonglu belajar dari anak pejabat tersebut.Cabur Sekti menjerit dengan tubuh terguling dua kali karena kerasnya sepakan Geruso Tonglu pada kepalanya. Sedemikan sakit kepalanya sampai-sampai pandangan Cabur Sekti gelap, menyisakan indera pendengaran, penciuman dan perasa saja.“Kesaktian hanya sedinggi dengkul tapi berlagak menjadi jagoan dan menantang perwira Kerajaan. Tanpa aku bantu kematianmu, racun di tanganmu akan membunuhmu!”Cabur Sekti mendengar suara ejekan Geruso Tonglu yang sepertinya ditujukan kepadanya.“Akk! Akk!”Tiba-tiba terdengar suara jeritan dua orang lelaki yang posisinya tid
Arjunaweda Geruso Tonglu tumbang ke tanah dengan dada dan perut terluka parah oleh cakaran dua jenis kuku tangan Iblis Jelita. Luka dari kuku beracun si wanita jelita itu cukup untuk membuat Geruso Tonglu tidak bisa bangkit lagi.“Hiaaat!” teriak Arjunaweda Kepitanu dari arah belakang Iblis Jelita. Dia melompat seperti ikan terbang dengan pedang yang bersinar kuning hendak menusuk punggung Iblis Jelita.Si wanita yang menyadari serangan tersebut, menggeser dirinya ke samping, lalu tiba-tiba melompat naik ke udara dengan salto yang berputar cepat. Itu gaya salto Lompatan Iblis Mabuk yang jarang dipraktikkan oleh Iblis Jelita. Untung sekarang dia bercelana, jadi penonton pun tidak heboh histeris.Ketika pedang Kepitanu kehilangan target, tubuh Iblis Jelita sudah naik mengudara lebih tinggi dari ketinggian tubuh Kepitanu.Beg!“Hekh!” keluh Kepitanu saat merasakan punggungnya didarati beban yang sangat berat dan mendorongnya jatuh vertikal ke tanah.Iblis Jelita yang dengan keras mendara
Sudah sepekan lamanya Aninda Maya tinggal di Gunung Kerdil. Mau tidak mau dia harus tinggal di bukit yang disebut gunung itu. Entah siapa yang memberikan nama gunung kepada bukit tersebut. Sepertinya orang itu sangat terobsesi memiliki sebuah gunung.Ketika Aninda Maya ditinggal oleh ayah dan ibu non-biologisnya, dia dalam keadaan diikat oleh tali sinar hijau dari ilmu Belenggu Anak Macan. Meski kedua orangtuanya sangat bersedih, bahkan Anggar Sukolaga pun sampai menitikkan air mata, tetapi mereka harus berpisah dengan gadis cantik yang mereka cintai itu. Mungkin tidak akan bertemu lagi.Pada suatu hari, Aninda Maya berusaha kabur dari puncak Gunung Kerdil.“Aaakkk!” jerit Aninda Maya tiba-tiba, saat dia sampai di punggung bukit.Ada rasa sakit yang menyerang dalam dadanya yang kemudian membuatnya lemah dan jatuh di tanah. Aninda Maya merintih dengan tubuh meringkuk di tanah yang gelap, karena saat dia mencoba kabur, waktu di saat malam dini hari.Aninda Maya tidak tahu apa yang terja
Ardo Kenconowoto tidak mengenal pendekar yang bernama Bangteng Kuro. Jadi, dia harus banyak bertanya kepada orang lain tentang Banteng Kuro. Dia pun tidak tahu harus mencari di daerah mana.Karena arah perjalanannya melewati Desa Guling, sebagai seorang pemuda tampan yang baik dan tidak sombong, Ardo pun mampir ke kediaman Kepala Desa Totor Gema. Dan yang paling senang adalah Kenanga, meski kemudian dia menelan kecewa karena Ardo hanya mampir sebentar dan akan melakukan perjalanan yang tidak tahu berapa lama.“Aku tidak mengenal pendekar yang bernama Banteng Kulo. Mungkin Ki Rujak kenal,” jawab Totor Gema saat Ardo menanyakan perihal Banteng Kuro.Akhirnya Ardo berpamitan. Karena dia tidak memiliki urusan selain bertanya dan silaturahmi, Ardo tidak lama. Namun, dia ingin berkunjung ke rumah Ki Rojak yang akrab dipanggil Ki Rujak, padahal Ki Rojak tidak doyan rujak. Anger Jogo yang menemani dan menunjukkan rumah Ki Rojak.Ketika Ardo datang, Ki Rojak dan putranya Jumadi sedang berlatih
Sinar matahari pagi akhirnya menjadi wasilah bagi Cabur Sekti untuk sadarkan diri. Setelah sepasang kelopak matanya yang tertutup bergerak-gerak seperti ada makhluk yang hendak menetas, sepasang mata itu akhirnya membuka. Merah dan berbelek.Mata itu seketika menyipit oleh silaunya sapaan matahari pagi. Cabur Sekti tahu itu matahari pagi karena posisinya masih setinggi bingkai jendela.Setelah netranya beradaptasi dan mata itu kembali membuka normal, Cabur Sekti memindai area sekitarnya. Ternyata dia sedang terbaring di atas dipan bambu di dalam sebuah rumah sederhana berlantai tanah keras, tetapi barang-barangnya tertata rapi sehingga enak dipandang mata.Kruuukr!Aroma masakan yang berbumbu tajam menggugah selera seketika membuat perut jagoan golok itu mengoceh, tanda perutnya minta makan.Cabur Sekti pun memeriksa dirinya. Dia tidak berbaju, tapi untung masih bercelana. Lengan kirinya dibalut perban tebal. Memorinya cepat mengingat apa yang telah dia alami.Dari dalam dapur berjala
Desa Alot Urat disebut juga Desa Pendekar. Desa itu tidak biasa karena gemar disinggahi oleh para pendekar sehingga seperti sebuah kota. Keramaian itu diiringi oleh marak dibangunnya berbagai pusat bisnis oleh para pemilik modal. Berbagai sarana yang tersedia membuat para pendekar pun tertarik untuk datang ke desa itu.Tempat yang banyak di datangi oleh para pendekar bukan berarti aman karena banyak orang hebat, tetapi justru rawan keributan karena kebanyakan pendekar punya ego dan gengsi yang tinggi. Jika disenggol sedikit langsung membentak, “Mau cari mati?!”Seperti hari ini, ada pertarungan yang terjadi antara dua pendekar di tengah jalan utama di pusat Desa Alot Urat. Namun, kasusnya bukan sekedar ada yang tersenggol atau disenggol.Tidak seperti di tempat lain, jika ada pertarungan di desa ini, tidak ada penonton yang berkerumun menjadi pagar di sekeliling area pertarungan. Para penonton dari kalangan warga biasa akan menonton dari jarak jauh yang aman.Sementara para pendekar m
“Bisa aku buatkan, tapi kau harus menunggu dua atau tiga hari,” kata Tabib Juku Getir saat Ardo Kenconowoto bertanya tentang bahan pengawet daging atau mayat.“Iya, Ki,” jawab Ardo bersedia.Tabib Juku Getir lalu memeriksa beberapa isi gucinya di rak. Sepertinya dia sedang melihat bahan-bahan untuk membuat apa yang diinginkan Ardo.“Uni, kau bantu membeli daging sapi. Kita butuh lemaknya,” kata Tabib Juku Getir kepada Uni Priwangi.“Bukankah Ki Pawang Api punya banyak sapi, Ki?” tanya Uni Priwangi, bukan maksud menolak.“Hehehe!” kekeh sang tabib. “Sapi-sapi itu sudah seperti anak sendiri bagi Ki Pawang. Dia tidak akan pernah mau memotong sapinya. Dia lebih baik membiarkan sapinya mati lalu dikubur daripada dimakan bersama.”“Baik, Ki. Aku akan pergi membelinya,” ucap Uni Priwangi.“Beli saja satu daging paha,” kata Tabib Juku Getir.“Baik, aku langsung pergi,” kata Uni Priwangi.Pendekar cantik itu lalu berbalik dan berjalan keluar rumah.“Ardo, kau pergi cari sarang lebah yang berma